E. Biografi Sahabat Nabi, Abu Ubaidah : Kedudukannya Di Sisi Nabi Dan Para Shahabat (Seri 6)
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menaruh perhatian terhadap para sahabat beliau Radhiyallahu Anhum dan mengkhususkan sejumlah orang di antara mereka yang dimuliakan oleh Allah dengan sifat perangai yang mulia dan diberi taufik untuk melakukan pekerjaan yang agung. Abu Ubaidah adalah salah seorang dari kelompok pilihan itu. Dia memperoleh simpati Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan perhatian beliau, sehingga memujinya, mempercayakan pekerjaan kepadanya, mengutusnya untuk menyampaikan pesan beliau mengangkatnya sebagai komandan pasukan, dan menampakkan kecintaan beliau kepadanya di hadapan khalayak, sebagaimana diriwayatkan oleh sejumlah shahabat yang mulia.
Kedudukan tersebut semakin mulia hingga meliputi kehidupan Abu Ubaidah sepeninggal Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Karena kemuliaannya senantiasa tampak pada sisa usianya, pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Abu Ubaidah merupakan salah satu sandaran yang diandalkan oleh keduanya dalam penyebaran dakwah, penaklukan wilayah, dan pengelolaan negara. Abu Bakar dan Umar senantiasa menyebut-nyebut keutamaan sosok yang kuat dan terpercaya ini dalam berbagai kesempatan.
Abu Ubaidah pun menempati posisi yang mulia di sisi para pembesar shahabat yang hidup bersamanya dalam naungan risalah, saling bahu membahu dengan mereka dalam mengembannya, dan saling mengisi satu dengan lainnya dalam membangun negara Islam. Mereka melihat pada diri Abu Ubaidah sesuatu yang mendinginkan dada, meyenangkan hati, dan berhak atas pujian dan sanjungan.
1. Kedudukannya di sisi Rasulullah, kecintaan beliau padanya, dan pujian beliau untuknya
Amr bin Ash Radiyallahu Anhu diangkat oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai pemimpin pasukan dalam perang Dzatus Salasil. Beliau tidak akan mempercayakan itu kepada Amr kecuali karena keutamaan dan kedudukannya. Maka dia mendatangi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk meminta penjelasan dan menanyakan tentang ketetapan tersebut. Maka Nabi menjawabnya dengan adab kenabian, bahwa beliau meletakkan setiap orang pada kedudukan yang semestinya, serasa menjelaskan bahwa bagi orang-orang yang paling dahulu masuk Islam kedudukan yang tidak dapat disamai, dan masing-masing dijanjikan kebaikan oleh Allah.
Dalam sebuat hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam kitab Al-Fadha’il, begitu juga oleh Abu Ya’la dan Ibnu Hibban dai Abdullah bin Syaqiq dari Amr bin Ash, dia berkata, “Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah.” Ditanya lagi, “Kalau kaum dari laki-laki?” Beliau menjawab “Abu Bakar.” Ditanya lagi, “Lalu siapa?” Beliau menjawab, “Umar.” Ditanya lagi, “Lalu siapa?” Beliau menjawab, “Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.”
Menegaskan hal itu dan semakin menambah kemuliaan Abu Ubaidah apa yang diriwayatkan dari sang penjaga rahasia kenabian, ummul mukminin Aisyah, sebagaimana diriwayatkan oleh para imam seperti Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Al-Hakim yang dishahihkan oleh banyak ulama, dari Abdullah bin Syaqiq, dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah, “Siapa sahabat yang paling di cintai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam? Aisyah menjawab, “Umar.” Ditanya lagi, “Lalu siapa?” Beliau menjawab, “Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” Saya terus bertanya, “Lalu siapa?” Aisyah diam.”
Bahkan Abu Ubaidah menempati suatu posisi di sisi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang lebih luas dari kecintaan hati. Maka dia mencapai derajat yang tinggi yang menjadikannya salah satu sosok yang pantas untuk menjadi penggan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai pemimpin umat sepeninggal beliau, berdasarkan usulan pemilik risalah yang tidak berbicara dari hawa nafsunya, dan tidak mengangkat pemimpin kecuali berdasarkan kemampuan dan kepantasan.
Imam Muslim, An-Nasa’i, Ahmad dan Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Ibnu Abu Mulaikah, dia berkata, “Saya mendengar Aisyah ditanya, “Siapa yang ditetapkan oleh Rasulullah sebagai pengganti beliau?” Aisyah berkata, “Abu Bakar.” Dia ditanya lagi, :Siapa setelah Umar?” Aisyah menjawab, “Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” Kemudian berhenti sama disini.
Kecakapan yang tertanam dalam jiwa Abu Ubaidah disembunyikan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu beliau menyingkapnya di hadapan manusia dan menampakkannya dalam berbagai situasi nyata. Sesuatu tampak secara nyata tentu lebih menjelaskan dan lebih mengena dari pada nasihat atau pujian yang berbeda-beda pengaruhnya pada para pendengar dan mudah dilupakan seiring berljalannya waktu.
Hal itu terlihat pada saat datang kepada beliau utusan dari Najran meminta kepada beliau untuk mengutus seorang shahabatnya. Maka beliay berkata kepada mereka, “Sungguh saya akan mengutus bersama kalian seorang laki-laki terpercaya, sangat terpercaya.” Lalu beliau memegang tangan Abu Ubaidah untuk mengukir di benak para pendengar sebuah kesaksian yang sangat mengena dan tidak akan hilang selama-lamanya.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pun melakukan hal serupa ketika menetapkan Abu Ubaidah sebagai guru dan pengajar fikih bagi penduduk Yaman.
Di antara yang semakin memperjelas dan menambah tingginya kedudukan Abu Ubaidah adalah ketika Amr bin Ash mengutus seseorang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam meminta tambahan pasukan pada perang Dzatus Salasil, beliau memperkuatnya dengan pasukan yang terdiri dari pemuka shahabat beliau, termasuk dua toko Quraisy, Abu Bakar dan Umar. Lalu beliau mengangkat Abu Ubaidah sebagai pemimpin mereka. Cukuplah bagimu dengan penunjukkan tersebut bukti tentang mulianya kedudukan Abu Ubaidah di sisi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam biasa mengajarkan para shahabatnya urusan agama mereka, menunjuki mereka pada sumber kebaikan dan perbuatan yang mendatangkan pahala. Tidak ada sesuatu pun yang mengandung kebaikan bagi mereka kecuali beliau arahkan mereka padanya. Termasuk tentang posisi mereka dalam shaf di masjid dan kedekatan mereka darinya. Beliau bersabda, “Hendaklah berdiri setelahku orang yang berakal di antara kalian.” Maka kalian akan menemukan bahwa di masjid beliau yang mulia para pemuka shahabat dan orang-orang yang terdekat dengan beliau berada di shaf pertama.
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abza Radhiyallahhu Anhu, dia berkata, “Seakan-akan saya melihat mereka di belakang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, dan Abdurrahman bin Auf.
2. Bersama Abu Bakar dan kedudukannya di sisinya
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meninggal dunia dan terjadi kekosongan kepemimpinan di tengah-tengah umat. Maka Allah Ta’ala memuliakan umat ini dengan singa Islam, sosok yang menghadapi situasi kritis, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq. Maka dia me-ngisi kekosongan tersebut dan mengangkat panji Islam dengan tangan kanannya dan mengibarkannya setinggi mungkin.
Sejak hari pertama kekhalifahannya Abu Bakar memperhatikan beberapa pembesar shahabat, membolak-balik lembaran sejarah yang mereka torehkan selama dua puluh tiga tahun, maka dia mendapati Abu Ubaidah pada baris pertama dari lembaran awal kitab sejarah.
Waktu itu jasad Rasulullah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam masih disemayamkan dan belum dimakamkan. Para shahabat berkumpul dikediaman bani Sa’idah, disana mereka mengadakan musyawarah pertama dalam Islam setelah wafatnya Nabi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk memilih pengganti beliau. Situasi itu menjadi salah satu bukti kemuliaan posisi Abu Ubaidah.
Imam Al-Bukhari, An-Nasa’i, dan Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu Anha, sesungguhnya saat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meningal dunia Abu Bakar sedang berada di Sunuh. Kaum Anshar lalu berkumpul kepada Sa’ad. Mereka berkata, “Dari kami seorang pemimpin dan dari kalian seorang pemimpin.” Maka Abu Bakar, Umar bin Khaththab, dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah pergi menemui mereka. Waktu Umar hendak berbicara karena saya, ditahan oleh Abu Bakar. Umar menjelaskan, “Demi Allah, saya hendak berbicara karena saya telah mempersiapkan pidato yang membuat saya terkagum, dan saya khawatir Abu Bakar tidak memikirkan sampai ke situ.” Kemudian Abu Bakar berbicara dan pidatonya sangat mengena. Dia berkata dalam pidatonya, “Kami adalah para pemimpin dan kalian adalah para menteri.” Hubab bin Al-Mundzir berkata, “Demi Allah, kami tidak setuju. Dari kami seorang pemimpin dan dari kalian seorang pemimpin.” Abu Bakar berkata, “Tidak, akan tetapi kami pemimpin dan kalian menteri. Mereka penengah bangsa Arab dan paling mulia nasabnya. Maka Bai’atlah Umar atau Abu Ubaidah.” Lantas Umar berkata, “Justru kami membai’atmu. Engkau adalah tuan kami, yang terbaik di antara kami, dan yang paling di cintai diantara kami oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.” Umar lalu mengambil tangan Abu Bakar dan Membai’atnya, dan semua orang ikut membai’atnya.
Dalam riwayat milik Imam Al-Bukhari dari Ibnu Sa’ad, dari Umar bin Khaththab, dia berkata, “Abu Bakar berkata, “Kebaikan yang kalian sebut-sebutkan memang kalian penyandangnya dan sesungguhnya masalah kekhalifahan ini tidak diperuntukkan sebagai selain penduduk Quraisy ini yang mereka adalah pertengahan di kalangan bangsa arab dari segi nasab dan keluarganya, dan saya telah meridhai salah satu dari dua orang ini untuk kalian, maka bai’atlah salah seorang di antara keduanya yang kalian kehendaki.” Kemudian Abu Bakar menggandeng tanganku dan tangan Abu Ubaidah bin Al-jarrah, dan dia duduk ditengah-tengah kami.”
Disana terdapat bukti yang jelas tengang tinggi kedudukan Abu Ubaidah di mata kaum muslimin karena dia menjadi salah satu dari tiga orang yang mengurusi persoalan umat, memikirkan kebaikan untuk mereka, berusaha untuk menjaga persatuan, dan memilih orang yang menggantikan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam mengemban risalah dan menyampaikan amanah.
Hal itu juga menunjukkan tentang kedudukannya yang mulia dimata Abu Bakar, karena menyarankan para shahabat untuk mengangkat Abu Ubaidah atau Umar sebagai pemimpin. Artinya Abu Bakar menyamakan kedudukannya dengan Uma Al-Faruq, sesuatu yang menunjukkan tentang tingginya kedudukan yang dicapai oleh Abu Ubaidah, karena dia pun pantas menjadi khalifah Rasulullah pada periode sulti tersebut.
Namun takdir Allah menetapkan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah. Maka dia menanggung beban yang sangat berat yang pernah di tanggung oleh orang-orang yang memiliki kemampuan untuk menghadapi tantangan dan merubahnya menjadi peluang.
Hal pertama yang dilakukan Abu Ubaidah di awal kekhalifahan Abu Bakar adalah menetapkan gaji untuk sang khalifah. Mari kita cermati kejadian berikut.
Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Atha bin As-Sa’ib, dia berkata, “Ketika Abu Bakar diangkat sebagai khalifah, keesokan paginya dia pergi kepasar membawa sejumlah pakaian dagangannya. Di perjalanan Abu Bakar bertemu dengan Umar bin Khaththab dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Keduanya bertanya, “Hendak ke mana wahai engkau wahai khalifah Rasulullah?” Abu Bakar menjawab, “Ke pasar.” Keduanya bertanya lagi, “Apa yang hendak kau lakukan di pasar, sedang engkau telah diangkat sebagai khalifah?” Abu Bakar berkata, “Mari ikut agar kami tetapkan untukmu sesuatu.” Abu Bakar pun ikut bersama keduanya. Lalu mereka menetapkan untuknya setengah kambing setiap harinya. Maka umar bertaka, “Serahkan pada saya urusan peradilan.” Umar berkata, “Pernah dalam sebulan tidak ada dua orang bersengketa yang datang padaku.”
Abu Bakar menjalankan kebijakannya sebagai khalifah, dia mengikutsertakan sejumlah shahabat dalam menangung beban kekhalifahan. Abu Ubaidah merupakan pembantunya yang paling terkemuka, dia ditugaskan sebagai penjaga baitul mal kaum muslimin.
Khalifah bin Khiyath berkata saat menyebutkan para pegawai Abu Bakar, “Abu Bakar mengangkat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah sebagai penjaga baitul mal, lalu mengutusnya ke Syam.”
Posisi tersebut pada hari ini sama dengan Menteri Keuangan. Abu Ubaidah sangat tepat memangku jabatan tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menjulukinya sebagai Keperycayaan umat ini. Harga merupakan amanah yang paling berbahaya bagi seorang. Tidak akan dapat menjalankan amanah tersebut dengan baik kecuali orang yang bersih hatinya dan bersih riwayat hidupnya serta senantiasa merasakan pengawasan Allah baik di tempat terbuka maupun di tempat tersembunyi. Mereka akan memperhitungkan semuanya, baik yang bernilai besar maupun kecil. Mereka akan meninggalkan pekerjaan itu tanpa ada kecurigaan yang terkait pada diri mereka. Sejarah menceritakan kepada kita, baik zaman dulu maupun masa kini, betapa banyak pengkhianatan terjadi baik secara terang-terangan maupun tersembunyi yang dilakukan oleh mereka yang memiliki jiwa yang rendah dan tidak menjaga amanah. Adapun Abu Ubaidah, cukup baginya jaminan Rasulullah hallallahu Alaihi wa Sallam bahwa dia adalah orang terpercaya, sangat terpercaya.
Abu Bakar pun membuat majelis permusyawaratan yang terdiri dari para pemuka sshahabat seperti Umar, Utsman, Ali, Abu Ubaidah, dan yang lainnya. Dia meminta pendapat mereka, bermusyawarah dengan mereka dalam menjalankan urusan negara dan persoalan kaum muslimin.
Abu Bakar pun mewariskan kepada par gubernur wilayah dan komandan pasukan penaklukan untuk memperlakukan Abu Ubaidah dengan baik dan hendaknya memahami kedudukannya dan meminta pendapatnya. Abu Bakar berpesan pada Syurahbil bin Hasanah, “Jika engkau menghadapi situasi yang memerlukan pendapat orang yang bertakwa, maka mulailah dari Abu Ubaidah bin Al-Jarrah dan Mu’adz bin Jabal, lalu yang ketiga Khalid bin Sa’id. Engkau akan mendapatkan pada mereka nasihat dan kebaikan. Jangan sampai engkau menolak pendapat mereka atau menyembunyikan dari mereka sebagian berita.”
Abu Bakar memberikan panji kepada Yazid bin Abu Sufyan sebagai pemimpin pasukan yang diberangkatkannya untuk penaklukan Syam. Dia berwasiat kepada Yazid, “Saya berpesan agar engkau memperlakukan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah dengan baik. Engkau telah mengetahui kedudukannya dalam Islam. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Setiap umat memiliki orang kepercayaan dan kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” Maka ketahuilah keutamaannya dan catatan masa lalunya. Perhatikan juga mu’adz bin jabal, engaku telah mengetahui keikutsertaannya bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Maka jangan putuskan sesuatu tanpan mengikutsertakan keduanya.”
Abu Bakarpun mewasiatkan kepada kaum muslimin pada umumnya untuk mengikuti jejak Abu Ubaidah dan meneladani akhlaknya yang memang mulia, dengan menyebut keutamaannya dan sifatnya yang indah dengan ungkapan singkat, “Hendaklah kalian meneladani orang yang lembut, apabila dizhalimi tidak menzhalimi, apabila disakiti memaafkan, apabila diputuskan silaturrahimnya menyambungkan, ramah terhadap kaum muslimin, dan keras terhadap orang-orang kafir, yaitu Amir bin Al-Jarrah.”
Bersambung Insya Allah . . .
Artikel http://www.SahabatNabi.com