Categories
Abu Bakar

Biografi Sahabat Nabi Abu Bakar: Seluruh Mata Tertuju Padanya (Seri 4)

D. KEKHALIFAHAN ABU BAKAR DAN PERAN-PERAN PENTING YANG DILAKUKANNYA

1. Sikap Abu Bakar saat wafatnya Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam
Semasa Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam hidup, Abu Bakar bakar berada di bawah naungan kepemimpinan beliau sebagaimana halnya seluruh kaum muslimin. Namun ketika Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam meninggal dunia, Abu Bakar tampil menggantikan beliau sebagai sosok yang membukakan jalan bagi kaum muslimin dan menunjuki mereka ke jalan yang benar. Pada saat itulah nampak kebesarannya, terutama di saat para shahabat, bahkan dakwah Islamiyah, membutuhkan sikap yang tegas agar dapat menunjukinya jalan yang benar.

Di saat-saat terakhir kehidupan Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam, setelah Abu Bakar menggantikan beliau sebagai imam shalat kaum muslimin, dia menjenguk Rasulullah dikamarnya dan minta izin untuk berangkat ke rumahnya di Sunuh (salah satu wilayah di Madinah). Ketika Abu Bakar sedang berada di sana, datanglah seseorang membawa berita duka bahwa Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam telah wafat.

Air mata Abu Bakar pun mengalir bercampur dengan suara seraknya saat mengucap, “Inna lillahi wa inna ilahi raji’un”. Tanpa pikir panjang Abu Bakar langsung berangkat menuju kediaman Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam.

Ada baiknya kita beri kesempatan para saksi mata menggambarkan ketabahan Abu Bakar pada saat menghadapi detik-detik pertama hantaman musibah tersebut, sebagai berikut, “Abu Bakar datang diliputi kesedihan yang mendalam. Dia meminta izin kepada putrinya Aisyah untuk masuk. Setalah diizinkan dia pun masuk ke dalam dan mendapati jasad Rasulullah disemayamkan di salah satu pojok ruangan. Dia menyingkap kain penutup wajah Rasulullah, menciumnya, lantas mengis lantas berkata, “Tidak benar apa yang dikatakan Ibnu Khaththab, demi Dzat Yang jiwaku di tangan-Nya, Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam telah wafat. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada engkau wahai Rasulullah. Sungguh indahnya dirimu, baik ketika hidup maupun disaat wafat.” Lalu Abu Bakar menutupkan kembali kain penutup wajah Rasulullah.

Setelah itu dia bergegas pergi ke masjid, berjalan diselah-selah jamaah yang duduk berkumpul di sana hingga mencapai mimbar. Saat melihat Abu Bakar berjalan ke arahnya, Umar pun duduk. Kemudian Abu Bakar berdiri disamping mimbar dan meminta semua orang duduk dan tenang. Dia pun membaca kalimat syahadat, kemudian berkata, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memanggil Nabi-Nya kembali padanya dan dia Mahahidup. Allah juga akan memanggil kalian (mewafatkan kalian) hingga tak ada yang tersisa selain Dia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa Rasul, apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik kebelakang, maka dia tidak akan merugikan Allah sedikitpun. Allah akan memberikan balasan kepada orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imra [3]: 144). Umar berkata, “Itu ayat Al-Qur’an? Demi Allah seakan-akan sebelumnya saya tidak pernah tahu kalau ayat itu pernah diturunkan!!!”- Allah pun pernah berfirman kepada Muhammad Shallallahu Alahi wa Sallam, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati (pula).”(QS. Az-Zumar [39]: 30) dan berfirman, “Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Segala keputusan menjadi wewenang-Nya, dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan.” (QS. Al- Qashash [28]: 88), “Semua yang ada di bumi itu akan binasa, tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” (QS. Ar-Rahman [55]: 26-27) dan “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu.” (QS. Ali-Imran [3]: 186)

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi Muhammad umur dan menghidupkannya, sehingga dia menegaskan agama Allah, melaksanakan perintah-Nya, menyampaikan risalah-Nya, dan berjuang di jalan-Nya. Kemudian setelah semua itu terlaksana, Allah pun mewafatkannya. Maka tidak akan binasa seseorang kecuali setelah adanya penjelasan dan kesembuhan. Maka siapa yang menuhankan Allah, Sesungguhnya Allah Mahahidup dan tidak akan mati. Siapa yang menyembah Muhammad dan memposisikannya sebagai tuhan, maka tuhannya itu telah binasa. Maka bertaqwalah kepada Allah wahai umat manusia, berpegang tegulah pada agama kalian, bertawakallah kepada tuhan kalian, maka sesungguhnya agama Allah telah tegak dan kalimat-Nya telah sempurna. Sesungguhnya Allah akan menolong orang-orang yang menolong agama-Nya dan memuliakan agama-Nya.

Sesungguhnya kitabullah ada di hadapan kita, itulah cahaya dan obat penyembuh, dengannya Allah menunjuki Muhammad Shallallahu Alahi wa Sallam. Di dalamnya terdapat keterangan tentang halal dan haram. Demi Allah, kita tidak peduli terhadap orang yang mengumpulkan pasukan untuk menyerang kita, sungguh pedang kita telah terhenus. Kita tidak akan meletakkannya, kita akan berjuang melawan orang-orang yang menentang kita, sebagaimana kita telah berjuang bersama Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Maka siapapun yang berbuat zalim sesungguhnya ia hanya menzalimi dirinya sendiri.”

Sungguh sebuah kebesaran, keteguhan hati, dan keelokan luar biasa yang nampak dari sosok Abu Bakar Ash-Shiddiq! Kearifan, kebijaksanaan, dan visi luar biasa yang telah dicapai oleh Abu Bakar!

2. Isyarat Nabi mengenai kekhalifahannya

Sikap Abu Bakar tersebut, termasuk riwayat hidupnya yang penuh dengan kemuliaan dan kepahlawanan, membuat seluruh mata tertuju padanya, bahwa dialah yang pantas mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam setelah kepergian beliau ke sisi Tuhannya.

Di tambah lagi dengan adanya beberapa petunjuk yang jelas tentang kekhalifahannya, yang mengisyaratkan, bahkan bisa dikatakan menyebutkan perannya di kemudian hari, sebagai bentuk penunjukan atau rekomendasi.

Ketika Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam sakit, beliau telah memili Abu Bakar untuk menggantikan beliau mengimami shalat. Abdullah bin Zam’ah meriwayatkan, “Ketika sakit Rasulullah semakin parah, saya dan beberapa orang sedang bersama beliau. Datanglah Bilal menjemput beliau untuk shalat. Maka Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, “Perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam shalat.” Abdullah bin Zaid berkata, “Kami pun keluar dari tempat Rasulullah menuju tempat shalat, ternyata Umar yang ada bersama jamaah, sedang Abu Bakar tidak ada. Saya pun berkata, “Wahai Umar, bangunlah, jadilah imam shalat. Maka Umar pun maju ke depan dan bertakbir. Ketika Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam mendengar suaranya –kebetulan Umar memiliki suara yang keras- beliau bersabda, “Dimana Abu Bakar? Allah dan kaum muslimin menolak itu!” Maka diutuslah seseorang menjemput Abu Bakar. Tak lama kemudian datanglah Abu Bakar setelah Umar selesai mengimami shalat. Lalu Abu Bakar kembali mengimami shalat.”

Ketika Aisyah mencoba mempersoalkan keputusan Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam tersebut, beliau bersabda, “Hendaklah Abu Bakar mengimami shalat, sungguh kalian ini seperti sahabat Yusuf.

Pada kesempatan lain, seorang wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam menanyakan sesuatu. Rasulullah pun menyuruhnya untuk kembali nanti. Wanita itu bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika saya datang tidak mendapati engkau?” –seakan-akan yang dimaksud oleh wanita itu adalah jika beliau meninggal dunia- Rasulullah menjawab, “Jika kamu tidak mendapati saya, temuilah Abu Bakar.”

Di saat-saat terakhir kehiduannya, Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam pernah bersabda, “Seandainya saya diperbolehkan memilih seorang kekasih selain Tuhanku maka saya akan memilih Abu Bakar sebagai kekasih. Akan tetapi yang ada adalah persaudaraan dan kasih sayang Islam. Tidak ada satupun pintu yang tersisa di masjid melainkan akan tertutup kecuali pintu Abu Bakar.

Lebih hebat dari itu, apa yang diriwayatkan oleh Ummul mukminin, Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berikut ini, “Ketika kondisi Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam semakin parah, beliau memanggil Abdurrahman bin Abu Bakar. Beliau bersabda, “Berikan pundakmu agar saya bisa menulis suatu pesan untuk Abu Bakar supaya tidak ada persengketaan atasnya.” Abdurrahman waktu itu hendak berdiri, maka Rasulullah berkata, “Duduk, Allah dan kaum mukminin tidak menginginkan adanya persengketaan atas Abu Bakar.

3. Pembai’atan Abu Bakar dan peristiwa Saqifah
Begitu sampai berita tentang berkumpulnya kaum Anshar di Saqifah (aula pertemuan) milik Bani Sa’idah, Umar dan Abu Ubaidah pun bergegas menemui mereka untuk mencegah timbulnya fitnah dan memberi tahu mereka siapa yang dia setujui untuk menjadi khalifah Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Tapi kemudian mereka justru membaiatnya, Umar atau Abu Ubaidah, sementara Umar tidak menyangka bahwa bai’at itu ditunjukan kepadanya,

Mari kita beri kesempatan Abu Hafsh Umar bin Khaththab menggambarkan peristiwa tersebut. Umar berkata, “Aku berkata kepada Abu Bakar, “Wahai Abu Bakar ayo pimpin kami menemui saudara-saudara kita dari kaum Anshar.” Maka kami pun berangkat untuk menemui mereka. Ketika kami sudah hampir sampai, dua orang shalih datang menemui kami dan mengutarakan kesepakatan orang-orang. Mereka bertanya, “Hendak kemana gerangan kalian wahai Muhajirin?” Jawab kami, “Hendak menemui saudara-saudara kami kaum Anshar.”

Mereka berkata, “Jangan sekali-kali kalian mendekat kepada mereka, batalkan rencana kalian. “Namun saya katakan , “Demi Allah, kami harus mendatangi mereka”.

Maka kami pun berangkat hingga mendatangi mereka di Saqifah milik Bani Sa’idah, ternyata di sana ada seorang laki-laki yang berselimut kain ditengah-tengah mereka. Saya pun bertanya, “Siapakah ini?” mereka menjawab, “Ini Sa’ad bin Ubadah” Saya bertanya lagi, “Ada apa dengannya?” Mereka menjawab, “Dia tengah sakit dan mengalami demam yang serius.” Tatkala kami duduk sebentar, juru pidato mereka bersaksi dan memanjatkan pujian kepada Allah dengan pujian yang semestinya bagi-Nya, kemudian mengatakan, “Amma ba’du. Kami adalah penolong-penolong Allah (ansharullah) dan laskar Islam, sedang kalian wahai segenap muhajirin hanyalah sekelompok manusia yang terusir dari bangsa kalian, namun anehnya tiba-tiba kalian ingin mencongkel wewenang kami dan menyingkirkan kami dari akar-akarnya serta ingin memonopoli kepemimpinan.”

Tatkala juru pidato itu diam, saya ingin berbicara dan telah saya perindah sebuah ungkapan kata yang membuat saya terkagum-kagum dan ingin saya ungkapkan di hadapan Abu Bakar, yang dalam beberapa batasan saya sekedar menyindirnya. Tatkala saya ingin berbicara. Abu Bakar menegur, “Sebentar!” Maka saya tidak suka jika niatku menjadikannya marah! Maka Abu Bakar berbicara, dia lebih lembut daripadaku dan lebih bersahaja. Demi Allah, tidaklah dia meninggalkan sebuah kata yang saya kagumi dalam susunan yang saya buat indah selain ia ucapkan dalam pidato dadakannya yang semisalnya atau bahkan lebih baik hingga dia diam.

Kemudian dia mengatakan, “Kebaikan yang kalian sebut-sebutkan memang kalian penyandangnya dan sesungguhnya masalah kekhilafahan ini tidak diperuntukkan selain untuk penduduk Quraisy ini yang mereka adalah pertengahan di kalangan bangsa arab dari segi nasab dan keluarganya, dan saya telah meridhai salah satu dari dua orang ini untuk kalian, maka bai’atlah salah seorang diantara keduanya yang kalian kehendaki.” Kemudian Abu Bakar menggandeng tanganku dan tangan Abu Ubaidah, dan dia duduk ditengah-tengah kami.

Tidak ada yang saya benci dari perkataannya selain yang terakhir ini. Demi Allah, kalaulah saya digiring dan leherku dipenggal dan itu tidak mendekatkan diriku dari dosa, itu lebih saya sukai daripada memimpin suatu kaum padahal disana masih ada Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ya Allah, kalaulah bukan karena jiwaku membujukku terhadap sesuatu pada saat kematian yang tidak saya dapatkan sekarang.

Rupanya ada seorang dari kaum Anshar berhujar, “Aku adalah kepercayaan Anshar, berpengalaman, cerdas dan tetua yang dihormati, hendaklah dicalonkan dari kami seorang pemimpin dan dari kalian seorang pemimpin, wahai kaum Quraisy!” Spontan terjadi kegaduhan, suara-suara meninggi, hingga saya memisahkan diri dari perselisihan dan kukatakan, “Julurkan tanganmu hai Abu Bakar!” Lantas Abu Bakar menjulurkan tangannya, orang-orang muhajirinpun secara bergiliran berbai’at padanya, kemudian orang Anshar juga berbai’at kepadanya.

Umar pun bangkit dan mengingatkan mereka tentang sebuah peristiwa yang terjadi menjelang wafatnya Rasulullah  Shallallahu Alahi wa Sallam. Dia berkata, “Bukankah kalian tahu bahwa Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam menyuruh Abu Bakar untuk menjadi imam shalat?! Maka siapa di antara kalian yang ingin mendahului Abu Bakar?” Mereka serempak menjawab, “Kami berlindung kepada Allah dari sikap mendahului Abu Bakar.”

Zaid bin Tsabit lantas berdiri dan berkata, “Tauhkah kalian bahwa sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam itu termasuk dari golongan muhajirin dan penggantinya pun dari kalangan muhajirin. Sementara kita sebelumnya merupakan para penolong Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam, maka sekarang kita menjadi penolong pengganti beliau sebagaimana sebelumnya kita menjadi penolong beliau.” Kemudian Zaid meraih tangan Abu Bakar dan berkata, “Ini adalah shahabat kalian!” Maka Umar pun membaiat Abu Bakar, diikuti oleh kaum muhajirin dan kaum Anshar.

Sedangkan Ali bin Abi Thalib berpandangan, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam sempat sakit beberapa hari. Dalam jangka waktu itu beliau menyuruh Abu Bakar untuk menjadi imam shalat. Ketika beliau wafat, saya mencermati bahwa shalat itu merupakan lambang Islam dan tiang agama. Maka kami ridha jika urusan dunia kami diserahkan kepada orang yang diridhai Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam dalam urusan agama kami. Kami pun membaiat Abu Bakar.”

4. Ketakutan Abu Bakar pada jabatan
Begitulah ceritanya Abu Bakar menjabat sebagai khalifah Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam dan pemimpin seluruh kaum muslimin dia sama sekali tidak berambisi untuk itu. Dia menerima jabatan itu sebagai bentuk ketaatan atas panggilan keimanan dan rasa tanggung jawab terhadap agama, sekaligus sebagai upaya menghindari timbulnya fitnah.

Dia pun berpidato di hadapan kaum muslimin, “Demi Allah, saya tidak pernah berambisi untuk menjadi pemimpin, saya pun tidak punya keinginan untuk itu, saya juga tidak pernah meminta kepada Allah untuk dijadikan pemimpin, baik saat sendirian maupun di keramaian. Akan tetapi saya tidak ingin terjadi fitnah. Dengan demikian saya bukannya senang dengan jabatan ini, saya justru merasa diberi beban yang amat berat yang mungkin tidak sanggup saya pikul kecuali dengan adanya pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

5. Strategi kepemimpinan Abu Bakar dan kontribusinya
Di pagi hari selasa, Abu Bakar Ash-Shiddiq berjalan pelan menuju mimbar Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam dengan perasaan gugup. Dia menghadap kearah kaum muslimin, inilah kali pertama dia menyampaikan pidato setelah terputusnya wahyu dari langit dan jasad Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam yang suci telah berkalang tanah. Berikut ini adalah petikan pidato Abu Bakar.

Amma ba’du, wahai sekalian manusia, sesungguhnya saya telah diangkat sebagai pemimpin kalian meski saya bukan yang terbaik diantara kalian. Jika saya berbuat baik, dukunglah saya. Sebaliknya jika saya berbuat salah, luruskanlah saya. Kejujuran itu merupakan amanah, sedangkan dusta itu merupakan pengkhianatan. Kaum yang lemah menempati posisi yang kuat di sisiku hingga saya dapat mengambil farinya hak orang lain dengan izin Allah. Jika suatu kaum meninggalkan perkara jihad di jalan Allah, mereka akan ditimpakan kehinaan oleh Allah, jika kemaksiatan telah meluas di tengah-tengah suatu kaum, Allah akan menimpakan bencana kepada mereka secara menyeluruh. Taatlah kepada saya selama saya taat kepada Allah dan Rasulullah-Nya, jika saya bermaksiat kepada Allah dan Rasulullah-Nya, maka kalian tidak wajib taat kepadaku. Bangunlah untuk melaksanakan shalat semoga Allah merahmati kalian.”

Dengan pidatonya itu Abu Bakar ingin menegaskan pada setiap orang bahwa jabatan itu merupakan sebuah kerugian bukan keuntungan, sebuah tanggungjawab bukan penghormatan, sebuah pengorbanan bukan penghargaan, dan sebuah kewajiban bukan kesewenang-wenangan. Dia pun ingin menghilangkan kesan di tengah masyarakat bahwa seorang pemimpin itu harus dihormati secara berlebihan. Justru seorang pemimpin itu diangkat untuk memberikan pelayanan dalam agama Allah dan Risalah-Nya. Allah mengangkatnya sebagai pemimpin untuk melayani rakyatnya bukan sebaliknya rakyatnya yang melayani dia. Dengan demikian, Abu Bakar telah meletakkan batasan tanggung jawabnya termasuk batasan kewajiban mereka. Menurutnya umat harus berperan aktif dalam persoalan kepemimpinan. Mereka harus menjadi mitra meperhati dan bukan pengikut yang tak mau tahu.

Kemudian kaum muslimin menetapkan untuknya gaji sebesar dua ribu dirham setahun. Abu Bakar berkata, “Tambalah sedikit, karena saya memiliki keluarga. Kalian telah menyibukkan saya dari perniagaan.” Mereka pun menambahkan lima ratus dirham.

6. Peperangan menumpas kaum yang murtad
Ketika berita wafatnya Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam tersiar, sekelompok orang yang baru masuk Islam memilih untuk murtad dari agama Islam. Menurut pemahaman mereka, agama ini terkait erat dengan hidupnya Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Dengan demikian mereka menganggap bahwa Islam telah mati seiring dengan wafatnya Nabi pembawanya. Beberapa kepala suku memanfaatkan kebaruan Islam mereka serta kelengahan dan kebingungan mereka. Mereka pun melanggar salah satu kaidah penting agama Islam, yaitu kewajiban zakat.

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan, “Ketika Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam wafat dan Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, sekelompok orang Arab memilih untuk keluar dari Islam. Umar Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Wahai Abu Bakar, bagaimana mungkin engkau akan memerangi orang-orang tersebut, sementara Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam pernah bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka menyatakan, ‘Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah’. Maka siapa yang telah mengucapkan itu, akan terpelihara harta dan jiwanya dariku kecuali dengan hak Islam, dan perhitungannya diserahkan kepada Allah”?

Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, saya akan memerangi orang yang membedakan kewajiban shalat dan zakat. Sesungguhnya zakat itu adalah hak harta. Demi Allah, jika mereka menolak untuk membayarkan seekor anak kambing yang dulu mereka pernah bayarkan pada Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam, akan saya perangi mereka karena penolakan tersebut.” Umar pun berkata, “Demi Allah, sikap Abu Bakar itu menurut pandanganku menunjukkan bahwa Allah telah membukakan hati Abu Bakar untuk memerangi mereka. Maka saya pun akhirnya menyadari bahwa sikap Abu Bakar itu benar.”

Abu Bakar kemudian bermusyawarah dengan para shahabat, mendengar pandangan mereka, kemudian bangkit untuk berkhutbah dihadapan mereka. Setelah memanjatkan puji syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Abu Bakar menyampaikan khutbahnya sebagai berikut.

Amma ba’du, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Muhammad Shallallahu Alahi wa Sallam pada saat kebenaran itu menjadi sesuatu yang langkah dan Islam merupakan sesuatu yang asing dan tertolak, talinya lemah dan umatnya sedikit. Allah pun mengumpulkan mereka dengan perantaraan Muhammad Shallallahu Alahi wa Sallam dan menjadikan mereka umat yang tetap dan berada di posisi pertengahan. Demi Allah, saya tidak akan pernah berhenti melaksanakan perintah Allah dan berjihad di jalan-Nya sampai Allah mewujudkan janji-Nya. Di antara kita akan ada yang terbunuh sebagai syahid di jalan Allah, sebagian lain akan tetap hidup sebagai khalifah Allah di muka bumi ini, saling mewarisi bersama hamba-hamba-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan sesuatu yang benar, sesungguhnya dia telah berfirman, “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang diantara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-oarang sebelum mereka berkuasa,” (QS. An-Nur [24]:55). Demi Allah, jika mereka menolak membayarkan seutas tali tali pengikat unta yang sebelumnya mereka tunaikan di masa Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam, lalu mereka datang bersama pasukan yang banyak terdiri dari jin dan manusia, maka aku akan berjuang menghadapi mereka sampai nyawaku diambil kembali oleh Allah! Sesungguhnya Allah tidak memisahkan antara shalat dan zakat, melainkan selalu menggandeng keduanya.”

Umar pun memekikan takbir dan berkata, “Demi Allah, sekarang aku menyadari, ketika Allah meneghkan hati Abu Bakar untuk memerangi mereka, sikap Abu Bakar itu benar.”

Itulah sikap khalifah yang diisyaratkan oleh Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam dan diterima oleh seluruh kaum muslimin tanpa kecuali. Mereka melihat Abu Bakar sebagi orang yang paling kuat di antara mereka, paling teguh pendirian, paling cemerlang pandangannya, dan paling besar keagungannya. Dia merupakan sosok yang disembunyikan oleh takdir untuk bergerak ke arah berbagai peristiwa kelam dengan suatu metode yang mengungkapkan sejauh mana keimanan itu sanggup menghadapi kesulitan dan mendatangkan berbagai keajaiban.

Dia mengatakan hal tersebut dalam posisinya sebagai pengganti Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Posisi tersebut menuntut kepatuhan total terhadap perintahnya. Sementara dia bertanggung jawab atas agama ini, apakah dia diam saja menyaksikan agama ini dikurang-kurangi? Itu tidak boleh terjadi. Setiap kewajiban yang pada saat wafatnya Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam telah didirikan harus terus begitu meski membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit.

Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu memimpin langsung pasukan Islam dengan pedang terhunus. Berangkat dari Madinah Munawwarah menuju Dzul Qashshah (suatu tempat yang berjarak dua puluh empat mil dari Madinah). Sementara Ali bin Abi Thalib menjadi pemandu kendaraan sang khalifah. Abu Bakar bertekat untuk memerangi sendiri kelompok orang-orang murtad. Para shahabat telah berusaha membujuknya untuk kembali ke Madinah dan mekilkan urusan perang ini kepada oarang lain yang dipilihnya dari kalangan para pejuang pemberani.

Bahkan Ali bin Abi Thalib berkata padanya, “Hendak kemanakah engkau wahai Khalifah Rasulullah? Saya ingin mengatakan kembali apa yang pernah dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam kepadamu pada saat perang Uhud, “Sarungkanlah pedangmu, jangan buat kami sedih dengan pengorbanan dirimu.” Maka saya harap engkau bersedia kembali ke Madinah, demi Allah, jika kami sempat bersedih karena terjadi sesuatu atas dirimu, Islam akan kehilangan aturan untuk selamanya!”

Mereka terus membujuk Abu Bakar hingga akhirnya dia pun bersedia untuk kembali ke Madinah setelah mengatur pasukan dan mengirimkan bersama mereka kekuatannya yang adil dan pedangnya yang tajam, serta menetapkan sebelas panji.

Pasukan kaum muslimin lalu berpencar ke seantero jazirah Arab. Mereka berhasil mengusir pasukan Thulaihah Al-Qur’an-Asadi, Al-Qur’an-Aswad Al-Qur’an-Ansi, Sajah, dan kabilah-kabilah yang murtad. Mereka pun berhasil menumpas kenabian Musailamah Al-Qur’an-Kadzab di “Taman kematian”. Dengan demikian mereka telah menebar kekuasaan Islam di muka bumi dan mengembalikan segala sesuatu pada tempatnya yang benar. Pasukan orang-orang murtad pun berhasil dipukul mundur dan tercerai berai. Hancurlah angan-angan dusta mereka di hadapan kehendak yang kuat dan kebenaran yang nyata.

Bersambung Insya Allah . . .

Artikel www.SahabatNabi.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.