Categories
Umar Bin Khaththab

Biografi Sahabat Nabi Umar Bin Khaththab: Syahidnya Umar (Seri 8)

G. SYAHIDNYA UMAR, UCAPAN DUKA DAN KELUARGANYA

1. Kabar gembira tentang syahidnya Umar
Khalifah seperti Umar ini tidak dibiarkan begitu saja oleh para pemimpin kejahatan dan kezhaliman. Mereka tidak pernah rela dijatuhkan dari kekuasaannya dan diturunkan dari kemuliaannya.

Rencana jahat kelompok Yahudi, kemarahan bangsa Persia, dan sakit hati kaum Romawi tidak akan membiarkan Abu Hafsh meninggal dengan tenang di perbaringannya seperti manusia pada umumnya, Maka kekuatan tersebut merencanakan suatu pembunuhan pada suatu malam yang gelap gulita.

Sementara Amirul mukminin Radiyallahu ‘Anhu selalu mengharapkan mati syahid dan amat yakin dia akan memperolehnya. Selalu terbayang dalam ingatannya sebuah peristiwa ketika Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam naik ke atas gunung Uhud bersama Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Waktu itu gunung Uhud bergetar. Maka Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam berkata, “Tenanglah wahai Uhud, di atasmu hanyalah seorang Nabi, seorang shiddiq, dan dua orang syahid.”

Sejak peristiwa itu jiwa Umar selalu merindukan terwujudnya kabar gembira tersebut dan selalu berharap untuk memperoleh kedudukan yang mulia itu. Umar kerap berdoa, “Ya Allah, anugrahkan kepadaku mati syahid di jalan-Mu dan jadikan tempat kematianku di negeri Rasul-Mu.”

Mendengar doa tersebut putrinya Hafshah bertanya, “Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?”

Umar menjawab, “Sesungguhnya Allah mewujudkan sesuatu sesuai kehendak-Nya.”
Ketika Umar sedang bersama para shahabatnya, tiba-tiba dia teringat sabda Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam, “Ini adalah pintu penutup fitnah –seraya menunjuk ke arah Umar-. Akan selalu ada pintu yang tertutup rapat antara kalian dan fitnah selama orang ini masih ada bersama kalian.”

Maka Umar bertanya kepada orang-orang yang ada bersamanya, “Siapa di antara kalian menghafal sabda Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam tentang fitnah?” Hudzaifah menjawab, “Saya hafal sabda tersebut.” Umar berkata, “Coba bacakan, sesungguhnya engkau seorang pemberani.” Hudzaifah berkata, “Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, ”Fitanah seseorang pada keluarganya, hartanya, dan tetangganya bisa dihapuskan dosanya dengan Shalat, Sedekah, dan memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar.”

Umar menyanggah, “Bukan yang ini, akan tetapi fitnah yang datang bergelombang seperti gelombang lautan!” Hudzaifah berkata, “Engkau tidak bermasalah dengannya wahai Amirul mukminin, sesungguhnya diantaramu dan fitnah itu ada pintu yang tertutup.”
Umar bertanya, “Apakah pintunya didobrak atau dibuka?” Hudzaifah menjawab, “Didobrak.” Umar berkata, “Kalau begitu layak tidak tertutup selamanya.” Kami bertanya pada Hudzaifah, “Apakah Umar tahu siapakah pintu itu?” Hudzaifah menjawab, “Ya, seperti halnya ia tahu bahwa yang menghalangi hari ini dan hari esok adalah malam hari. Aku menceritakan sebuah hadits yang tidak ada kekeliruan padanya.” Kami suruh Masruq (Masruq bin Ajda’, dari kalangan tabi’in) bertanya pada Hudzaifah. Ia pun bertanya, “Siapa pintu itu?” Hudzaifah menjawab, “Umar.”

Pada jum’at terakhir dari periode kekhalifahannya Umar berkhutbah di depan khalayak. Setelah memuji Allah dia berkata, “Amma ba’du, wahai jamaah sekalian, saya kedatangan mimpi yang tidak akan mendatangiku kecuali menjadi tanda datangnya ajalku. Saya melihat seekor ayam jantan mematuk diriku dengan paruhnya dua kali. Saya lalu menceritakannya pada Asma’ binti Umais. Dia berkata bahwa saya akan dibunuh oleh orang asing.”

2. Syahidnya Umar dan pemakamannya di dekat Nabi dan Abu Bakar
Mughirah bin Syu’bah memiliki seorang budak pekerja bernama Abu Lu’lu’ah Fairuz yang berasal dari kalangan Majusi, berkebangsaan Romawi. Mughirah meminta izin kepada Umar untuk membawanya masuk ke Madinah karena dia memiliki keterampilan yang akan bermanfaat untuk orang banyak; dia seorang pandai besi, ahli pertukangan, dan ukiran. (Umar pernah menetapkan peraturan yang melarang tawanan dewasa dibawa masuk ke kota Madinah) Maka Umar pun mengizinkan.

Abu Lu’lu’ah memendam keinginan untuk membunuh Umar. Maka dia mempersiapkan sebilah pisau besar bermata dua, pegangannya di bagian tengah pisau, di tajamkan dan dilumuri racun. Pada waktu subuh hari Rabu, empat hari terakhir dari bulan Zulhijjah, orang kafir ini bersembunyi di salah satu sudut masjid di penghujung malam menunggu malam keluar.

Amr bin Maimun yang waktu itu shalat subuh di belakang Umar meriwayatkan kisah tragis tersebut. Dia berkata, “Aku berdiri dan tidak ada seorangpun antara aku dan dia kecuali Abdullah bin Abbas pad subuh hari pada saat Umar terkena musibah. Subuh itu, Umar hendak memimpin shalat dengan melewati barisan shaf dan berkata, “Luruskanlah shaf.”

Ketika dia sudah tidak melihat lagi celah-celah dalam barisan shaf tersebut, maka Umar maju lalu bertabir. Sepertinya dia membaca surat Yusuf atau An-Nahl atau seperti surat itu pada raka’at pertama hingga memungkinkan semua orang bergabung dalam shalat. Ketika aku tidak mendengar sesuatu darinya kecuali ucapan takbir tiba-tiba terdengar dia berteriak, “Ada orang yang telah membunuhku, atau katanya, “seekor anjing telah menerkamku”, rupanya ada seorang yang menikamnya dengan sebilah pisau bermata dua. Penikam itu tidaklah melewati orang-orang disebelah kanan atau kirinya melainkan dia menikam pula hingga dia telah menikam sebanyak tiga belas orang yang mengakibatkan tujuh orang diantaranya meninggal dunia. Ketika seseorang dari kaum muslimin melihat kejadian itu, dia melemparkan baju mantelnya dan tepat mengenai pembunuh itu. Dan ketika dia menyadari bahwa dia pasti tertangkap (tak lagi bisa menghindar), dia bunuh diri.

Umar memegang tangan Abdur Rahman bin ‘Auf lalu menariknya ke depan. Siapa saja orang yang berada dekat dengan Umar pasti dapat meilihat apa yang aku lihat. Adapun orang-orang yang berda di sudut-sudut masjid, mereka tidak mengetahui peristiwa yang terjadi, selain hanya tidak mendengar suara Umar. Mereka berseru, “Subhanallah, Subhanallah (maha suci Allah).” Maka Abdurrahman melanjutkan shalat jamaah secara ringan. Setelah shalat selesai, Umar bertanya, “Wahai Ibnu Abbas, lihatlah siapa yang telah menikamku.” Ibnu Abbas berkeliling sesaat lalu kembali, “Budaknya Mughirah.”

Umar bertanya, “Budak yang pandai membuat pisau itu?” Ibnu Abbas menjawab, “Ya, benar.” Umar berkata, “Semoga Allah membunuhnya, sungguh aku telah memerintahkan dia berbuat makruf (kebaikan). Segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan kematianku di tangan orang yang mengaku beragama Islam. Sungguh dahulu kamu dan bapakmu suka bila orang kafir non arab banyak berkeliaran di Madinah.” Abbas adalah orang yang paling banyak memiliki budak. Ibnu Abbas berkata, “Jika anda menghendaki, aku akan kerjakan apapun. Maksudku, jika kamu menghendaki kami akan membunuhnya.” Umar berkata, “Kamu salah, (sebab mana kalian boleh membunuhnya) padahal mereka telah terlanjur bicara dengan bahasa kalian, shalat menghadap kiblat kalian, dan naik haji seperti haji kalian.” Kemudian Umar dibawah ke rumahnya dan kami ikut menyertainya.

Saat itu orang-orang seakan-akan tidak pernah terkenah seperti hari itu sebelumnya. Di antara mereka ada yang berkata, “Dia tidak apa-apa.” Dan ada juga yang berkata, “Aku sangat mengkhawatirkan nasibnya.” Kemudian Umar disuguhi minuman anggur lalu dia meminumnya namun makanan itu keluar lewat perutnya. Kemudian diberi susu dan dia pun meminumnya lagi namun susu itu keluar melalui lukanya. Akhirnya orang-orang menyadari bahwa Umar sefera akan meninggal dunia. Maka kami pun masuk menjenguknya lalu orang-orang berdatangan dan memujinya. Tiba-tiba datang seorang pemuda seraya berkata, “Berbahagialah anda, wahai Amirul mukminin dengan kabar gembira dari Allah untuk anda karena telah hidup dengan mendampingi (menjadi shahabat) Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam dan yang terdahulu menerima Islam sebagaimana yang anda ketahui. Lalu anda diberi kepercayaan menjadi pemimpin dan anda telah menjalankannya dengan adil, kemudian anda mati syahid.” Umar berkata, “Aku sudah merasa senang jika akhir kekhalifahanku berakhir netral, aku tidak terkena dosa dan tidak mendapat pahala. “Ketika pemuda itu berlalu, tampak pakiannya menyentuh tanah, maka Umar berkata, “Bawa kembali pemuda itu kepadaku.”

Umar bertanya padanya, “Wahai saudaraku, angkatlah pakaianmu karena demikian lebih mensucikanmu (dari najis) dan lebih membuatmu bertakwa kepada rabbmu. Wahai Abdullah bin Umar, lihatlah berapa jumlah hutang yang menjadi kewajibanku.” Maka mereka menghitung nya dan mendapat hasilnya sebesar delapan puluh enam ribu atau sekitar itu. Umar berkata, “Jika harta keluarga Umar mencukupi bayarlah hutang itu dengan harta mereka. Namun apabila tidak mencukupi maka mintalah kepada Bani  Adi bin Ka’Abu Bakar. Dan apabila harta mereka masih tidak mencukupi, maka mintalah kepada masyarakat Quraisy dan jangan mengesampingkan mereka dengan meminta selain mereka lalu lunasilah hutangku dengan harta-harta itu. Temuilah Aisyah, Ummul mukminin Radiyallahu ‘Anha.

Ternyata Abdullah bin Umar mendapatkan Aisyah sedang menangis. Lalu dia berkata, “Umar bin Khaththab menyampaikan salam buat anda dan meminta izin agar boleh dikuburkan di samping kedua shahabatnya (Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam dan Abu Bakar Radiyallahu ‘Anhu).” Aisyah berkata, “Sebenarnya aku juga menginginkan hal itu untuk diriku namun hari ini aku tidak mementingkan diriku.” Ketika Abdullah bin Umar kemabali dikatakan kepada Umar, “Ini dia, Abdullah bin Umar sudah datang.” Maka Umar berkata, “Angkatlah aku.” Maka seorang laki-laki datang menopangnya. Umar bertanya, “Berita apa yang kamu bawah?” Ibnu Umar menjawab, “Berita yang anda sukai, wahai Amirul mukminin. Aisyah telah mengizinkan anda.”

Umar berkata, “Alhamdulillah. Tidak ada sesuatu yang paling penting bagiku selain hal itu. Jika aku telah meninggal, bawalah jasadku kepadanya dan sampaikan salamku lalu katakan bahwa Umar bin Khaththab meminta izin. Jika dia mengizinkan maka masukkanlah aku (kuburkan) namun bila dia menolak maka kembalikanlah jasadku ke kuburan kaum Muslimin.”

Kemudian Hafshah, Ummul mukminin datang dan beberapa wanita ikut bersamanya. Tatkala kami melihatnya, kami segera berdiri. Hafshah kemudian mendekat kepada Umar lalu dia menangis sejenak. Kemudian beberapa orang laki-laki meminta izin masuk, maka Hafshah masuk ke kamar agar mereka bisa masuk. Maka kami dengar tangisan Hafshah dari balik kamar.

3. Pengangkatan enam ahli musyawarah dan wasiat Umar
Ketika orang-orang melihat apa yang menimpa Umar, mereka berkata padanya, “Wahai Amirul Mukminin, angkatlah penggantimu.” Umar berkata, “Saya tidak menemukan orang yang paling berhak atas urusan ini daripada mereka atau segolongan mereka yang ketika Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam wafat beliau ridha kepada mereka. Maka dia menyebut nama Ali, Utsman, Zubair, Thalha, Sa’ad dan Abdurrahman. Selanjutnya dia berkata, “Abdullah bin Umar akan menjadi saksi atas kalian. Namun dia tidak punya peran dalam urusan ini, dan tugas itu hanya sebagai bentuk penghibur baginya. Jika kepemimpinan jatuh ketangan Sa’ad, maka dialah pemimpin urusan ini. Namun apabila bukan dia, maka mintalah bantuan dengannya. Dan siapa saja diantara kalian yang diserahi urusan ini sebagai pemimpin maka aku tidak akan memecatnya karena alasan lemah atau berkhianat.”

Selanjutnya Umar berkata, “Aku berwasiat kepada khalifah sesudahku agar memahami hak-hak kaum Muhajirin dan menjaga kehormatan mereka. Aku juga berwasiat kepadanya agar selalu berbuat baik kepada kaum Anshar yang telah menempati negeri (Madinah) ini dan telah beriman sebelum kedatangan mereka (kaum Muhajirin) agar menerima orang baik, dan memaafkan orang yang keliru dari kalangan mereka. Dan aku juga berwasiat kepadanya agar berbuat baik kepada penduduk seluruh wilayah karena mereka adalah para pembela Islam dan telah menyumbangkan harta (untuk Islam) dan telah bersikap keras terhadap musuh. Dan janganlah mengambil dari mereka kecuali kelebihan harta mereka dengan kerelaan mereka. Aku juga berwasiat agar berbuat baik kepada orang-orang Arab Badui karena mereka adalah nenek moyang bangsa Arab dan perintis Islam, dan agar diambil dari mereka bukan harta pilihan (utama) mereka (sebagai zakat) lalu dikembalikan (disalurkan) untuk orang-orang fakir dari kalangan mereka. Dan aku juga berwasiat kepadnya agar menunaikan perjalanan kepada ahlu Dzimmah (Warga non muslim yang wajib terkena pajak), yaitu orang-orang dibawah perlindungan Allah dan Rasul-Nya Shallallahu Alahi wa Sallam (asalkan membayar pajak) dan mereka (ahlu dzimmah) yang berniat memerangi harus diperangi, mereka juga tidak boleh dibebani selain sebatas kemampuan mereka.”

Amr bin Maimun berkata, “Ketika Umar sudah menghembuskan nafas terakhir, kami membawanya keluar lalu kami berangkat ke rumahnya Aisyah Ummul Mukminin dengan jalan kaki. Sesampainya di sana Abdullah bin Umar mengucapkan salam kepada Aisyah Radiyallahu ‘Anha lalu berkata, “Umar bin Khaththab meminta izin.” Aisyah berkata, “Masuklah.” Maka jasad Umar di masukkan ke dalam liang lahat dan di letakkan berdampingan dengan kedua shahabatnya.”

4. Pelunasan hutang Umar
Abdullah bin Umar Radiyallahu ‘Anhuma menanggung pelunasan hutang ayahnya. Sebelum Umar Al-Faruq dimakamkan, Ibnu Umar memberikan pernyataan tersebut disaksikan oleh enam orang ahli musyawarah dan beberapa orang dari kaum Anshar. Baru saja orang-orang pergi setelah Umar dimakamkan, Abdullah bin Umar langsung membawa sejumlah harta ke tempat Utsman binAffan dan menghadirkan beberapa orang untuk menjadi saksi pelunasan hutang Umar.

Abdullah bin Umar tidak sampai meminta tolong kepada siapa pun untuk melunasi hutang ayahnya, karena Umar maninggalkan warisan yang cukup banyak. Nafi’, pembantu Umar meriwayatkan, “Seorang ahli waris Umar telah menjual warisannya seharga seratus ribu dinar.”

5. Pengurusan jenazah Umar
Umar dimandikan dengan air dan pohon bidara oleh Abdullah bin Umar dan dikafani dengan tiga helai kain, lalu diangkat diatas tandu Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Orang-oarang mencari siapa yang sebaiknya menjadi imam dalam shalat jenazah Umar, lalu mereka teringat akan Shuhaib yang pernah menjadi imam mereka dalam shalat wajib atas perintah Umar. Maka mereka pun mempersilakan Shuhaib untuk mengimami shalat jenazah di masjid Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam, di antara makam dan kiblat.
Yang turun ke dalam liang lahatnya adalah Abdullah bin Umar, Utsman bin Affan, Sa’ad bin Zaid, dan Abdurrahman bin Auf. Umar dimakamkan di rumah Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Jika kepala Abu Bakar dibuat sejajar dengan pundak Rasulullah, maka kepala Umar dibuat sejajar dengan pinggang beliau.

6. Pujian untuk Umar dan ungkapan duka atasnya
Ketika Umar telah dibaringkan di atas tandu, Ali bin Abi Thalib berdoa untuk Umar, lalu berkata, “Tidak ada yang lebih saya sukai mendahuluiku menghadap Allah dengan amalannya selain engkau. Demi Allah, menurut saya Allah akan menempatkanmu bersama dua orang shahabatmu. Saya banyak mendengar Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam berkata, “Saya, Abu Bakar, Umar pergi… Saya, Abu Bakar, dan Umar masuk… Saya, Abu Bakar, dan Umar keluar..”

Abu Wa’il, murid Ibnu Mas’ud, berkata, “Abdullah bin Mas’ud datang ke tempat kami (di Kufah). Lalu dia menyampaikan kabar duka tentang wafatnya Umar. Tidak pernah saya melihatnya menangis dan bersedih selama itu sebelumnya. Dia kemudian berkata, “Demi Allah, seandainya saya tahu Umar menyukai anjing, pasti saya akan ikut menyukainya. Demi Allah, saya rasa sebatang pohon pun akan merasa kehilangan Umar.”

Sa’id bin Zaid menangis karena wafatmya Umar. Seseorang bertanya padanya, “Wahai Abul Ali’war, apa yang membuatmu menangis?’ Sa’id menjawab, “Saya menangisi Islam. Sesungguhnya wafatnya Umar membuat sumbing Islam dan tidak dapat diperbaiki samapai hari kiamat.”

Abdullah bin Salam datang setelah Umar selesai dishalatkan. Maka dia berdiri di samping tandunya dan berkata, “Saudara Islam yang paling baik adalah engakau wahai Umar, pemurah dalam yang hak dan bakhil dalam kebatilan, ridha pada saat harus merasa ridha, dan marah pada saat harus marah, menghindari segala hal syubhat, memiliki perangai yang baik, tidak suka terlalu memuji dan tidak juga membicarakan keburukan orang.”
Hasan Al-Bashari berkata, “Jika ada sebuah keluarga yang tidak merasa kehilangan atas wafatnya Umar, maka mereka itu keluarga yang buruk.”

Ja’far Ash-Shiddiq berkata, “Saya berlepas tangan dari oarang yang membicarakan Abu Bakar dan Umar kecuali tentang kebaikan mereka.”
Muhammad bin Sirin mengatakan, “Menurut saya, orang yang menjelek-jelekan Abu Bakar dan Umar berarti tidak mencintai Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam.”

7. Usia Umar dan masa kekhalifahannya
Peristiwa penusukan Umar Radiyallahu ‘Anhu terjadi pada waktu subuh hari Rabu, empat hari terakhir dari bulan Zulhijjah tahun 23 H. dan dimakamkan pada hari Ahad, awal Muharram tahun 24 H. usianya waktu itu mencapai 63 tahun seperti usia Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam dan Abu Bakar ketika keduanya meninggal dunia.

8. Keluarga Umar
Jumlah istri yang pernah dinikahi Umar baik pada masa Jahiliyah maupun pada masa Islam, baik yang sudah diceraikan maupun yang ditinggal wafat, ada 7 orang yaitu Jmilah binti Tsabit bin Abil Aqlah,  Zainab binti Mazh’un, Atikah binti Zaid, Qaribah binti Abi Umayyah, Mulaikah binti Jarwal, Ummu Hakim binti Al-Harits, Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Thalib.

Umar memiliki dua budak perempuan, yaitu Fukaihah dan Luhayyah.
Sementara putra-putrinya berjumlah 13 orang, yaitu: Abdullah, Abdurrahman Al-Akbar, Abdurrahman Al-Wasath, Abdurrahman Al-Ashghar, Zaid Al-Akbar, Zaid Al-Ashghar, Ubaidillah, Ashim, Iyadh, Hafshah, Ruqayyah, Fathimah, dan Zainab.
Umar juga memiliki beberapa pelayan, yaitu: Aslam, Hani’, Abu Umayyah, Mahja’, Malikuddar, dan Dzakwan.

Inilah dia tokoh besar yang tidak sempat kita temui di jalan-jalan Madinah Munawwarah untuk menyaksikan karakternya, keagungannya, dan kemuliaannya yang memenuhi ruang dan waktu. Namun Alhamdulillah kita dapat menyaksikan beberapa cuplikan dari kehidupannya, mengenal hidangannya yang tidak diisi dengan makanan-makanan lezat, yang penuh dengan kemuliaan dan kepahlawanan.

Itulah Umar bin Khaththab, mukjizat Islam dalam pembentukan hukum, kebanggaan sejarah, tokoh dunia, dan pendiri negara Islam yang bersinar.
Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepada Abu Hafsh Amirul mukminin dan memasukkan kita ke dalam golongannya.

S e l e s a i  . . .

 

Artikel www.SahabatNabi.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.