Categories
Utsman Bin Affan

Biografi Sahabat Nabi Utsman Bin Affan : Syahidnya Khalifah (Seri 7)

3. Hasutan atas Utsman, peran Ibnu Saba’ dalam komplotan, dan syahidnya khalifah

Gerakan pembrontakan dan pemurtadan bangkit di beberapa penjuru negara Islam. Mereka pun melanggar perjanjian dan kesepakatan yang ada. Bertindak sebagai pemimpin gerakan tersebut orang yang melarikan diri dan bersembunyi karena Islam telah menghilangkan kekuasaan zhalim mereka dan meruntuhkan kedudukan mereka yang terhormat. Diikuti oleh gerakan dari dalam, disulut oleh seorang Yahudi jahat dari Yaman yang mengaku bernama Abdullah bi Saba’ yang sengaja datang ke Madinah pada masa kekhalifahan Utsman dan menampakkan keislaman seraya mengaku mencintai agama ini.

Pasukan tentara Islam pun bangkit untuk memerangi gerakan tersebut memberi mereka pelajaran. Para pemberontak pun berhasil dikalahkan dan memilih untuk melakukan gerakan bawah tanah. Ibnu Saba’ lalu mengumpulkan berita dan mengikuti peristiwa yang terjadi di Madinah dengan penuh tipu daya dan kecerdikan. Dia juga mencuri kabar yang datang dari berbagai penjuru negeri. Dia mengamati berbagai peristiwa pemberontakan dan perlawanan, meyelami jiwa para penyulut pemberontak tersebut, memanfaatkan keberadaan jiwa-jiwa yang sakit dari orang-orang yang pernah muncul pada masa Umar Al-faruq, termasuk orang yang dituduh oleh Sa’ad bin Abi Waqqash bahwa dia tidak pandai melaksanakan shalat. Dia juga memanfaatkan orang-orang yang merasa terzhalimi dan menyimapan dengki kepada para gubernur, karena terkena dampak penegakan hukum yang adil. Dia pun memiliki perhatian pada mereka yang dibebaskan oleh Islam dari kezhaliman Persia dan Romawi tapi mengalahkan kesulitan hidup di bawah naungan keadilan Islam. Dia memasang jeratnya untuk para budak dan kalangan rendah yang masuk Islam bersama sekelompok besar manusia, padahal mereka belum memahami inti agama Islam. Dia pun tidak melupakan orang-orang yang melampaui batas yang telah membantu akalnya dan kering bibirnya untuk nash dan berbagai kejadian. Maka dia mencoba untuk memulai dari Madinah, namun dia tidak mendapat tempat di sana dan juga tidak mendapat dukungan dari penduduknya.

Maka dia bertolak ke Syam dan mendapatkan penduduknya sangat loyal kepada para gubernur dan khalifah. Dia pun beralih ke Bashrah dan singgah di kediaman Hukaim bin Jabalah. Para penduduk di sana mendatanginya, dia pun berorasi menyampaikan pandangan dan prinsip-prinsip pemikirannya. Dia juga pergi dari tempat itu dengan menginggalkan para pendukungnya.

Di antara racun yang disebarkan adalah ucapan, “Sungguh aneh orang yang mengatakan bahwa Isa akan kembali tapi mendustakan kemungkinan Muhammad akan kembali. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan engkau (Muhammad) untuk (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali.”(QS. Al-Qashash [28]: 85). Padahal Muhammad lebih berhak kembali daripada Isa.”

Dia juga mengatakan, “Nabi itu ada seribu, masing-masing Nabi memiliki pelaksana wasiat. Ali adalah pelaksana wasiat Muhammad. Jika Muhammad penutup para Nabi, Ali adalah penutup pelaksana wasiat!”

Lalu dia bertanya retorik, “Siapa yang lebih zhalim dari pada orang yang tidak melaksanakan wasiat Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam lalu menguasai urusan umat!” Dengan pemikiran tersebut Ibnu Saba’ berusaha mempengaruhi orang-orang bahwa Ali terzhalimi, supaya mereka perpaling padanya dan mencoba membandingkan antara Ali dan Utsman. Dari situ dia menyimpulkan bahwa kekhalifahan Utsman tidak sah menurut syariat. Dia berkata, “Sesungguhnya Utsman mengambil kekhalifahan tanpa hak, sementara Ali adalah pelaksana wasiat Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Maka bangkitlah mempersoalkan hal ini, gulirkanlah dan lawanlah para pemimpin kalian. Tampakkan amar makruf dan nahi munkar, ajak semua orang yang mendukung gerakan ini!”

Dimulailah perlawanan terhadap para gubernur wilayah. Penduduk Kufah bangkit melawan Al-Walid bin Uqbah, dilanjutkan dengan pemberontakan terhadap Sa’id bin Ash. Sementara penduduk Bashrah mencela gubernur mereka Abu Musa Al-Asy’ari dan meminta pada khalifah untuk menurunkannya. Mereka pun memfitnah orang-orang shalih. Di Mesir –tempat Ibnu Saba’ tinggal, dan dia senantiasa berkirim surat dengan para pengikutnya di Bashrah dan Kufah- para penduduknya bangkit melawan Amr bin Ash. Mereka mengadu domba antara Amr dan Ibnu Abi Sarh sehingga memaksa Utsman menurunkan Amr dari jabatannya.

Surat menyurat antara penduduk Mesir dan para pendukungnya dari penduduk Kufah dan Bashrah serta siapa pun yang menyahuti mereka terus berlanjut. Mendorong untuk melakukan perlawanan terhadap gubernur masing-masing dan menyepakati hari tertentu –yaitu ketika para gubernur pergi menghadap Amirul mukminin- untuk melakukan pemberontakan terhadap para gubernur dan menurunkan mereka, yaitu pada tahun 34 H. Namun yang bangkit melakukan pemberontakan hanya penduduk Kufah. Mereka berkumpul di Jara’ah (Suatu tempat di dekat Qadisiyah) dan menghadang Sa’id bin Ash yang baru kembali dari tempat Utsman. Mereka melarang Sa’id masuk ke wilayah Kufah. Sa’id pun kembali ke tempat khalifah dan memberitahunya bahwa mereka menghendaki Abu Musa sebagai gubernur Kufah. Utsman pun menulis surat pengangkatan Abu Musa. Dengan demikian, rencana bersama pada tahun 34 H gagal terlaksana. Fitnah hanya terjadi di kalangan penduduk Kufah di Jara’ah. Maka hari itu disebut hari Jara’ah.

Para pembelot terus menjalankan rencananya. Mereka memalsukan beberapa surat mengenai aib para gubernur dan buruknya keadaan, lalu surat itu mereka kirim ke berbagai daerah. Penduduk masing-masing daerah pun menulis surat ke daerah yang lain mengabarkan apa yang mereka perbuat. Maka mereka membaca surat tersebut di daerah mereka masing-masing hingga berita itu sampai ke Madinah. Mereka terus memperluas penyiaran berita tersebut padahal mereka menginginkan sesuatu selain apa yang mereka tampakkan dan menyembunyikan maksud tertentu di balik apa yang tampak. Maka penduduk setiap daerah mengatakan, “Kami baik-baik saja dan terhindar dari apa yang menimpa mereka.” Kecuali penduduk Madinah, mereka menerima berita tersebut dari seluruh daerah, maka mereka berkata, “Sesungguhnya kami baik-baik saja dan terhindar dari apa yang menimpa orang-orang.”

Maka Utsman mengirim Muhammad bin Maslamah ke Kufah, Usamah ke Bashrah, Ammar ke Mesir, dan Ibnu Umar ke Syam. Masing-masing memimpin sebuah pasukan dan dikirim ke wilayah-wilayah besar tersebut. Kemudian mereka semua kembali dan berkata, “Wahai manusia, kami tidak mengingkari sesuatu pun, tidak juga para pemimpin kaum muslimin dan orang awam di kalangan mereka.” Lalu mereka berkata, “Urusannya adalah milik kaum muslimin, hanya saja para pemimpin mereka bertindak adil di antara mereka dan membantu mereka.”

Lalu mereka saling berkirim surat di antara mereka bersepakat untuk berkumpul di Madinah agar dapat mempertanyakan kepada Utsman tentang berbagai hal yang dapat merendahkannya. Maka mereka pun berkumpul di Madinah dan Utsman menemui mereka, mendebat mereka dalam berbagai persoalan yang mereka tuduhkan secara palsu dan dusta bahwa dia dalam semua persoalan itu menyalahi petunjuk Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam dan kedua shahabat beliau. Utsman lalu menyebutkan kepada mereka berbagai hal seperti, penyempurnaan shalat di Mina, lahan lindung, pengumpulan mushaf, pengembalian Al-Hakambin Abil Ash, penurunan para gubernur dan pengangkatan orang-orang baru, pemberian seperlima dari seperlima ghanimah kepada Ibnu Abi Sarh, dan melebihkan kerabatnya dengan berbagai pemberian…..” Setiap kali dia menyebutkan satu persoalan, dia berkata seraya bersumpah, “Bukankah begitu?” Para shahabat menjawab, “Ya, benar.”

Ketika mereka menemui kegagalan pada upaya pertama di hari Jara’ah, begitu juga pada upaya kedua di Madinah, mereka bertekad untuk membunuh Utsman. Mereka berkata pada kedatangan mereka yang terkhir menemui Amirul mukminin, “Kita akan menyambut padanya beberapa hal yang telah kita tanamkan di hati semua orang, kemudian kita kembali kepada mereka dan menggambarkan pada mereka bahwa kita telah memaksanya untuk mengakui kesalahannya namun dia tdak mau merubah dan tidak mau bertaubat. Kemudian kami berangkat seolah-olah sebagai jamaah haji hingga kami datang ke Madinah dan mengepungnya lalu menurunkannya dari kekhalifahan. Jika dia menolak akan kita bunuh!”

Pada bulan Syawwal tahun 35 H mereka berangkat ke Madinah. Mereka terbagi dalam 12 kelompok, masing-masing 4 kelompok dari Mesir, Kufah, dan Bashrah. Setiap kelompok terdiri dari 150 orang. Dengan demikian jumlah keseluruhannya 1800 orang.

Mereka berkumpul di sekitar Madinah. Kelompok yang datang dari Bashrah berkemah di Dzu Khusyub, sebuah lembah berjarak satu malam perjalanan dari Madinah, sedangkan kelompok dari Kufah berkemah di Al-A’wash. Sebuah tempat di timur Madinah berjarak belasan mil, sementara kelompok dari Mesir mayoritas berkemah di Dzul Marwah, desa yang cukup luas bagian dari kota Madinah.

Kelompok dari Mesir mendatangi Ali bin Abi Thalib, sementara kelompok Bashrah menemui Thalha bin Ubaidillah, sedangkan kelompok dari Kufah menemui Zubair bin Awwam. Mereka menawarkan masing-masing tokoh tersebut untuk menjadi khalifah dan menurunkan Utsman. Jawaban ketiga orang shahabat itu, “Kaum muslimin telah mengetahui bahwa pasukan Dzul Marwah, Dzu Khusub, dan Al-Ali’wash terlaknat melalui lisan Muhammad Shallallahu Alahi wa Sallam!!”

Mereka pun kembali ke perkemahan mereka.

Para pemberontak yang menyimapang itu berlaku seolah-olah mereka akan kembali ke negeri mereka masing-masing. Mereka merobohkan kemah-kemah mereka dan keluar dari Madinah. Orang-orang Irak -yang terdiri dari orang-orang Kufah dan Basrah- berjalan ke arah timur menuju utara mengarah ke negeri mereka, sementara orang-orang Mesir berjalan ke arah barat menuju utara. Masing-masing kelompok berjalan ke arah yang berbeda dan semakin lama jarak di antara mereka pun semakin jauh.

Masing-masing kelompok telah berjalan cukup jauh. Orang-orang Mesir telah sampai ke Buwaib (pintu masuk penduduk Hijaz ke Mesir), tiba-tiba seorang penunggang kuda menampakkan diri kepada mereka lalu memisahkan diri. Kejadian itu terjadi berulang-ulang. Mereka pun bertanya pada penunggang kuda itu, “Ada apa denganmu?” Dia menjawab, “Saya adalah utusan Amirul mukminin untuk gubernurnya di Mesir. Mereka lalu menggeledahnya, lalu menemukan sebuah surat atas nama Utsman lengkap dengan stempelnya yang ditujukan kepada Gubernur Mesir agar dia mensalib mereka, membunuh, atau memotong tangan dan kaki mereka secara silang.

Para pemberontak Mesir pun berbalik haluan dan kembali ke Madinah. Ikut bersama mereka Muhammad bin Abu Bakar . Begitu juga dengan pemberontak Irak. Kedua kelompok tersebut sampai ke Madinah pada saat bersamaan seakan-akan mereka telah membuat kesepakatan waktu. Tidak ada yang membuat takut penduduk Madinah kecuali gemah takbir di seantero Madinah. Para pemberontak telah mengepung Madinah, sebagian besar mereka mengepung rumah Utsman bin Affan. Mereka menggertak semua orang, “Siapa yang menahan diri akan aman.”

Utsman masih mengimami shalat berjamaah dalam beberapa hari. Sementara itu masyarakat banyak yang memilih untuk tetap tinggal di rumah mereka masing-masing. Para pembelot itu tidak melarang orang untuk angkat bicara, maka sekelompok orang mendatangi mereka mengajak berbicara, ikut dalam kelompok Ali bin Abi Thalib. Dia bertanya pada mereka, “Apa yang membuat kalian kembali setelah kalian pulang dan mengurung niat kalian?” Mereka menjawab, “Kami merebut dari pengantar sepucuk surat yang berisi perintah untuk membunuh kami.” Hal senada disampaikan juga oleh orang-orang Bashrah kepada Thalha dan orang-orang Kufah kepada Zubair. Orang-orang Bashrah dan Kufah berkata, “Maka kami menolong saudara-saudara kami dan melindungi mereka semua.” Ali bertanya pada mereka, “Wahai orang-orang Kufah dan Bashrah, bagaimana kalian bisa tahu apa yang dihadapi orang-orang Mesir? Padahal kalian sudah berjalan cukup jauh, lalu kalian berkumpul mendatangi kami? Ini, demi Allah, perkara yang telah ditetapkan atas Madinah!” Mereka berkata, “Maka letakkanlah itu sekehendak kalian, kami tidak memerlukan orang ini, hendaklah dia menyingkir dari kami!”

Mereka semakin memperketat pengepungan terhadap Amirul mukminin dan mereka melemparinya hingga terjatuh dari mimbar dan tidak sadarkan diri. Utsman lalu diangkat masuk ke rumahnya. Beberapa orang telah bersiap-siap untuk mempertaruhkan diri mereka membela Utsman, di antaranya, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Hurairah, Zaid bin Tsabit, dan Hasan bin Ali . namun Utsman bersikeras menyuruh mereka pergi. Mereka pun akhirnya pergi.

Utsman lalu meminta bantuan para gubernur. Maka Mu’awiyah mengirim pasukan di bawah pimpinan Habib bin Maslamah Al-Fihri. Sementara Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh mengirim pasukan lain di bawah pimpinan Mu’awiyah bin Hudaij As-Saukani. Pasukan ketiga datang dari Kufah di bawah pimpinan Al-Qa’qa’ bin Amr.

Kepungan para pemberontak semakin menjadi-jadi. Mereka terus berusaha mempersempit ruang gerak Amirul mukminin dengan melarang masuknya makanan dan air ke tempatnya. Mereka pun melarangnya pergi ke masjid dan mengancam akan membunuhnya.

Utsman lalu bangkit menemui mereka dari rumahnya dan menasihati mereka dan menceritakan berbagai kelebihannya agar mereka mengurungkan niatnya dan sadar akan kekeliruan mereka. Dia lalu bersumpah atas nama Allah, sementara para shahabat mendengarkan. Dia berkata, “Demi Allah dan Islam, apakah kalian mengetahui bahwa sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam datang ke Madinah dan tidak ada air yang bisa diminum selain sumur Rumah, maka beliau berkata, “Siapa yang bersedia membeli sumur Rumah lalu menjadikan embernya bersama kaum muslimin dengan baik, baginya surga sebagai balasannya?” maka saya membelinya dari hartaku. Sementara kalian hari ini melarangku meminum airnya sampai harus minum laut?” Mereka menjawab, “Ya, benar.” Utsman melanjutkan, “Demi Allah dan Islam, apakah kalian tahu bahwa Masjid telah sesak oleh jamaah, maka Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, “Siapa yang bersedia membeli sebidang tanah dari keluarga fulan lalu menambahkannya ke Masjid dengan baik, baginya surga sebagai balasan?” Maka saya membelinya dengan hartaku, lalu kalian sekarang melarangku shalat di Masjid walau hanya dua rakaat?” Mereka berkata, “Ya, benar.”

Utsman bertanya lagi, “Demi Allah dan Islam, apakah kalian mengetahui bahwa saya mempersiakan bekal dan tunggangan bagi pasukan yang kesulitan mendapat bekal dan tunggangan dalam berjihad dari hartaku?” Mereka berkata, “Ya, benar.” Utsman terus bertanya, “Demi Allah dan Islam, apakah kalian mengetahui bahwa waktu itu Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam berada diatas gunung Tsabir bersama Abu Bakar, Umar, dan saya. Lalu gunung itu bergetar hingga bebatuannya berjatuhan. Maka beliau menghentakkan kakinya seraya berkata, “Tenanglah wahai Tsabir, sesungguhnya di atasmu hanyalah seorang Nabi, seorang shiddiq, dan dua orang syahid.” Mereka berkata, “Ya, benar.” Utsman pun berkata, “Allahu akbar! Mereka bersaksi demi tuhan Ka’bah bahwa saya mati syahid.” Dia mengulang-ulang ucapan itu sampai tiga kali.

Pengepungan atas rumah Utsman terus berlanjut sampai lewat hari tasyriq dan sebagian kecil jamaah haji telah kembali dari pelaksanaan haji. Mereka memberitahukan tentang keselamatan orang-orang. Para pemberontak itu mendapat kabar bahwa para jamaah haji tahun itu bertekad untuk kembali ke Madinah untuk membela Amirul mukminin. Mereka juga mendengar kabar bahwa tiga pasukan sedang di perjalanan menuju Madinah untuk menolong khalifah. Dalam situasi seperti itu mereka bersikeras mewujudkan rencananya, memanfaatkan kesempatan sedikitnya jumlah kaum muslimin di Madinah karena kebanyakan mereka berangkat ke Mekah melaksanakan haji, mereka mengepung rumah Utsman dan memaksa Utsman untuk mundur dari kekhalifahan. Namun Utsman menolak mundur.

Sementara itu para shahabat saling membantu dalam upaya menolong Utsman dan berperang untuk melindunginya serta menjaga jiwa dan darahnya yang suci. Waktu itu Utsman berkata, “Aku bersumpah kepada Allah atas seorang laki-laki yang melihat bahwa Allah memiliki hak dan menetapkan bahwa saya memiliki hak atasnya, akan menumpahkan darahnya karena aku.”

Utsman melalui hari-hari tersebut dengan berpuasa. Pada malam harinya dia bermimpi melihat Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam, Abu Bakar, dan Umar. Mereka berkata padanya, “Sabar, sesungguhnya engkau akan berbuka di tempat kami pada puasa berikutnya.”

Diriwayatkan dari Muslim bin Abi Sa’id, pelayan Utsman bin Affan, dia berkata, “Sesungguhnya Utsman bin Affan memerdekakan dua puluh budak. Lalu dia minta dibawakan beberapa celana lalu mengenakannya –padahal dia tidak pernah mengenakannya baik pada masa jahiliyah maupun pada masa Islam. Utsman berkata, “Sesungguhnya tadi malam saya bermimpi melihat Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam, Abu Bakar, Umar, mereka berkata kepada saya, “Sabar, sesungguhnya engkau akan berbuka di tempat kami pada puasa berikutnya.” Kemudian Utsman meminta dibawakan mushaf Al-Qur’an lalu membentangkannya di hadapannya. Pada saat terbunuh, Al-Qur’an terbuka dihadapannya.

Utsman berkata pada orang yang ada bersamanya, “Saya mempersaksikan pada kalian bahwa saya pagi ini berpuasa, dan saya bertekad atas setiap orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, bahwa dia akan keluar dari rumah dalam keadaan selamat.” Mereka berkata, “Wahai Amirul mukminin, jika kami keluar, kami tidak menjamin diri kami akan selamat dari mereka.” Maka Utsman pun mengizinkan mereka untuk tetap bersamanya di dalam rumah. Kemudian Utsman menyuruh agar pintu rumah di buka dan meminta sebuah mushaf dan memeluknya. Bersamanya saat itu ada dua orang istrinya, Al-Furafishah dan Bintu Syaiba. Kalaulah bukan penolakannya, orang-orang yang bersamanya pasti akan menolongnya dari para musuhnya. Akan tetapi takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti akan terjadi.

Para penjahat itu pun mengambil keputusan final. Mereka menerobos masuk ke dalam rumah Amr bin Hazm yang bersebelahan dengan rumah Utsman, lalu mereka masuk ke rumah Utsman yang kala itu tinggal sendirian tanpa penjaga dan pembela. Di antara yang menerobos masuk adalah Qutairah As-Sakwani, Sudan bin Humran, Al-Ghafiqi bin Harb, Amr bin Al-Hamiq, Kultsum bin Tujib, seorang bernama Al-maut Al-Aswad , dan Khinanah bin Bisyr At-Tujibi. Mereka menyerang Utsman secara bersamaan. Ada yang memukulnya dengan gagang pedang, yang lain memukul dengan tangan, sementara itu Mushaf Al-Qur’an terbuka di hadapan Utsman dan dia membaca surat Al-Baqarah. Mereka semakin bernafsu untuk membunuhnya. Al-Maut Al-Aswad lalu mencekik leher Utsman dengan kuat, sedangkan Al-Ghafiqi memukulnya besi yang ada di tangannya. Salah seorang dari mereka menebas pedang ke arahnya lalu ditangkis oleh Utsman dengan tangannya hingga putus. Utsman berkata, “Demi Allah, tangan itu adalah tangan pertama yang menulis Al-Mufassahal .” Lalu datang seorang membawa anak panah bermata lebar lalu memukul tulang selangkanya. Utsman mengucap, “Bismillahi tawakkaltu alaih.” Tiba-tiba darah mengalir ke janggutnya hingga menetes, sementara Mushaf masih terbuka di depannya. Dia lalu bersandar pada sisi kirinya seraya mengucap, “Subahanallahi azhim” sambil terus membaca mushaf dan darah mengalir di mushaf hingga berhenti pada firman-Nya, “maka Allah mencukupkan engkau (Muhammad) terhadap mereka (dengan pertolongan-Nya). Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”(QS. Al-Baqarah [2]: 137).

Mereka lalu memukulnya secara bersamaan. Kinanah bin Bisyr yang membawa anak panah memukul pangkal telinga Utsman hingga tembus ke tenggorokannya, lalu dia memukul dahinya dengan tongkat besi hingga Utsman tergeletak ke samping. Datang Sudan bin Humran ingin memukulnya, maka Ni’ilah binti Al-Furafishah, istri Utsman menghalanginya dan menangkis pukulan pedang dengan tangannya hingga putus jari-jari tangannya. Dia lalu menghindar. Maka Sudan meremehkannya, dan berkata, “Dia sudah mati!” lalu dia memukul Utsman yang telah tergeletak ke samping dan membunuhnya. Amr bin Al-Hamiq lalu menginjak dada Utsman yang masih bernafas, lalu menusuknya sembilan kali tusukan. Dia berkata, “Tiga tusukan saya lakukan untuk Allah, sedangkan yang enam untuk mengobati apa yang terpendam di dalam dadaku padanya.”

Tiba-tiba ada yang berteriak, “Jika darah Utsman telah halal, kenapa hartanya tidak?” Maka mereka pun menjarah seluruh harta Utsman dan mengambil semua yang ada di rumahnya yang jumlahnya sangat besar. Bahkan mereka merebut perhiasan yang dikenakan para istri Utsman. Kultsum bin Tujib bahkan mengambil pakaian wanita, lalu dipergoki oleh salah seorang pelayan Utsman. Maka dia membunuh pelayan tersebut. Lalu ada lagi yang berteriak, “Segera ke baitul mal, jangan sampai didahului orang lain!” Ketika para penjaga baitul mal mendengar teriakan itu lantas berkata, “Selamatkan diri kalian, orang-orang itu hanyalah menginginkan dunia!” Mereka pun lari. Tak lama datanglah kelompok pembelot ke baitul mal dan menjarah seluruh isinya yang berjumlah sangat banyak.

Bersambung Insya Allah . . .

Artikel www.SahabatNabi.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.