Categories
Abdurrahman bin Auf

Biografi Sahabat Nabi, Abdurrahman Bin Auf : Bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam (Seri 5)

B. Bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam

3. Mendamping Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, melakukan perintah beliau, dan beberapa momen yang dihadapinya bersama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam

Abdurrahman mendapat kehormatan untuk mendampingi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sejak awal dakwah Islam. Ia menemani beliau selama periode Mekah, dan tidak pernah berpisah dengan beliau kecuali selama ia hijrah ke Habasyah. Kemudian ia meneruskan kebersamaan tersebut di Madinah Al-Munawwarah. Dan Waktu yang ia habiskan dalam mendampingi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pun membentang hingga kurang lebih dua puluh tahun. Selama itu Ibnu Auf merupakan salah satu pembela dan tangan kanan beliau. Ia mendapat kehormatan untuk belajar langsung dari beliau, dan mengikuti beliau, serta kebahagiaan dalam menolong beliau dalam membangun Negara dan menyebarkan dakwah. Ia mengambil tempat dalam barisan terdepan di antara shahabat yang terdekat di hari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dalam majelis-majelis beliau, baik yang umum maupun yang khusus. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pun mendekatkannya kepada beliau, mengangkat kedudukannyaa, dan meninggikan martabatnya diantara manusia. Beliau sering memujinya, dan memahkotai semua pujian itu dengan memberinya kabar gemberika berupa surge. Dan ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam wafat, beliau ridha kepadanya.

Diriwayatkan oleh Iman Ahmad, dari Abdurrahman bin Auf bertaka, “Shallallahu Alaihi wa Sallam keluar dari rumahnya menuju kebunnya. Beliau masuk, menghadap kiblat, lalu sujud dan melamakan sujudnya sehingga aku mengira bahwa Allah telah mengambil nyawanya pada sujud tersebut. Maka aku pun mendekat dan duduk didekatnya. Beliau berkata, “Ada apa denganmu?”, aku berkata, “wahai Rasulullah, engkau telah sujud begitu lama sehingga aku mengira bahwa Allah telah mengambil nyawamu dalam sujudmu!” maka beliau berkata, “Sesungguhnya Jibril telah menemuiku dan memberiku kabar gembira. Ia berkata, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, “Siapa yang bershalawat kepadamu maka aku akan bershalawat untuknya, dan siapa yang memberi salam kepadamu maka aku akan memberikan salam untuknya.” Maka aku pun bersujud kepada Allah sebagai rasa syukur.”

Dan dalam sebuah riwayat dari Abu Ya’la, dari Abdurrahman bin Auf, ia berkata “Ada lima atau empat orang dari kami, para shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang tak pernah meninggalkan beliau , untuk memenuhi kebutuhan beliau siang dan malam. Suatu kali aku datang, dan mendapati beliau telah keluar, maka aku mengikuti beliau. Lalu beliau mengikuti salah satu kebun yang berada di Al-Aswaf.112 Beliau melaksanakan shalat, lalu sujud dan melamakan sujud beliau. Maka aku menangis dan berkata, “Allah telah mencabut ruh beliau!” ia berkata, “Maka beliau mengangkat kepalanya dan memanggilku lalu berkata, “Ada apa denganmu?” aku berakat “wahai Rasulullah, engkau terlalu lama dalam sujudmu sehingga aku berkata, “Allah telah mencabut nyawa Rasul-Nya, aku tidak akan bertemu lagi dengannya!” maka beliau berkata, “Aku sujud sebagai rasa syukur kepada tuhanku yang telah mengujiku dengan umatku. Siapa yang bershalawat kepadaku dari umatku maka Allah akan menulis sepuluh kebaikan baginya, dan menghapus sepuluh kejahatan darinya.”

Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu Anhu senantiasa mendampingi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam setiap kali beliau bepergian. Ia mendampingi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berziarah kepada para shahabatnya, atau mengunjungi mereka pada saat mereka sakit, sebagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga mengajak nya untuk pergi melihat anak-anak dan keluarganya. Maka ia pun melayani beliau, belajar langsung dari beliau, bertanya, menghafal hadits-hadits beliau, dan kemudian meriwayatkan peristiwa-peristiwa yang dialaminya bersama beliau kepada umat.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas, dan juga Ibnu Sa’ad dengan riwayat yang panjang dari Jabir bin Abdullah Al-Anshari, dari Abdurrahman bin Auf berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memegang tanganku dan kemudian membawaku ke sebuah kebun tempat Ibrahim113 berada. Beliau meletakkannya di pangkuannya dan kemudian kedua mata beliau berlinang air mata. Maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau menangis? Bukankah engkau telah melarang tangisan?!” beliau berkata, “Sesungguhnya yang aku larang adalah meratap, aku melarang dua suara bodoh dan buruk, yaitu suara alunan yang membuat lalai dan merupakan seruling setan, dan suara ratapan ketika mendapat musibah dengan mencakar wajah, merobek kantung pakaian yang merupakan alunan setan. Adapun ini adalah rahmat, siapa yang tidak mengasihi maka ia tidak akan dikasihi. Duhai Ibrahim, jika saja ini bukanlah satu hal yang pasti, dan janji yang benar, dan bahwasanya ia merupakan jalan yang harus ditempuh, dan bahwa orang-orang yang datang kemudian akan berkumpul dengan mereka yang telah lebih dahulu pergi, niscaya kami akan bersedih lebih dalam dari ini, sungguh kami sangat sedih atasmu. Air mata telah mengalir, hati telah berduka, namum kita tidak akan, mengucapkan apa yang akan membuat murka Tuhan Azza wa Jalla.”

Dan diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani (Al-Bukhari dan Muslim) dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma berkata, “Suatu ketika Sa’ad bin Ubadah menderita sakit keras, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam datang menjenguknya bersama Abdurrahman bin Auf, Sa’’ad bin Abi Waqqash serta Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhum. Ketika beliau masuk Sa’ad sudah dikelilingi oleh keluarganya, beliau lalu bertanya, “Apakah ia sudah tiada?” mereka menjawab, “Belum wahai Rasulullah.” Maka beliaupun menangis dan ketika orang-orang melihat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menangis merekapun menangis. Maka beliau berkata, “Tidakkah kalian mendengar? Sesungguhnya Allah tidak akan menyiksa karena tetesan air mata ataupun karena kesedihan hati, tetapi karena Allah akan menyiksa karena ini, beliau menunjuk karena lidahnya atau Allah akan merahmatinya. Dan sesungguhnya seorang mayit akan diadzab karena tangisan keluarganya atasnya”.

Setiap kali ia bertambah dekat dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, semakin bersar pula rasa cinta dan penghormatan Ibnu Auf kepada beliau, dan bertambah pula penghargaan dan pujian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepadanya. Dan beliau juga akan mengarahkan perhatian orang-orang kepada kelebihan-kelebihannya serta menceritakan berbagai keutamaannya kepada mereka. Bahkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga menjadikan beberapa sikap Abdurrahman bin Auf sebagai contoh teladan yang harus ditiru, karena beliau mengetahui kejujuran imannya, dan keyakinannya yang begitu mendalam, serta ketinggian jiwanya dan juga kemuliaan akhlaknya.

Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dan Ibnu Asakir secara mursal dari Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memberi sesuatu kepada sebuah kelompok dimana Abdurrahman bin Auf ada di antara mereka. Namum Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak memberinya apa yang beliau berikan kepada orang lain. Maka Abdurrahman pun keluar sambil menangis. Ia berjumpa dengan Umar yang bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” ia menjawab, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memberi sesuatu kepada sekelompok orang di mana aku ada bersama mereka. Namum beliau meninggalkanku dan tidak memberiku apa-apa aku takut Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sengaja tidak memberika karena suatu yang membuat beliau marah kepadaku!” ia berkata, kemudian Umar mendatangi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan memberitahu beliau tentang Abdurrahman bin Auf dan apa yang telah dikatakannya. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, “Aku sama sekali tidak menyimpan kemarahan kepadanya, namum aku percaya kepada keimanannya.”

Dan diriwayatkan oleh Abu Nu’aim, Ibnu Asakir, dan yang lainnya, “Bahwa seorang laki-laki membacakan Al-Qur’an di hadapan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ia mempunyai suara yang lembut dan bacaan yang lembut pula. Seluruh yang hadir di sana menagis selain Abdurrahman bin Auf. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, “Kalaupun mata Abdurrahman tidak menagis, maka hatinya lah yang menangis.”

Dan dalam momen-momen lainnya, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memberinya penghargaan dan memberinya bagian yang sama seperti tokoh-tokoh Muhajirin dan pemuka kaum muslimin lainnya. Bukan untuk membantu keadaannya karena ia sudah berkecukupan, namun agar ia menyadari tingginya kedudukannya seperti Umar dan tokoh shahabat lainnya. Dan agar ia dan juga yang lainnya tahu bahwa pemberian tersebut, ataupun jika ia tidak diberi, semua itu tidak akan menambah kedudukannya ataupun menjatuhkannya. Dalam timbangan kebenaran, harta dunia merupakan barang yang tidak bisa menjadi ukuran dalam melihat nilai seorang laki-laki. Namun harta tersebut justru harus digunakan pada tempat yang semestinya dan dalam keadaan yang tepat.

Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Ubaidillah bin Utbah berkata, “Rasullullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah membagikan tanah di Madinah. Beliau memberikan Bani Zuhra bagian di belakang masjid, dan Abdurrahman mendapat bagian berupa Al-Hasysy, Al-Hasysy adalah beberapa pohon kurma ukuran kecil yang tidak perlu disiram.”

Dan diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Sa’ad, dari Urwah bin Zubair, “Bahwasanya Abdurrahman bin Auf berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Umar telah memberiku tanah ini dan itu. Lalu Zubair menemui keluarga Umar dan membeli bagian mereka dari mereka, lalu ia mendatangi Utsman dan berkata, “Abdurrahman bin Auf mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Umar telah memberinya tanah ini dan itu, sementara aku harus membeli bagian dari keluarga Umar?” Maka Utsman berkata, “Abdurrahman bin Auf layak untuk mendapatkan hal itu untuknya.”

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hidup bersama para shahabatnya setiap hari dan setiap saat. Beliau senantiasa mengikuti kabar mereka dan bertanya tentang keadaan mereka sehingga beliau bisa ikut bergembira jika ada yang mendapat kebahagiaan dan menghibur mereka yang ditimpa kesedihan serta meringankan beban mereka. Beliau mendorong yang kaya untuk berinfak, dan menunjukkan yang miskin pintu-pintu usaha, serta memberikan contoh dalam menjaga kehormatan diri. Beliau selalu menjenguk shahabatnya yang sakit, menghamparkan kasih saying kepada orang-orang lemah, dan menunjukkan rasa cinta dan tawadhu’nya kepada mereka hingga setiap orang merasa dekat dan dicintai oleh beliau.

Dalam setiap kesempatan dan pada setiap saat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menanamkan kebaikan, menunjukkan jalan kepadanya, dan memberikan petunjuk. Beliau mengarahkan para shahabatnya dengan perkataan dan perbuataan langsung dalam meniti tangga kesempurnaan dan kebenaran. Beliau menyatukan hati mereka mengeratkan ikatan mereka, dan merapatkan barisan mereka. Beliau juga mendekatkan antara yang kaya dengan yang miskin, dan menghilangkan dari diri mereka noda-noda perbedaan dan menjadikan mereka satu kesatuan. Beliau memberikan contoh bagi seluruh manusia sebuah gambaran yang hidup tentang bagaimana menghimpun seluruh individu yang ada dalam masyarakat muslim, dan mengumpulkan seluruh potensi mereka dalam mengokohkan nilai-nilai kebaikan serta saling berlomba dalam kebaikan dan melakukan perbuatan-perbuatan yang mulia. Ini semua tidak dengan paksaan namun mengalir begitu saja mengikuti fitrah yang murni, serta memanfaatkan seluruh kesempatan yang ada dalam menguatkan prinsip-prinsip kebenaran.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, dan yang lainnya dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, Ia berkata “Nabi melihat sisa minyak wangi berwarna kuning di tubuh Abdurrahman bin Auf. Maka beliau bertanya, “Apakah ini?” dan ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah menikahi seorang wanita dengan emas seberat biji.” Maka beliau berkata, “semoga Allah memberkahimu, laksanakanlah resepsi pernikahan walaupun dengan seekor kambing.”

Dan diriwayatkan oleh Al-Bazar dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata, “Bersedekahlah kalian, sesungguhnya aku hendak mengirim pasukan.” Ia berkata, “Maka datanglah Abdurrahman bin Auf dan berkata, “Wahai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, “Semoga Allah memberkahimu dalam harta yang engkau infakkan, dan memberkahimu dalam harta yang engkau simpan.” Lalu datang seorang Anshar yang memiliki dua sha’ kurma, satu sha’ untuk Tuhanku, dan satu sha’ untuk keluargaku.” Ia berkata, “Maka orang-orang munafik mencelanya dan berkata, “Tidak ada orang memberi seperti pemberian Ibnu Auf kecuali karena riya’”, dan mereka juga berkata, “Bukankah Allah dan Rasulnya tidak butuh satu sha’ ini?” maka Allah menurunkan firmannya “Orang munafik yaitu mereka yang mencelah orang-orang beriman yang memberikan sedekah dengan sukarela dan yang mencela orang-orang yang hanya memperoleh untuk disedekahkan sekadar kesanggupannya,”114

Dan kisah ini juga diturukan oleh Ibnu Abu Hatim, Ath-Thabari, Ibnu Asakir, Al-Qurthubi, dan yang lainnya ketika berbicara tentang sebab turunnya ayat ini.

Dalam beberapa riwayat dikatan bahwa harta Abdurrahman berjumlah delapan ribu dinar, dan ia menginfakkan setengahnya yaitu sebanyak empat ribu dinar.

Adapun asal dari hadits yang ada dalam Ash-Shahihain dari abu Mas’ud Al-Anshari Al-Badri berkata, “Ketika ayat sedekah turun, kami saling berlomba dalam mendapatkan pahala. Lalu kemudian ada seseorang yang bersedekah sangat banyak, maka mereka (orang munafik) berkata, “ia bermaksud riya’!” lalu datang orang lain yang hanya bersedekah sebanyak satu sha’, maka mereka berkata, “Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan satu sha’, maka mereka berkata, “Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan satu sha’ ini.” Maka turunlah ayat, “(orang munafik) yaitu mereka yang mencela orang-orang beriman yang memberikan sedekah dengan sukarela dan yang (mencela) orang-orang yang hanya memperoleh (untuk disedekahkan) sekadar kesanggupannya,”115

Yang datang dengan sedekah yang banyak adalah Abdurrahman bin Auf, dan Al-Hafizh Ibnu Hajar telah menerangkan hal ini secara panjang lebar dalam Fathul Bari.

Dan diriwayatkan oleh Ahmad dan An-Nasa’I dari Jubair bin Nufair dari Abu Tsa’labah Al-Khasyani bahwasanya ia menceritakan kepada mereka, “bahwa para shahabat berperang bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menuju Khaibar, dan orang-orang kelaparan. Lali mereka menemukan seekor keledai dan menyembelinya. Kemdian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam diberitahu tentang itu. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menugaskan Abdurrahman bin Auf untuk mengumumkan kepada orang-orang, “Dengarlah, sesungguhnya daging keledai tidak halal bagi mereka yang bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.”   

Ibnu Auf tetap pada kesetiaannya terhadap agamanya, dan juga kesetiaannya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ia terus mendekatkan diri kepada beliau, mempersembahkan berbagai macam bentuk ketaatan kepada beliau, melaksanakan segala perintah beliau, dan berbuat total dalam melayani dan menghargai beliau. Ini terus dilakukannya hingga detik-detik terakhir dari umur beliau yang penuh berkah, ketika beliau meninggalkan dunia dan kembali kepada Allah. Abdurrahman tidak ketinggalan dalam menyaksikan detik-detik yang mengharukan tersebut, detik-detik begitu berat bagi jiwa setiap orang mukmin. Ia adalah salah seorang yang berkesempatan untuk melihat jasad Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk terakhir kalinya, lalu membawa beliau dengan kedua tangannya, ikut turun dikuburannya, dan kemudian ikut menguburkan beliau. Peristiwa yang sangat mengharukan seperti itu bisa memberikan bekas yang sangat dalam pada diri seseorang yang ditinggal oleh orang yang sangat berharga dan sangat dicintainya. Maka bisa kita bayangkan jika yang meninggal adalah seorang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam?! Pada detik-detik tersebut Abdurrahman telah memperbaharui sumpahnya untuk tetap melanjutkan jalannya sesuai dengan jalan yang ditempuh oleh Rasul yang agung. Ia mengikat sebuah janji dengan Tuhannya bahwa ia akan tetap mengikuti gurunya yang pertama, yang juga penutup jalannya hingga nafas terakhir dalam hidupnya, ketika ia kembali kepada nya dalam keadaan ridha dan diridhai.

Kebersamaan penuh berkah yang begitu panjang bersama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memberikan tambahan keutamaan dan kemuliaan bagi Ibnu Auf di setiap momen yang di alaminya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah orang yang paling baik terhadap manusia, dan orang yang paling berhak menerima kebaikan beliau adalah para shahabatnya, penolongnya, dan pembelanya. Dan Abdurrahman berada pada barisan terdepan dari mereka semua. Maka beliau pun memberinya penghargaan yang begitu banyak, setiap pernghargaan yang diberikan menjadi rebutan bagi orang0irang yang menginginkan kebaikan. Beliau pernah mengirimnya untuk bertugas mengumpulkan sedekah ke beberapa wilayah, dan menjadikan saksi dalam perjanjian Hudaibiyah. Beliau juga mempercayakannya untuk menjaga istri-istri beliau, maka beliaupun mengumumkan di hadapan semua orang bahwa Ibnu Auf adalah seorang yang baik dan terpercaya yang akan menjaga istri-istri beliau. Dalam salah satu peperangan bahkan beliau pernah shalat sebagai makmum di belakangnya. Seluruh hal di atas merupakan buah dari kebersamaan yang baik bersama Nabi Shallallahu Alaihi wa Salla, dan juga bentuk kebaikan serta kemenangan di akhira untuk shahabat mulia ini.

Khalifah bin Khayyath menyebutkan dalam Taarikhnya nama-nama shahabat yang ditugaskan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk mengumpulkan sedekah. Dan ia juga menyebutkan bahwa beliau mengutus Abdurrahman bin Auf untuk mengumpulkan sedekah Bani Kilab.

Al-Waqidi menuturkan kisah perjalanan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ke perang Hudaibiyah, dan ia menyebutkan bahwa sekelompok shahabat membawa serta hewan sembelihan mereka, diantaranya : Abu Bakar, Abdurrahman, Utsman, dan Thalhah.

Dan disebutkan oleh Ibnu Ishaq, Al-Waqidi, dan muridnya Ibnu Sa’ad rincian dari perang tersebut, serta perjanjian antara Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan kaum musyrikin Quraisy, serta orang-orang yang turut menyaksikan perjanjian tersebut. Mereka berkata, “Abu Bakar menjadi saksi, juga Umar bin Khaththab, Abdurrahman bin Auf, Abdullah bin Suhail bin Amru, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Mahmud bin Maslamah,”.

Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Ismail bin Abu Khalid, dari Amir Asy-Sya’bi berkata, “Yang turun ke kuburan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah Ali, Al-Fadhl, dan Usamah. Amir berkata, “Dan Marhab atau Ibnu Abu Marhab memberitahuku bahwa mereka juga mengikutkan Abdurrahman bin Auf bersama mereka.”

Dan dalam riwayat lain dari Asy-Sya’bi berkata, Marhab atau Ibnu Abu Marhab memberitahuku, ia berkata, “Sepertinya aku melihat empat orang di kuburan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan salah satunya adalah Abdurrahman bin Auf.”

Zubair bin Bakkar berkata, “Abdurrahman bin Auf adalah orang kepercayaan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam mengurus istri-istri beliau.”

Hal ini dikarenakan Abdurrahman yang mengurus kebutuhan ummahatul mukminin Radhiyallahu Anhunna, mendampingi mereka menunaikan haji, memberikan nafkah kepada mereka, menginfakkan harta yang banyak bagi mereka, dan berwasiat setelah kematiannya untuk mereka dengan harta yang cukup banyak.

Hal ini dikuatkan oleh banyak hadits dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, serta banyak peristiwa yang berulang di mana Abdurrahman melayani kebutuhan istri-istri Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Disebutkan oleh Ahmad dalam Al-Fadhail, dan juga At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan yang lainnya, serta dishahihkan oleh banyak imam, dari Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf, dari Aisyah Radhiyallahu Anha, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah berkata, “Sesungguhnya urusan kalian merupakan salah satu hal penting yang aku tinggalkan sepeninggalku nanti, dan tidak aka nada yang bisa bersabar mengurus kalian nanti kecuali orang-orang yang bersabar.” Ia berkata, kemudian Aisyah berkata, “Maka Allah memberi ayahmu minuman dari mata air salsabil di surge.” Maksudnya Abdurrahman bin Auf, dimana ia memberi istri-istri Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam harta sebanyak empat puluh ribu dinar.”

Dan diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf berkata, “Umar mengizinkan istri-istri Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk melaksanakan haji pada musim haji terakhir yang dilaksanakannya. Ia mengirim Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf bersama mereka.”

Dan dalam sebuah riwayat dari Ibnu Sa’ad melalui Al-Waqidi, dari Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf berkata, “Pada musim haji di mana Umar menunaikan ibadah haji pada tahun kedua puluh tiga, dan itu adalah haji terakhir yang ditunaikan oleh Umar, istri-istri Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meminta izin kepadanya untuk berangkat. Ia mengizinkan mereka dan ia memerintahkan untuk mempersiapkan perjalanan mereka. Mereka dibawa dalam sekedup yang mempunyai kantung-kantung hijau, dan menugaskan Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan menemani mereka. Utsman berjalan dengan tunggangannya di depan mereka, dan tidak mengizinkan seorangpun untuk mendekat, sementara Abdurrahman berjalan dengan tunggangannya di belakang mereka serta tidak mengizinkan seorangpun untuk mendekati mereka. Setiap kali Umar berhenti mereka juga akan ikut berhenti.”

Diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad, An-Nasa’I, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan yang lainnya dari Al-Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu Anhu, bahwasanya ia ikut bersama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pada perang Tabuk. Al-Mughirah berkata, “Sebelum shalat fajar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam Alaihi wa Sallam pergi untuk membuang hajat, maka aku membawakan air dengan bejana untuk beliau. Dan ketika selesai beliau menemuiku dan aku tuangkan ke tangan beliau air dari bejana. Beliau membasuh kedua telapak tangannya tiga kali, lalu membasuh mukanya. Kemudian beliau menyisingkan kedua tangannya dan kemudian mengeluarkan keduanya dari bawah jubah. Lantas beliau membasuh kedua tangan sampai ke siki, dan berwudhu dengan membasuh bagian atas sepatu beliau. Dan setelah itu beliau berangkat.

Al-Mugihrah berkata, “Aku pun berangkat bersama beliau, hingga kami mendapati orang-orang telah mengangkat Abdurrahman bin Auf sebagai imam, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam masih mendapati salah satu rakaat. Maka beliau pun melaksanakan rakaat kedua sebagai makmum bersama orang-orang. Setelah Abdurrahman salam, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berdiri menyempurnakan shalatnyam ini membuat kaum Muslimin terkejut, dan bertasbih sebanyak-banyak. Setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyelesaikan shalatnya, beliau menghadap mereka dan berkata, “Kalian telah melakukan yang baik” atau “kalian telah melakukan yang benar.” Beliau memuji mereka karena telah melaksanakan shalat pada waktunya.”

Dan dalam riwayat lain, “Ketika Abdurrahman merasakan kedatangan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, ia mengambil langkah untuk mundur ke belakang, namun Rasulullah memberi isyarat kepadanya untuk melanjutkan shalat. Dan ketika Abdurrahman menyelesaikan shalat, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Al-Mughirah berdiri untuk menyempurnakan shalat mereka.”

Maka selamat untuk Abdurrahman atas keistimewaan tersebut, dimana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melaksanakan shalat sebagai makmum di belakangnya dan mengikutinya.

Bersambung Insya Allah . . .

Artikel http://www.SahabatNabi.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.