C. Peperangannya Bersama Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam dan Perjalanan Jihadnya Pasca Wafatnya Rasulullah
1. Keberanian dan Kepahlawanannya dalan Jihad
Jika membicarakan peperangan-peperangan yang diikuti oleh Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam, dan jihad pada masa khulafaur rasyidin, serta peristiwa-peristiwa menentukan pada masa itu, dan penaklukan-penaklukan yang mereka lakukan, maka sosok Zubair akan terlihat pada garda terdepan dan namanya selalu muncul dalam deretan-deretan teratas dari daftar kepahlawanan.
Dan tema yang paling menonjol dalam perjalanan jihadnya bahwa ia adalah “Orang pertama yang menghunus pedang di jalan Allah.” Dan Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam telah mendoakannya dan juga pedangnya, sehingga berkah doa tersebut terlihat jelas dalam hidupnya, sebagaimana terlihat dalam kilauan pedangnya dalam jihad dan kemenangan-kemenangan yang diraihnya.
Di Habasyah ia maju sendirian mengarungi sungai Nil untuk mengetahui apa yang terjadi antara Najasyi dengan pemberontak. Diikuti kemudian dengan berbagai kiprahnya di medan jihad yang terus menambah lembaran kepahlawanannya dalam menegakkan kalimat Allah. Tak sekalipun ia absen dalam peperangan-peperangan Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam, maupun dalam setiap pertempuran-pertempuran besar yang menentukan pada masa khulafaur rasyidin, ia termasuk di antara tiga shahabat yang paling berani yaknim Ali, Hamzah dan Zubair. Juga satu di antara empat shahabat yang paling keras yakni Umar, Ali, Zubairm dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Ia masuki kancah peperangan seolah satu pasukan menyatu dalam dirinya, bahkan Umar menganggapnya bagi laki-laki.
Keberanian ini diwarisi Zubair dari keluarganya. Kakek dan ayahnya tewas dalam medang perang. Lalu ibunya Shafiyyah menyiapkannya untuk menerima tanggung jawab dengan penuh keberanian dan tak gentar untuk maju memasuki kancah kehidupan dan pertempuran. Maka ia pun mendidiknya dengan didikan yang keras tanpa kelonggaran sedikitpun. Hal ini memberikan bekas yang nyata dalam kekuatan jiwa dan ketegarannya dalam menghadapi berbagai peperangan. Semua itu menjadi sempurna dengan didikan dan tuntunan dari Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam. Ia pun selalu berada pada barisan terdepan setiap kali medan tempur memanggilnya. Zubair memasuki medan tempur tanpa sedikitpun rasa takut atau ragu. Karena ia yakin bahwa jiwanya berada di tanganp penciptanya, yang bisa mengambilnya kapan saja, dan segala sesuatu telah mempunyai ajal yang ditentukan. Maka ia aselalu mendahului siapapun untuk maju ke medan jihad, seolah tali-tali kekang kuda telah begitu lentur di tangannya. Ia menikmati suasana pertempuran, seolah medan tempur itu sendiri telah tunduk kepadanya. Telinganya menikmati dentingan pedang, hatinya damai mengarungi lembah kematian. Tubuhnya telah terbiasa menerima lemparan panah, sayatan pedang dan tusukan tombak. Sungguh tepat apa yang digambarkan Hasan Radhiyallahu Anhu tentangnya, “Dia pejuang dan pahlawan yang menghunus pedangnya jika terjadi pertempuran.”
2. Peperangannya bersama Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam
Zubair ambil bagian dalam perang Badar dan perang-perang lain setelahnya. Ikut dalam perang melawan orang-orang yang murtad, merasakan dahsyatnya pertempuran di Yarmuk, Nahawand, penaklukan Mesir dan lainnya. Sebagai hasilnya, di tubuhnya terdapat banyak sekali bekas-bekas tusukan tombak, panah, dan sayatan pedang. Ia berkata, “Tidak ada satupun bagian di tubuhku ini, kecuali telah mendapatkan luka bersama Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam.” Namun begitu, pukul-pukulan pedang yang diterimanya dalam begitu banyak pertempuran yang dahsyat, tak dapat memisahkan ruh dari badannya.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Urwah bin Zubair, “Pedang Zubair berhiaskan perak.”
Dan telah diceritakan sebelumnya bahwa ia menghunus pedangnya di periode awal dakwah Mekah untuk membela Nabi Shallallahualaihi wa Sallam, maka Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam mendoakan kebaikan untuknya dan pedangnya.
Al-Hakim menceritakan dalam kitab Al-Mustadrak dari Urwah bin Zubair, “Demi Allah tidaklah Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam keluar untuk satu peperangan atau suatu ekspedisi militer, melainkan aku ada bersamanya.”
Ibnu Sa’ad dan Ath-Thabrani beserta Abu Nu’aim meriwayatkan dari Urwah bin Zubair, “Zubair masuk Islam saat berusia enam belas tahun, dan tidak pernah absen dalam peperangan yang diikuti oleh Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam,”
Ibnu Sa’ad juga meriwayatkan, “Bahwasanya Zubair dikenal dalam perang dengan memakai ikat kepala berwarna kuning.”
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah, “Pada hari terjadinya perang jamal, Zubair berwasiat kepada anaknya Abdullah dan berkata, “Tidak ada satupun anggota tubuhku, kecuali telah terluka dalam perang bersama Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam, bahkan dibagian kemaluan. (Hadits ini dikategorikan Hasan oleh At-Tirmidzi, dan Shahih menurut Al-Albani).
3. Perang Badar
Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam keluar bersama sebagian shahabatnya bukan dengan niat perang, karena beliau mengajak mereka untuk mencegat kafilah Abu Sufyan yang membawa harta Quraisy. Beliau berkata kepada para shahabatnya, “Itu adalah kafilah Quraisy keluarlah menghadang mereka, semoga Allah memudahkan kalian mendapatkannya.”
Sementara itu Abu Sufyan mengetahui keberangkatan Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam untuk mencegat kafilahnya, maka ia mengupah seseorang dan segera mengutusnya ke Mekah untuk mengerahkan Quraisy menyelamatkan harta benda mereka. Dan ia juga mebarkan mereka bahwasanya Muhammad Shallallahualaihi wa Sallam telah menawarkan kepada shahabat-shahabatnya harta yang dibawa oleh kafilahnya. Dan ia segera bergegas mengubah arah haluan kafilah nya dan mengambil jalan menyusuri pantai sehingga ia selamat.
Kaum Quraisy pun segera bergegas menyelamatkan harta benda mereka. Mereka segera mempersiapkan diri dengan dipimpin oleh pemuka-pemuka kabilahnya. Dan mereka segera keluar dan berjalan lengkap dengan segala peralatan dan perlengkapan perang. Dengan mengendarai unta, kuda, persenjataan yang lengkap, sekaligus tidak ketinggalan arak, alat-alat musik dan para penari wanita. Mereka bergerak dengan kesombongan dan rasa dengki yang begitu mendalam.
Kaum Quraisy melaju dengan seribu prajurit, dengan tujuh ratus unta dan dua ratus kuda. Sementara kaum muslimin hanya berjumlah tiga ratus lebih dengan tujuh puluh unta yang mereka kendarai secara bergiliran dan dua kuda, serta perbekalan dan perlengkapan yang sangat sedikit.
Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam dan para shahabatnya yang tidak mempunyai persiapan untuk berperang mendengar tentang pasukan lengkap kaum musyrikin yang bergerak menujuh Madinah. Namun itu tidak sedikitpun menggoyahkan tekadnya, beliau tetap maju dan menerangkan situasi tersebut kepada para shahabatnya agar mereka tahu. Beliau mengajak mereka bermusyawarah, dan memberikan penekanan kepada golongan shahabat dari Anshar. Dan mendapatkan jawaban yang menyenangkan hatinya, ditambah lagi dengan sikap mereka yang membuktikan komitmen mereka untuk turut berperang.
Ibnu Ishaq dan Ibnu Sa’ad serta yang lainnya menceritakan bahwasanya pada perang Badar hanya terdapat dua kuda dalam pasukan Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam, salah satunay milik Zubair , yang dinamai Al-Ya’sub.
Al-Hakim menceritakan sebua riwayat yang dianggap shahih oleh Adz-Dzahabi, dari Ali bin Abi Thalib, ia mengatakan “Perang pertama dalam Islam adalah perang Badar, kami hanya memiliki dua kuda, satu milik Zubair dan yang lain milik Miqdad.”
Untuk mengetahui kedudukan pasukan Quraisy, Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam mengutus Ali bin Abi Thalib, Zubair, dan Sa’ad bin Abi Waqqash dengan beberapa shahabat lain menuju sumur Badar.
Mereka berhasil menangkap dua mata-mata Quraisy dan membawa mereka ke hadapan Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam. Mereka mendapatkan informasi bahwasanya pasukan Quraisy telah berada di balik sebuah bukit pasir yang berada di lembah Al-Qushwa, dan jumlah mereka berkisar antara Sembilan ratus sampai seribu prajurit. Dan dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Utbah dan Syaiban putra-putra Rabi’ah, Abu jahal, An-Nadhr bin Harits, Hakim bin Hizam, dan Naufal bin Khuwailid paman dari Zubair, serta tokoh-tokoh lainnya.
Kedua pasukan telah mengambil posisi berhadap-hadapan, dan kemudian dentingan pedang-pedang pun terdengar. Perang telah memperlihatkan taringnya, dan para pahlawan pun mengambil bagian untuk bertempur. Zubair menemukan apa yang telah ditunggunya sekian lama untuk membela Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam dan mempertahankan kesucian agamanya.
At-Thabrani menceritakan dari Al-Bahi pembantu Mush’ab bin Zubair, “Pada perang Badar, bersama Rasululah Shallallahualaihi wa Sallam hanya ada dua penunggang kuda, Zubair di sayap kanan, dan Miqdad bin Aswad di sayap kiri.”
Zubair pun memakai sorban kuning yang dengan itu ia dikenal. Dan turun menyerbu ke kancah peperangan. Allah menolong tentaranya dengan tentara Malaikat dari langit, yang juga menggunakan sorban berwarna kuning.
Ibnu Sa’ad, Ath-Thabrani, Ibnu Asakir dan beberapa perawi lainnya meriwayatkan, dan Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah menyatakan shahih riwayat dari Ibnu Sa’ad, dari Hisyam bin Urwah bin Zubairm dari ayahnya Urwah bercerita, “Pada perang Badar Zubair memakai sorban berwarna kuning, dan Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam berkata, “Sesungguhnya para Malaikat turun dengan tanda yang digunakan Zubair.”
Ath-Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Urwah bin Zubair, “Jibril turun pada perang Badar dalam rupa Zubair, dengan melilitkan sorban berwarna kuning.”
Dan Al-Bukhari meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah, bahwa ayahnya berkata, “Zubair bercerita, “Pada perang Badar aku bertemu dengan Ubaidah bin Sa’id bin Al-Ash yang menutup mukanya hingga hanya matanya yang terlihat. Ia dijuluki Abu Dzatil Karisy, dan ia pun berkata, “Akulah Abu Dzatil Karisy.” Maka aku memukulnya dengan tombak dan menusuk matanya hingga tewas.” Hisyam berkata, “Aku diberitahu bahwa Zubair berkata, “Sungguh aku telah menginjakan kakiku di atas tubuhnya, lalu aku berjalan dengan angkuh. Dan dengan susah payah aku mencabut tombak tersebut dari tubuhnya yang ternyata telah bengkok kedua sisinya” Urwah berkata, “Rasulullah meminta tombak tersebut kepada Zubair dan ia pun menyerahkannya. Sepeninggal beliau, Zubair mengambil kembali tombak itu. Abu Bakar kemudian meminta tombak itu dan Zubair pun memberikannya. Saat Abu Bakar meninggal, Umar memintanya dan Zubair pun mengabulkannya. Waktu Umar meninggal dunia tombak itu diambil oleh Zubair lalu diminta oleh Utsman dan Zubair pun menyerahkannya. Ketika Utsman terbunuh tombak itu jatuh ke tangan keluarga Ali dan Abdullah bin Zubair memintanya. Dan tombak itu tetap berada di tangannya sampai ia terbunuh.”
4. Perang Uhud
Dalam perang Uhud Zubair memainkan peran yang begitu besar, memperlihatkan sebuah bentuk kepahlawanan yang diwarnai oleh kokohnya iman dan akidah. Ia menunjukkan kepahlawanan yang diwarnai oleh kokohnya iman dan akidah. Ia menunjukkan keberanian dan sikap laki-laki sejati, serta ciri khas sebuah keimanan dan kekuatan jiwa yang ditopang oleh tubuh yang kuat. Ditambah dengan kemahiran dalam bertempur dan kesabaran dalam menghadapi pertarungan. Ia berhasil mengalahkan salah satu musuh terkuat, dan dengan itu mendapatkan sebuah lencana kehormatan ketika Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam menebusnya dengan kedua orang tuanya, sebagai sebuah pengakuan atas perannya yang begitu menentukan.
Ketika gendering perang mulai ditabuh, salah seorang pembawa panji kaum musyrikin menantang untuk berduel, yang disambut oleh Zubair dan menjadikannya seperti korban-korban sebelumnya.
Yunus bin Bukair meriwayatkan dari Muhammad bin Ishaq, ia mengatakan “Thalhah bin Abi Thalhah Al-Abdari, pembawa panji pasukan musyrik dalam perang Uhud menantang untuk berduel. Banyak yang merasa jeri menghadapinya. Namun Zubair menyambut tantangan itu. Ia melompat ke atas punggung untanya dan menjatuhkannya ke tanah, kemudian menyembelihnya dengan pedangnya. Maka Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam memujinya dan berkata, “Sesungguhnya setiap Nabi mempunyai seorang pembela, dan pembelaku adalah Zubair.” Dan beliau melanjutkan, “Kalau ia tidak menerima tantangannya, niscaya aku yang akan menantangnya, karena aku melihat ketakutan orang-orang kepadanya.”
Dan kemudian panji pasukan musyrik dibawa secara bergantian, dan mereka pun terbunuh satu demi satu. Hingga kemudian diambil oleh Kilab bin Thalhah, maka Zubair menariknya dan lalu membunuhnya.
Ath-Thabari dan yang lainnya meriwayatkan dari Asma binti Abu Bakar Radhiyallahu Anhuma, ia mengatakan “Seorang laki-laki dari pasukan musyrikin maju dengan menyandang pedangnya, ketika ia sampai di tempat yang agak tingi ia berkata, “Siapa yang berani berduel?” Maka Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam berkata kepada seorang laki-laki dari pasukannya, “Apakah kamu mau menghadapinya?” Ia menjawab, “Kalau engkau menginginkannya wahai Rasulullah.” Sementara itu Zubair berusaha memperlihatkan dirinya. Maka Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam kepadanya, “Majulah wahai putra Shafiyyah.” Ia pun maju hingga berhadap-hadapan dengannya. Merekapun mulai bertarung dan saling merangkut satu sama lain hingga jatuh bergulingan. Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam berkata, “Siapa yang terlebih dahulu jatuh ke bawah, akan mati terbunuh.” Maka Nabi Shallallahualaihi wa Sallami berdoa, dan diikuti oleh yang lain. Dan laki-laki kafir itupun terjatuh lebih dahulu, dan Zubair jatuh di atasnya, dan kemudian membunuhnya.”
Dalam riwayat dari Ibnu Asakir, “Maka Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam menyambutnya dan menciumnya, dan berkata, “Paman (dari pihak ayah,) menjadi tebusanmu.”
Ath-Thabari meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, ia mengatakan “Rasullullah Shallallahualaihi wa Sallam menugaskan Zubair sebagai komandan pasukan berkuda, bersama dengan Miqdad bin Aswad Al-Kindi. Dan Rasulullah menyerahkan panji kepada Mush’ab bin Umair, dan Hamzah bin Abdul Muthalib memimpin pasukan Hussar (Al-Hussar yaitu pasukan yang tidak memakai baju besi). Khalid bin Walid maju memimpin pasukan berkuda kaum musyrikin, dan bersamanya ‘Ikrimah bin Abu Jahal. Maka Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam mengutus Zubair, dan berkata, “Songsonglah Khalid bin Walid dan tetaplah menghadangnya sampai aku mengizinkanmu.” Dan memerintahkan pasukan berkuda lain dari sisi yang lain dan berkata, “Janganlah meninggalkan posisi sampai aku mengizinkan.” Lalu Abu Sufyan datang dengan membawa Lata dan Uzza. Maka Rasulullah mengirimkan pesan kepada Zubair agar menyerang, maka ia menyerang Khalid bin Walid hingga Allah mengalahkannya dan pasukan yang bersamanya, dan ia berkata, “Dan sungguh, Allah telah memenuhi janji-Nya kepadamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mengabaikan perintah Rasul setelah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai (QS. Ali Imran [3]:152).”
Peperangan menjadi makin berat bagi kaum musyrikin, dan hawa kemenangan berpihak kepada kaum muslimin. Zubair dan Miqdad terus menekan kaum musyrikin hingga berhasil mengalahkan mereka. Dan Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam beserta para shahabatnya terus menyerang dan berhasil mengalahkan Abu Sufyan.
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya, dan Ahmad dalam Musnadnya dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu. Dan Ath-Thabrani dari Qatadah bin An-Nu’man Al-Anshari Al-Badri. Dan Ishaq bin Rahawaih dan Al-Bazzar dari Zubair, mereka menceritakan, “Pada perang Uhud Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam menawarkan sebuah pedang, orang-orangpun mengambilnya, kemudian melihat-lihat pedang tersebut dan berkeinginan untuk membawanya, Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam berkata, “Siapa yang bisa memberikannya haknya?” Orang-orang pun terdiam. Kemudian majulah beberapa orang, di antaranya Abu Bakar, Umar, Ali, dan Zubair. Namun Rasulullah menolak untuk menyerahkannya. Hingga akhirnya Abu Dujanah Simak bin Kharasyah berdiri dan bertanya, “Apakah haknya wahai Rasulullah?” Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam berkata, “Menggunakannya untuk memukul musuh hingga ia jatuh, tidak memakainya untuk membunuh seorang muslim, dan tidak lari dengannya dari hadapan seorang musuh.” Abu Dujanah berkata, “Aku akan mengambilnya dan menunaikan haknya wahai Rasulullah,” Dan Rasulullah pun memberikannya.”
Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Ishaq, dari Zubair bin Awwam, ia berkata, “Aku merasa penasaran ketika meminta pedang tersebut dari Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam, namun beliau menolak dan memberikannya kepada Abu Dujanah. Demi Allah aku akan memperhatikan apa yang dilakukannya. Maka aku mengikutinya, lalu ia mengeluarkan sebuah ikat kepala merah dan memakainya di kepalanya. Orang-orang Anshar berterika, “Abu Dujanah telah mengeluarkan ikat kematian. Begitulah yang dikatakan ketika ia memakai ikat kepala tersebut.
Dan siapapun yang ia temui pasti dibunuhnya! Di kalangan tentara musyrik ada seorang laki-laki yang tidak membiarkan seorang pun dari kami terluka, dan pasti membunuhnya. Mereka berdua pun mulai saling mendekat satu sama lain, aku berdoa kepada Allah agar mempertemukan mereka. Mereka pun bertemu dan saling memukul. Laki-laki musryik tersebut memukul Abu Dujanah kemudian memukulnya dengan pedangnya dan berhasil membunuhnya. Kemudian aku melihatnya telah siap menebaskan pedang di atas kepala Hindun binti Utbah, namun kemudian ia menjauhkan pedangnya darinya. Zubair berkata, maka aku berkata, “Allah dan Rasulnya lebih mengetahui.”
Jadi Zubair merasa penasaran dengan penolakan Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam ketika ia meminta pedang tersebut. Juga penolakan Rasulullah kepada tiga shahabat besar, yaitu abu bakar, Umar dan Ali. Ketika Zubair melihat apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam, dan ia yakin bahwa beliau tidak melakukan sesuatu kecuali hikmah, ia berkata, “Demi allah, aku akan melihat apa yang akan dilakukan oleh Abu Dujanah.” Ia pun mengikutinya dan menyaksikan sebuah keberanian yang tidak takut akan kematian, dan keperkasaan dalam memporak-porandakan barisan kaum musyrikin. Zubair pun mengetahui rahasia pilihan Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam kepada Abu Dujanah sebagai pahlawan pembawa pedangnya. Saat itu ia berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”
Inilah sebuah sikap yang mencerminkan keberanian jiwa dan kejujuran yang nyata ketika ia mengungkapkan perasaannya, dan meceritakan kepada orang-orang apa yang terbersit dalam hatinya. Agar bisa menjadi contoh sebagai kepatuhan mutlak dalam menerima keputusan Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam, dan menerima hikmah serta kepemimpinan beliau.
Angin peperangan terus berhembus memihak kepada kaum muslimin. Pasukan musuh pun mulai lari meninggalkan medang perang. Dan peperangan seolah akan segera berakhir dengan kemenangan besar. Namun terjadi satu peristiwa yang segera membalikkan keadaan. Pada pemanah yang ditempatkan Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam di bukit Ainan melanggar perintahnya. Mereka meninggalkan posisi mereka dan turun untuk ikut serta mengumpulkan rampasan perang. Maka situasi ini dimanfaatkan oleh Khalid bin Walid yang segera menyerang balik, dan memporak-porandakan barisan kaum muslimin. Anginpun berubah, semuanya menjadi terbalik dan membakar dengan api kekalahan. Mereka menjadi tercerai-berai dan bertempur tanpa komando. Mereka menjadi panic dan putus asa, sehingga banyak yang berputar arah dan lari tanpa tujuan. Sementara itu Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam bertahan di tempatnya, tanpa bergeser sedikitpun. Dan ikut bertahan bersamanya rombongan kecil dari shahabat yang berjumlah empat belas orang. Termasuk di antaranya Zubair, dan semuanya berkata kepada Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam, “Wajahku sebagai jaminan bagi wajahmu, jiwaku sebagai jaminan bagi jiwamu, dan bagimu keselamatan tanpa akhir.”
Saat itu delapan orang shahabat berbai’at kepada Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam dengan bai’at kematian. Tiga dari golongan Muhajirin, yaitu Ali, Zubair, dan Thalhah. Dan lima dari golongan Anshar, yaitu Abu Dujanah, Al-Harits bin Ash-Shammah, Al-Hubbab bin Al-Mundzir, Ashim bin Tsabit, dan Shal bin Hunaif. Dan tidak seorangpun di antara mereka yang terbunuh saat itu!
Pada hari itu, Nabi Shallallahualaihi wa Sallam memuliakan Zubair sebagai penghargaan atas kepahlawanan dan ketegarannya, dan memberikannya sebuah lencana kehormatan yang kekal dengan menebusnya dengan ayah dan ibunya.
Ahmad, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Abdullah bin Zubair, bahwa Zubair bercerita, “Pada perang Uhud, Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam menebusku dengan kedua orang tuanya sekaligus.”
Sementara itu, di tanah tempat berlangsungnya pertempuran, jasad para syuhada terbujur. Di antaranya terdapat Hamzah bin Abdul Muththalib, paman Nabi Shallallahualaihi wa Sallam, juga paman Zubair dari pihak ibunya. Jasadnya telah terkoyak, satu hal yang mendatangkan kesedihan luar biasa bagi Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam. Lalu Shafiyyah menyaksikan jasad saudaranya dalam keadaan seperti itu. Shafiyyah datang dengan membawa dua helai kain untuk mengafaninya, ia pun merelakannya dengan kesabaran dan penuh keimanan.
Ahmad meriwayatkan dengan sanad yang shahih dan juga Abu Ya’la, Al-Barraz dan yang lainnya, dari Hisyam bin Urwah, Urwah bercerita, “Ayahku Zubair menceritakan bahwasanya saat perang Uhud, Datanglah seorang wanita. Hingga ketika ia akan sampai ke tempat para syuhada, Zubair berkata, “Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam tidak ingin wanita itu melihat keadaan mereka”, maka beliau berkata, “Wanita itu, wanita itu!” Zubair berkata, “Maka aku mengenalinya bahwa itu adalah ibuku, aku segera mendatanginya tepat sebelum ia sampai ke tempat para syuhada.” Zubair melanjutkan, “Ia memukul dadaku, dan di adalah seorang wanita yang keras” dan berkata, “Menjauhlah engkau dariku, maka engkau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah yang melarangmu”, diapun berhenti, dan mengeluarkan dua helai kain dan berkata, “Ini ada dua helai kain, aku membawanya untuk saudaraku Hamzah, aku telah mendengar kabar kematiannya, kafanilah ia dengannya.” Zubair berkata, “Kamipun membawa dua kain tersebut untuk mengafani Hamzah, namun disampingnya terdapat shahabat dari Anshar yang telah terbunuh dan juga diperlakukan sebagaimana jasad Hamzah. Ia berkata, “Kami pun merasa malu untuk mengafani Hamzah dengan dua helai kain, sementara shahabat Anshar tersebut tidak mempunyai kain kafan! Maka kami memutuskan, satu untuk Hamzah, dan satu untuk shahabat Anshar. Kami pun mengukurnya, dan mendapatkan salah satunya lebih besar dari yang lain. Kami pun mengundinya, dan mengafani mereka berdua sesuai dengan hasil yang didapat.”
Bersambung Insya Allah . . .
Artikel http://www.SahabatNabi.com