Categories
Sa'id Bin Zaid

Biografi Sahabat Nabi, Sa’id Bin Zaid: Bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam (Seri 2)

B. Bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam

Sa’id masuk Islam sejak awal kemunculan dakwah, dan bergabung dengan para pahlawan pengusung panji dakwah yang pertama. Dia sangat menyadari akan beban berat yang diembannya dengan pilihan yang berani tersebut. Dia juga mengetahui ancaman siksaan berat yang telah menunggunya, dan menunggu orang-orang sepertinya yang mengikuti cahaya baru yang muncul di Mekah, tepati di tengah kelamnya kemusyrikan dan kekufuran. Juga terbayang di matanya siksaan kaum nya dari Bani Adi, dan yang terdepan dari mereka adalah Umar bin Khaththab yang terkenal dengan kekerasan dan kebengisannya.

Namun ia tidak peduli dengan itu semua, ia menguatkan dirinya untuk menanggung kesusahan, dan sabar dalam menghadapi berbagai penderitaan yang akan menimpa para pengemban dakwah yang berjiwa besar. Ia juga mengokohkan tekadnya, dan keislaman istrinya Fathimah bin Khaththab, adik dari Umar bin Khaththab semakin menguatkannya. Maka ia pun berjanji untuk tetap berada di jalan dakwah, siap mengorbankan apa saja, karena harga yang akan diperolehnya jauh lebih mahal dari apapun juga.

1. Ketabahannya Dalam Menghadapi Umar Mengantarkan Umar Kepada Islam

Berita keislaman ipar dan adiknya pun sampai ke telinga Umar. Ia segera mendatangi mereka, menghantam mereka dengan kebengisan nya, menarik mereka dengan kuat, sebagai penghinaan atas mereka, dan memaksa mereka untuk keluar dari Islam. Namun itu semua justru membuat mereka semakin teguh berpegang kepada agama mereka.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Qais bin Hazim, ia berkata, “Aku mendengar Sa’id bin Zaid bin Amru bin Nufail di masjid kufah berkata, “Demi Allah, aku pernah bermimpi bahwa Umar adalah peneguhku terhadap Islam, sebelum Umar masuk Islam, dan sekiranya gunung Uhud bisa lenyap karena apa yang telah kalian lakukan terhadap Utsman, niscaya gunung itu akan lenyap.”

Dalam riwayat lain, “Kalau saja aku bermimpi Umar menjadi peneguhku dan adiknya dalam Islam, saat itu dia belum masuk Islam. Dan kalau saja gunung Uhud bisa runtuh karena apa yang telah kalian lakukan terhadap Utsman, niscaya gunung itu akan runtuh!”

Kapal dakwah pun berlayar mengarungi derasnya laut kesyirikan. Setiap hari selalu saja ada satu atau dua orang yang bergabung dengan mereka. Kemudian Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam dan orang-orang yang bersamanya mulai memasuki rumah Al-Arqam, madrasah pertama dalam Islam. Dan disanalah, dengan disaksikan Baitullah Al-Haram, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam membacakan kepada mereka Al-Qur’an. Mengayomi mereka dengan petunjuk, pendidikan, dan kekuatan tekadnya yang menjadikan mereka semakin teguh berpegang kepada dakwahnya dan siap mengemban apa yang diamankan kepada para pembawa risalah.

Pijar-pijar cahaya dan sinar kenabian perlahan menyingkirkan kegelapan dari hati Umar. Dan sebagi gantinya, menanamkan motif-motif pemikiran yang mencerahkan, yang menuntunnya untuk memikirkan agama baru ini secara mendalam. Kemudian memutuskan untuk berpegang kepadanya setelah melewati pemikiran yang tajam dan tekad yang kuat. Takdir pun telah berkehendak bahwa yang menyadarkan Umar dari kelengahannya, dan mengembalikannya dari jalan sesat para nenek moyang, adalah keluarga terdekatnya sendiri, yaitu ipar dan adik perempuannya.

Pijaran cahaya pertama adalah saat ia dengan sembunyi-sembunyi mendengarkan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam membaca beberapa ayat suci. Pijaran kedua menyentuh hatinya ketika ia menyaksikan kaum muslimin dan muslimat berangkat hijrah menuju Habasyah. Peristiwa itu mengetuk hatinya, lalu ditambah dengan doa Nabi yang mulia agar Allah menguatkan Islam dan kaum muslimin dengan Umar Radhiyallahu Anhu.

Semua itu membangkitkan sebuah jeritan yang menghentak di dalam hati Umar. Namun tak lama cahayanya kembali memudar, dan perlahan panasnya kembali pudar. Sementara ia berjuang melawan tumpukan warisan-warisan jahiliyah dan kerasnya jiwa mudanya. Namun ia laksana sumbu yang akan dipadamkan oleh seorang wanita anggun yang mengagumkan. Seorang wanita yang lahir dari Rahim yang sama dengan Umar, dan tumbuh dalam lingkungan yang keras sepertinya. Di temani oleh seorang laki-laki mulia dari Bani Adi yang juga merupakan sepupu bagi Umar. Seorang laki-laki yang hatinya telah dipenuhi iman, dan menempuh jalannya dengan ketegaran dan kekuatan tekad seorang yang berasal Bani Adi. Berpegang teguh kepada Tuhannya, dan bangga dengan keimanannya. Tidak main-main dengan keimanannya, dan tidak gentar terhadap siksaan pada saat-saat yang penuh tantangan, apapun bentuk tantangan yang dihadapinya atau menghalanginya.

Di suatu siang yang sangat panas, Umar keluar dari rumahnya dengan sebuah ketetapan hati. Ia menghunus pedangnya, menuju rumah Al-Arqam yang menjadi tempat berkumpul Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dengan para sahabatnya, dia telah bertekad untuk membunuh beliau. Di jalan ia berpapasan dengan Nu’aim bin Abdullah An-Nahham yang ketika itu telah masuk Islam dan menyembunyikan keislamannya yang bertanya kepadanya, “Engkau hendak ke mana hai Umar?” Umar menjawab, “Aku akan menemui Muhammad, orang yang telah keluar dari agama kita, memecah belah orang-orang Quraisy, mendustakan mimpi-mimpi mereka, menghina agama mereka, dan mengejek tuhan-tuhan mereka, aku akan mebunuhnya.” Nu’aim berkata kepadanya, “Demi Allah, sungguh engkau telah tertipu oleh dirimu sendiri hai Umar. Apakah menurutmu Bani Abdu Manaf akan membiarkanmu berleluasa di atas permukaan bumi setelah engkau membunuh Muhammad ?!”

Dari ucapannya, Umar merasa bahwa Nu’aim sendiri telah masuk Islam. Maka ia berkata, “Sungguh aku melihat bahwa engkau pun telah berpaling, dan telah meninggalkan agama yang sebelumnya kau anut?!”

Kecerdasaan yang dimiliki oleh Nu’aim memberikannya jalan keluar dan dia mengetahui tentang kebengisan Umar, maka dia memalingkannya dari tujuan utamanya, untuk menjauhkan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dari hal yang mencelakakannya, juga dari dirinya sendiri. Maka ia berkata kepada Umar, “Kenapa engkau tidak kembali kepada keluargamu dan menangani urusan mereka?”

Umar berkata, “Keluargaku yang mana?”

Nu’aim menjawab, “Saudara ipar sekaligus sepupumu Sa’id bin Zaid bin Amru, dan adimu Fathimah binti Khaththab, sungguh demi Allah, mereka telah masuk Islam, dan mengikuti agama Muhammad. Maka hendaklah engkau memperhatikan mereka berdua.”

Umar pun berputar arah. Dia tidak lagi peduli dengan rumah Al-Arqam dan orang-orang yang ada di sana, bahaya telah mengancam rumahnya sendiri, dan menembus masuk ke dalamnya.

Umar kembali menuju rumah adiknya dan saudara iparnya. Saat itu di rumah mereka terdapat Khabbab bin Al-Arat yang sedang membacakan surat Thaha kepada keduanya. Ketika mendengar suara Umar, Khabbab segera bersembunyi di sebuah tempat persembunyian mereka, sedangkan Fathimah binti Khaththab bergegas mengambil lembaran surat Thaha dan menyimpannya di bawa pahanya. Ketika mendekati rumah tersebut, sesungguhnya Umar telah mendengar pembacaan surat Thaha oleh Khabbab kepada mereka berdua. Maka ketika telah masuk rumah, ia berkata, “Suara bisik-bisik apa tadi yang aku dengar?”

Mereka menjawab, “Engkau tidak mendengar apa-apa.”

Ia berkata, “Demi Allah, sungguh aku telah mendapatkan berita bahwa kalian berdua telah mengikuti agama Muhammad.” Lalu Umar memukul saudara iparnya Sa’id bin Zaid, dan adiknya Fathimah pun bangkit melindungi suaminya dari Umar. Umar memukul Fathima hingga terluka.

Karena Umar bersikap seperti itu, Fathimah dan suaminya berkata, “Ya, kami telah masuk Islam, kami telah beriman kepada Allah dan Rasulnya, perbuatlah apa yang engkau inginkan kepada kami!”

Di sini, kata-kata kebenaran yang penuh kejujuran dari adik dan iparnya, mengetuk hati Umar yang saat itu sedang berada dalam puncak kekerasannya. Kabut yang menyelimuti hatinya pun terkuak, dan segera menjadi lunak dan lembut. Pada detik tersebut, terlihat dengan jelas tabiat Umar yang menjadikannya lebih unggul dari tokoh-tokoh Quraisy lainnya, seperti Abu Jahal dan orang-orang sepertinya yang telah mengetahui kebenaran, namun mereka sombong dan keras kepala.

Kekuatan yang dimiliki Umar adalah kekuatan yang berdasarkan keunggulan, bukan kekuatan yang semata-mata berdasarkan kebengisan, ketergesaan, ataupun sikap keras kepala semata. Hingga ketika hatinya diketuk oleh kata-kata jujur yang timbul dari hati yang dipenuhi oleh iman, keunggulannya terlihat dalam sebuah tabiat yang tidak suka bertele-tele atau berbelit-belit. Bahkan cenderung kepada sebuah kejelasan dan merasa damai dengannya.

Bagaikan petir yang menyambar, ia segera bangkit dari arah Sa’ad. Dan menyesali apa yang telah dilakukannya. Ia mendekati adiknya dan berkata, “Berikanlah lembaran yang aku dengar kalian baca tadi, agar aku melihat apa yang sebenarnya di bawa oleh Muhammad.”

Ketika ia berkata demikian, adiknya berkata, “Sungguh kami takut engkau akan merampasnya.”

Umar berkata, “Janganlah engkau takut.” Dan Umar bersumpah dengan nama tuhan-tuhannya bahwa ia pasti akan mengembalikannya jika telah selesai membacanya.

Ketika Umar berkata, demikian, adiknya berharap Umar akan masuk Islam, maka dia berkata kepadanya, “Wahai saudaraku, sesungguhnya engkau najis karena kemusyrikanmu, dan sesungguhnya lembaran itu tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang suci.”

Umar bangkit dan mandi. Setelah mandi Fathimah memberikan lembaran itu kepadanya. Dan Umar pub membaca, “Thaha, Kami tidak menurunkan Al-Qur’an itu kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah, melainkan sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), diturunkan dari (Allah) yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi, (yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas ‘Arsy. Milik-Nyalah apa yang ada di langit, apa yang ada di bumi, apa yang ada di antara keduanya, dan apa yang ada di bawah tanah. Dan jika engkau mengeraskan ucapanmu, sungguh, Dia mengetahu rahasia dan yang lebih tersembunyi. (Dialah) Allah, tidak ada tuhan selain Dia, yang mempunyai nama-nama yang terbaik (QS-Thaha [20]: 1-8.)”.

Umar meneruskan bacaannya dengan hati yang berdebar, dan tubuh yang menggigil, ia membaca dengan khusyu’ dan tenang. Lalu ia menuju rumah Al-Arqam, menyatakan keislamannya, dan Allah pun menguatkan Islam dengannya.

Begitulah keislaman Umar di rumah Sa’id. Sa’id dan istrinya merupakan penyebab utama yang menyadarkan Umar dan kemudian masuk Islam. Dengan sebuah sikap keimanan yang kokoh dan mengagumkan, mereka berdua menantang kebengisan Ibnu Khaththab, dan menyatakan keislaman mereka di hadapannya tanpa ragu. Menghadapinya dengan keyakinan bahwa mereka berada dalam kebenaran sementara dia dalam kebatilan. Ini lah ketegaran Bani Adi yang dimiliki oleh seorang laki-laki seperti Sa’id, dan seorang wanita seperti Fathimah Radhiyallahu Anhuma wa Ardhahuma.

Islam terus menyebar di Mekah. Islamnya Umar semakin memperkokoh cengkramannya. Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam mulai berdakwah secara terang-terangan, dan orang-orang yang telah beriman pun mendampingi beliau dan melaksanakan dakwah bersama beliau. Masing-masing sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.

Ibnu Sa’ad meriwayatkan “Ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dan orang-orang yang bersamanya melakukan dakwah secara terang-terangan, dan Islam pun mulai menyebar di Mekah, mereka saling berdakwah satu sama lain. Abu Bakar berdakwah secara sembunyi-sembunyi, begitu juga Sa’ad bin Zia,d dan Utsman. Umar berdakwah dengan terang-terangan, juga Hamzah bin Abdul Muththalib dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Melihat ini semua, Quraisy menjadi marah, dan mereka pun mulai memperlihatkan kedengkian dan permusuhan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam.

Sa’id bin Zaid mengisi hari-harinya dengan tetap bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dan para shahabatnya. Menghadiri majelis-majelis Rasulullah, belajar dari beliau, dan membelanya. Semakin hari, Islam semakin kuat dan terus menyebar, hingga akhirnya kaum Anshar datang dan membai’at Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam untuk memberikan tempat tinggal dan membela beliau. Setelah itu Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam mengizinkan kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah, dan Sa’id pun ikut hijrah ke sana.

Ibnu Abdil Barr dan Ibnu Hazm beserta yang lainnya meriwayatkan, bahwasanya ketika Umar keluar untuk hijrah, turut bersamanya sekelompok orang dari Bani Adi. Di antaranya terdapat saudara iparnya Sa’id bin Zaid dan istrinya Fathimah yang merupakan adik dari Umar.

Kaum Anshar menyambut saudara-saudara mereka dari golongan Muhajirin dengan tangan terbuka dan penghormatan yang tinggi. Dan mereka berusaha sebaik mungkin menyediakan hal tertinggi yang bisa terlintas dalam pikiran seseorang untuk diberikan. Mereka merentangkan tangan kebaikan dan cinta, serta sikap mendahulukan orang lain. Mereka membuka hati dan pintu-pintu rumah mereka. Dan kaum muhajirin pun tinggal bersama mereka dalam keadaan terhormat dan dimuliakan.

Ibnu Sa’ad berkata, “Ketika Sa’id bin Zaid hijrah ke Madinah, ia tinggal bersama Rifa’ah bin Abdul Munzdzir, saudara dari Abu Lubabah.”

Sejak hari pertama kedatangan Nabi di Yatsrib yang dimuliakan dengan beliau, yang sejak saat itu namanya berubah menjadi Madinah, dan menjadi titik tolak dakwah dan penyampaian risalah, Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam merajut ikatan persaudaraan antara dua pokok utama masyarakat muslim yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar. Sebuah tindakan yang tepat setelah pembangunan masjid. Dua tindakan ini lah yang menjadi dua pondasi yang sangat mengakar dalam akidah tauhid. Dan di atasnyalah kemudian dibangun sebuah masyarakat yang bersih dan unggul, yang kemudian memimpin dunia menuju jalan petunjuk, kebaikan, kebahagiaan, dan keberhasilan di dunia dan akhirat.

Dan Ibnu Ishaq serta yang lainnya telah menyebutkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam mempersaudarakan antara Sa’id bin Zaid dengan Ubay bin Ka’ab.

Adapun Ibnu Sa’ad, dia mengatakan, “Justru Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam mempersaudarakan Sa’id dengan Rafi’ bin Malik Az-Zuraqi.

Namun baik dengan yang ini ataupun yang itu, maka keduanya merupakan tokoh-tokoh sahabat. Ubay adalah salah seorang yang ikut dalam bai’at Aqabah, ikut dalam perang Badar, dan penghulu dari qari’ (ahli membaca Al-Qur’an). Sedangkan Rafi’ adalah tokoh terkemuka golongan Anshar dan termasuk dari dua belas orang yang berbai’at di Aqabah. Maka itu merupakan sebuah persaudaraan yang mulia dari segi tujuan maupun dari sisi keutamaan mereka dalam keislaman.

 

Bersambung Insya Allah . . .

Artikel http://www.SahabatNabi.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.