B. Bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
4. Peperangannya bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
Sebagaimana ia mendapingi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada masa damai, Ibnu Auf juga menemani beliau pada masa perang. Dan bagaimana ia ada bersama beliau setiap kali beliau bepergian, dalam shalat-shalat dan ibadah haji, dalam berbagai majelis untuk mendengarkan ajaran beliau, ia juga bergabung di bawah panji beliau dalam seluruh peperangan yang beliau ikuti. Maka sejak pertama ia menjejakkan kakinya dalam kapal dakwah, dan bergabung dalam perjalanannya yang penuh berkah dan petunjuk, ia telah bertekad untuk tidak berpisah dengan pribadi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan menolong agama Allah serta memikul beban dakwahnya. Maka ia tak pernah sekalipun ragu untuk menyambut seruan jihad, dan tak pernah takut menghadapi musuh. Jiwanya juga tak pernah merayunya untuk menjaga dan melindungi dari panah musuh dan pedang orang-orang yang menghalangi dan menentang kebenaran. Sebagaimana ia membentangkan tangan kanannya dalam berinfak dan memberi, serta menghabiskan umurnya untuk menghadiri majelis-majelis Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, mendampingi dan mentaati beliau, ia juga membenamkan tangannya kepada musuh-musuh, dan berjihad menjunjung tinggi kalimat Allah. Berbagai medan tempur telah menjadi saksi bagi berbagai kiprah dan keteguhannya dalam perang. Sehingga dengan demikian ia telah menorehkan lembaran-lembaran penuh cahanya di seluruh penjuru jazirah arab di mana pertempuran terjadi antara Islam dengan siapapun.
5. Pada Perang Badar
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam keluar bersama serombongan shahabatnya yang mulia untuk mencegat kafilah Quraisy. Namum takdir menggiring mereka kepada tujuan lain, karena Abu Sufyan berhasil lolos dengan kafilah yang dipimpinnya, dan digantikan oleh Quraisy yang datang dengan keangkuhannya dan dipimpin oleh tokoh-tokohnya yang paling jahat. Mereka mengumumkan perang melawan kaum muslimin. Maka kedua pasukan pun bertemu di Badar. Itu merupakan perang yang amat menentukan, di mana Allah memberikan kemenangan kepada kelompok mukmin yang begitu sedikit. Pasukan kafir yang begitu besar tersungkur, dan lehernya terinjak dalam sebuah kekalahan yang amat menyakitkan yang kemudian menjadi tanda awal dari berakhirnya penyembahan berhala di jazirah arab. Orang-orang arab segera mendengar tentang kemenangan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para pengikutnya atas keangkuhan Quraisy dan para pelayan kemusyrikan yang zhalim dan kafir.
Abdurrahman mendapat kehormatan untuk ikut serta dalam perang yang menentukan tersebut. Ia tenggelam dalam kecamuk perang sebagai seorang mujahid di bawah panji kebenaran untuk membela agamanya, dan memperjuangkan prinsip-prinsipnya. Peristiwa yang mengagumkan tersebut diceritakan kepada kita oleh dua orang shahabat Anshar yang berjanji kepada diri mereka untuk tidak meninggalkan Abu Jahal hingga berhasil membunuhnya atau mereka yang celaka olehnya, karena apa yang mereka dengar tentang permusuhannya terhadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Diriwayatkan oleh Ahmad, Asy-Syaikhani, dan yang lainnya dari Abdurrahman bin Auf berkata, “Ketika aku tengah berdiri dalam barisan pada perang Badar, aku melihat ke kanan dan diriku. Dan ternyata aku berada di antara dua orang remaja dari Anshar. Mereka masih sangat muda, dan aku berharap bisa lebih kuat dari mereka. Salah seorang dari mereka berkedip kepadaku dan berkata, “Wahai paman, apakah engkau mengenal Abu Jahal?” aku berkata, “Ya, apa keperluanmu dengannya wahai putra saudaraku?” ia berkata, “Aku diberitahu bahwa ia mencaci maki Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, jika aku melihatnya maka aku tidak akan berpisah dengannya hingga yang paling ajalnya di antara kami mati!” aku terkejut mendengar tekad. Lalu yang seorang lagi juga berkedip kepadaku dan menanyakan hal yang sama. Aku belum sempat terjun ke medan perang hingga aku melihat Abu Jahal berkeliling di antara pasukan. Maka aku berkata, “Ketahuilah, inilah orang yang kalian tanyakan tadi.” Maka mereka segera menyerangnya dengan pedang mereka, dan mereka memukulnya hingga berhasil membunuhnya. Setelah itu mereka berdua pergi menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk memberitahu beliau. Maka beliau bertanya,”Siapakah di antara kalian yang telah membunuhnya?” dan keduanya sama-sama berkata, “Aku yang telah membunuhnya.” Beliau berkata, “Apakah telah membersihkan pedang kalian?” Mereka berkata, “Belum”, lalu beliau melihat kedua pedang tersebut dan berkata, “Kalian berdua telah membunuhnya.”
Dan dalam riwayat lain, “Maka aku menunjukkannya kepada mereka berdua, lalu mereka segera memburunya bagaikan elang hingga berhasul memukulnya, dan mereka adalah putra-putra Afra’”.
Dengan terlibat dalam perang Badar Abdurrahman ikut menerima lencana tertinggi yang disematkan langsung oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di dada seluruh pejuang Badar. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani (Al-Bukhari dan Muslim) dan yang lainnya dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallah Anhu dalam kisah Hathib bin Abu Balta’ah, sat itu Umar berkata kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, “Sesunguhnya ika ikut dalam perang Badar dan engkau tidak tahu mungkin saja Allah telah melihat kepada para pejuang Badar dan berkata, “lakukkanlah yang kalian mau, sungguh aku telah mengampuni kalian!”
Dan dalam riwayat lain, “Mungkin saja Allah telah melihat kepada pejuang Badar dan berkata, “lakukanlah yang kalian mau, sungguh telah wajib bagi kalian surge.”
Ucapan yang ditujukan kepada para pejuang Badar ini sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Qurthubi adalah, “Ungkapan penghormatan dan penghargaan, yang mengandung makna bahwa mereka telah melakukan suatu hal yang membuat mereka layak mendapat pengamupunan atas dosa-dosa mereka yang lalu, dan juga pantas untuk mendapat pengampunan atas dosa-dosa mereka yang akan datang. Dan keshalihan pada diri seseorang tidak harus terlihat dalam perbuatan. Allah telah menunjukkan kebenaran Nabi-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam pada orang-orang yang mendapat jaminan tersebut. Mereka tetap melakukan amalan penduduk surga hingga mereka meninggalkan dunia. Dan kalaupun ada sesuatu yang dilakukan oleh salah seorang dari mereka, maka ia akan segera melakukan taubat dengan sebenar-benarnya. Dan orang yang meneliti kisah hidup mereka akan menjumpai keadaan ini pada mereka.”
6. Pada Perang Uhud
Tidak lama setelah perang Badar, perang Uhud pun pecah. Antara dua perang tersebut kaum Quraisy berusaha mengobati luka mereka, dan mengumpulkan kekuatan untuk membalas dendam kepada Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabatnya. Karena mereka telah menghilangkan banyak keluarga mereka, membunuh pemimpin-pemimpin mereka, dan mencegah keangkuhan mereka. Mereka pun mengumpulkan kekuatan untuk memerangi Islam dan kaum muslimin, dan mengajak para sekutu mereka, serta memenuhi seluruh kekuatan mereka. Mereka datang dengan pasukan yang jumlahnya mencapai tiga ribu prajurit, lalu berangkat menuju Madinah Nabawiyah, dan kemudian berkemah di dekat gunung Uhud.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam keluar bersama para shahabatnya untuk menghadapi Quraisy dan mengembalikan mereka dari kesesatan mereka dan menghancurkannya. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menempatkan pasukan pemanah di bukit Ainain, dan berwasiat kepada mereka dengan berkata sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, “Jika kalian melihat kami dipukul kalah maka jangan tinggalkan posisi kalian hingga aku mengirim seseorang kepada kalian, dan jika kalian melihat kami mengalahkan mereka dan memenangkan perang maka jangan tinggalkan posisi kalian hingga aku mengirim seseorang menemui kalian.”
Perang pun berlangsung. Saat itu kemenangan berada di pihak kaum muslimin, dan kaum musyrikin kembali mengalami kekalahan yang pahit. Ketika pasukan pemanah melihat kaum musyrikin telah melarikan diri, banyak dari mereka yang lupa akan perintah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan wasiat beliau. Mereka tidak lagi mendengarkan komandar mereka, dan meninggalkan posisi. Mereka turun untuk ikut mengumpulkan harta rampasan perang bersama yang lainnya. Wajah kemenangan pun berbalik dari mereka. Segalanya berubah, mereka menderita kekalahan dan tercerai berai, kecuali Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan sedikit kelompok yang tetap bertahan bersama beliau.
Pada perang tersebut Abdurrahman menunjukkan berbagai kontribusi mulia yang mengisyaratkan kekokohan imannya, kekuatan jiwanya, keteguhan dirinya, dan totalitas dalam membela agamanya dan memegang teguh prinsipnya, serta kegigihannya dalam menjaga janji yang telah ia berikan kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ia pun bertahan sebagai seorang pahlawan, menerima berbagai pukulan dari musuh-musuhnya dan ia pun banyak melayangkan pukulan kepada mereka. Dan ketika orang-orang kafir berhasil menggempur pasukan muslimin dan melukai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan ketika banyak di antara mereka yang tercerai berai sementara Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tetap bertahan di hadapan musuh, Abdurrahman tidak beranjak sejengkalpun dari tempatnya. Ia bertahan bersama para shahabat pemberani lainnya, mereka berkumpul di keliling Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan melindungi beliau. Dari kalangan Muhajirin terdapat : Abu Bakar, Umar, Ali, Thalhah, Zubair, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abu Waqqash, dan Abu Ubaidah bin Jarrah. Sementara dari kalangan Anshar : Al-Hubab bin Al-Mundzir, Abu Dujanah, Ashim bin Tsabit, Al-Harits bin Ash-Shimmah, Sahal bin Hunaif, Sa’ad bin Muadz, dan Muhammad bin Maslamah.
Para pahlawan tersebut berjuang mati-matian melindungi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan meringankan serang pasukan kafir terhadap beliau. Dan ketika perang berakhir, Ibnu Auf mendapatkan banyak bekas luka di tubuhnya. Pedang-pedang dan panah musuh berlalu dengan meninggalkan bukti-bukti jihad yang amat jelas dan dapat terlihat oleh siapapun yang melihatnya. Ia mendapatkan begitu banyak luka yang parah hingga membuatnya pincang. Dan ia tetap dalam keadaan demikian sepanjang sisa hidupnya.
Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dan Al-Hakim dari Ibrahim bin Sa’ad berkata, “Telah sampai kepadaku bahwasanya Abdurrahman bin Auf mendapat sebanyak dua puluh satu luka pada perang Uhud, dan ia juga terluka di kakinya hingga menjadi pincang karenanya.”
Dan diriwayatkan oleh Ziyad bin Abdullah Al-Bakka’I dari Ibnu Ishaq, “Bahwasanya Abdurrahman bin Auf memiliki dua gigi seri yang patah, dan sedikit cacat yang membuatnya kesulitan. Pada perang Uhud ia terkena pukulan yang mematahkan giginya, dan mendapat sebanyak dua puluh luka atau lebih. Sebagian luka tersebut mengenai kakinya hingga ia pincang.”
Saat berkecamuknya perang, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memeriksa para shahabatnya dan bertanya tentang keadaan tokoh-tokoh mereka. Beliau juga mencari-cari berita mengenai Abdurrahman bin Auf, dan pada momen yang mulia tersebut beliau mengumumkan bahwa Malaikat turut berperang bersama Ibnu Auf, dan membantunya menghadapi musuh.
Diriwayatkan oleh Al-Bazzar, Ath-Thabrani, dan Ibnu Asakir dari Al-Harits bin Ash-Shimmah berkata, “Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallambertanya kepadaku pada saat perang Uhud, dan saat itu beliau berada di jalan yang ada di gunung, “Apakah engkau melihat Abdurrahman bin Auf?” Aku menjawab, “Ya, aku melihatnya disamping bukit kecil itu sedang menghadapi sekelompok pasukan musyrikin. Aku hendak membantunya, namun ketika aku melihatmu maka aku pun menemuimu terlebih dahulu.” Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, “Sesungguhnya Malaikat ikut berperang bersamanya.” Al-Harits berkata, “Maka aku pergi menemui Abdurrahman, dan aku melihat tujuh orang musuh telah terkapar di sekelilingnya. Maka aku berkata, “Sungguh engkau beruntung!! Apakah engkau telah membunuh mereka semua?” ia berkata, “Kalau ini Artha’ah bin Abdu Syurahbil dan ini, aku yang telah membunuh mereka, namun yang lain telah dibunuh oleh sesuatu yang tidak terlihat olehku!” Maka aku berkata, “Sungguh benar Allah dan Rasul-Nya.”
7. Perang Hudaibiyah dan Bai’at Ridhwan
Pada tahun keenam Hijrah, Abdurrahman ikut bersama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam perang Hudaibiyah. Ia turut menyaksikan penulisan perjanjian. Saat itu seluruh pasukan selain Al-Jud bin Qais ikut dalam bai’at Ridhwan. Dan dengan demikian Ibnu Auf pun memperoleh kehormatan dan penghargaan yang istimewa. Bersama saudara-saudaranya yang lain ia memperoleh ridha Allah Azza wa Jalla yang memuji mereka dalam firmannya, “Sungguh Allah telah meridhai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon, Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balsan dengan kemenangan yang dekat,”116
Inilah puncak dari segala keistimewaan dan keutamaan. Siapapun yang kembali dari peperangan dan jihadnya dengan membawa keridhaan Allah, maka ia telah memperoleh seluruh kebaikan, dan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dan ini dikuatkan lagi oleh keterangan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Hibban dari Jabir bin Abdullah berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak akan masuk neraka orang yang ikut berbai’at di bawah pohon.”
Dan diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dinyatakan hadits hasan olehnya dari jabir berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Pasti akan masuk surge orang yang berbai’at di bawah pohon, kecuali orang yang memiliki unta merah.”117
8. Penaklukkan Kota Mekkah
Pada tahun kedelapan Hijrah, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mempersiapkan sebuah pasukan yang sangat besar. Beliau menghimpun sebanyak sepuluh ribu prajurit yang menyatu dalam barisan mujahidin. Belum pernah terjadi sebelumnya di dalam masyarakat muslim, pasukan sebesar itu terkumpul sebelum perang yang penuh berkah tersebut. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berangkat menujuh Mekah Al-Mukarramah untuk memberi pelajaran kepada Quraisy atas dosa yang mereka lakukan dan pengkhianatan mereka ketika mereka melanggar perjanjian dengan memberi bantuan kepada sekutu mereka dari Bani Bakar dalam menyerang sekutu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari Bani Khuza’ah.
Abdurrahman pun tak ketinggalan untuk turut mendapatkan kehormatan dari peristiwa tersebut. Di mana ia bisa kembali ke tanah kelahirannya Mekah, menikmati kembali pandangan Baitullah Al-Haram dengan kedua matanya langsung dan memperbaharui janjinya di Ka’bah Al-Musyarrafah. Dalam perang tersebut ia mempunyai peran yang sangat mulia yang menunjukkan sifat kasih sayang yang telah tertanam di hatinya yang lembut dan pada jiwanya yang bersih.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan pamannya Abbas untuk membawa Abu Sufyan dan menahannya di celah sebuah lembah yang terletak di muka sebuah bukit. Agar ia bisa menyaksikan pasukan islam yang melewatinya sehingga memberikan pengaruh yang dalam pada dirinya, dan agar ia merasakan kekaguman dari segala sisi.
Pasukan demi pasukan terus maju, hingga kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam lewat dalam sebuah pasukan dengan pakaian hijau. Beliau menyerahkan bendera kepada Sa’ad bin Ubadah yang berada di depan pasukan. Ketika Sa’ad lewat dengan membawa bendera ia berseru, “Wahai Abu Sufyan, hari ini adalah hari pertempuran, hari ini Ka’bah akan dibebaskan, dan hari ini Allah akan menginakan Quraisy!” lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lewat dan ketika berada di hadapan Abu Sufyan, ia berkata, “Wahai Rasulullah. Apakah engkau memerintahkan untuk memerangi kaummu? Sa’ad dan orang-orang yang bersamanya mengira demikian saat lewat di hadapan kami, ia berkata, “Wahai Abu Sufyan, hari ini adalah hari pertempuran, hari ini Ka’Bah akan di bebaskan, dan hari ini Allah akan menghinakan orang Quraisy!” maka demi Allah, sesungguhnya aku meminta perlindunganmu untuk kaummu. Engkau adalah orang yang paling baik dan paling memelihara hubungan.” Kemudian Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan berkata, “Wahai Rasulullah, kita tidak menjamin Sa’ad untuk tidak menyerang Quraisy.” Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, “Wahai Abu Sufyan, hari ini adalah hari kasih sayang, hari ini adalah hari dimana Allah akan memuliakan Quraisy.” Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengutus seseorang kepada Sa’ad untuk menggantikannya dan kemudian menyerahkan bendera kepada nya Qais bin Sa’ad.
Sikap yang di ambil oleh Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan ini didasarkan kepada perasaan kasih dan sayang kepada Quraisy, dan didorong oleh keinginan untuk menghindarkan pertumpahan darah serta bergabungnya Quraisy ke dalam pelukan Islam, dan masuk Islamnya mereka secara berbondong-bondong. Jiwa-jiwa yang telah dibina oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ini bagaikan sebatang pohon yang berbuah. Ketika anak-anak kecil melemparinya dengan batu ia akan membalas dengan buah yang baik. Merekalah sosok yang tak pernah menyukai pembalasan dendam pribadi, atau memusuhi orang-orang, namun mereka hanya memerangi kekufuran, kesombongan, kezhaliman dan sikap tirani. Jika semua orang, baik besar maupun yang kecil telah menyerahkan diri kepada Islam, dan bergabung ke dalam pelukannya dengan sukarela, maka biarlah mereka masuk ke dalam dekapan kasih sayangnya dan mendapat kebahagiaan dengan kelapangan dada kaum muslimin secara terhormat.
Bersambung Insya Allah . . .
Artikel http://www.SahabatNabi.com