Categories
Umar Bin Khaththab

Biografi Sahabat Nabi Umar Bin Khaththab: Kebijakan & Peran Penting Seorang Umar (Seri 5)

6. Pemeliharaannya terhadap kekayaan umat dan pembagiannya pada rakyatnya

Tanggungjawab Umar dalam mengelola harta kekayaan untuk Islam tidak kalah hebatnya dibandingkan kebijakannya terhadap para gubernur wilayah.

Rabi’ bin Ziyad Al-Haritsi datang padanya, dilihatnya di rumah Umar terdapat makanan yang keras dan pakaian yang kasar. Dia lalu berkata, “Wahai Amirul mukminin, orang yang paling berhak memakan makanan yang lembut, mengendarai tunggangan yang bagus, dan mengenakan pakaian yang lembut adalah engkau.” Umar pun mengangkat pelepah kurma yang berada di genggamannya, lalu memukul kepala Rabi’ dengannya. Lalu Umar berkata, “Demi Allah, engkau mengatakan itu hanyalah karena ingin mendekat padaku. Tahukah engkau bagaimana perumpamaan antara aku dan mereka?” Rabi’ balik bertanya, “Bagaimana perumpamaan antara engkau dan mereka?” Umar berkata, “Perumpamaannya seperti sekelompok orang yang hendak melakukan perjalanan, lalu mereka mengumpulkan harta mereka ke salah seorang dari mereka. Maka mereka berkata padanya, “Belanjakanlah untuk kami.” Maka apakah orang itu boleh mengambil sesuatu dari harta tersebut untuk dirinya?” Rabi’ menjawab, “Tidak, wahai Amirul mukminin.” Umar berkata, “Begitulah perumpamaan antara aku dengan mereka.”

Mari kita ikuti kisah yang luar biasa sebagaimana disaksikan oleh Utsman bin Affan dan pembantunya, pada suatu hari yang amat panas. Pembantu Utsman menceritakan.

“Ketika saya sedang bersama Utsman mengurus hartanya di Aliyah, pada hari yang amat panas. Tiba-tiba dia melihat seseorang menuntun dua ekor unta muda, berjalan di atas padang pasir yang panas. Utsman berkata, “Kenapa orang itu tidak tinggal di Madinah sampai cuaca menjadi dingin baru keluar?” Lalu orang itu mendekat ke tempat kami. Utsman pun bertanya-tanya, “Siapa gerangan orang ini?” Saya lalu melihat keluar dan berkata, “Saya melihat seorang laki-laki berkerumun dengan pakaiannya sedang menuntun dua ekor unta muda.” Ketika orang itu semakin dekat, Utsman berkata, “Lihat!” Saya pun melihatnya, ternyata orang itu adalah Umar bin Khaththab. Saya segera memberi tahu Utsman. Maka Utsman langsung bangun dan melongokkan kepala dari pintu. Namun dia tidak kuat menahan terpaan panas. Dia pun menarik kembali kepalanya. Setelah menunggu beberapa saat dia mencoba melongokkan kepalanya kembali dan bertanya, “Apakah yang membuatmu keluar rumah pada saat seperti ini?”

Umar menjawab, “Dua ekor unta ini terpisah dari sekelompok unta sedekah. Maka saya ingin mengantarkannya ke Hima (Tanah milik Negara) . Saya khawatir keduanya hilang lalu Allah mempertanyakannya padaku.” Utsman berkata, “Wahai Amirul mukminin, kemarilah berteduh sejenak untuk minum, kami punya persediaan yang cukup. Umar berkata, “Kembalilah ke tempat berteduhmu.” Utsman mengulang ajakannya, namun Umar menjawab dengan jawaban yang sama. Utsman pun berkata, “Siapa yang ingin menyaksikan orang kuat lagi terpercaya, maka hendaklah melihat orang ini.”

“Suatu padang yang dipenuhi rerumputan dan dijaga oleh pemimpin dari gangguan orang. Maka tidak ada yang boleh mengembalakan ternaknya di tempat itu. Umar menetapkan suatu padang bernama Naqi’ sebagai tempat untuk memberi makan binatang hasil sedekah dan kuda yang digunakan untuk jihad fi sabilillah”

Pada kesempatan lain, Ali bin Abi Thalib melihat Umar berjalan ke arah pinggiran kota Madinah. Ali bertanya padanya, “Hendak kemana engkau wahai Amirul mukminin?” Umar menjawab, “Seekor unta sedekah lepas, saya sedang mencarinya.” Ali berkata, “Sungguh engkau telah membuat lelah para khalifah sesudahmu.”

Lalu pada suatu hari datanglah utusan dari Irak, ikut bersama rombongan tersebut Ahnaf bin Qais. Mereka dikejutkan oleh Umar yang sedang mengobati seekor unta sedekah, melumurinya dengan ter. Ketika Umar melihat mereka, dia langsung memanggil ahnaf dan berkata, “Buka gamismu hai Ahnaf, kemarilah, bantu Amirul mukminin mengurus unta ini. Ini adalah salah satu unta sedekah, padanya terdapat hak orang-orang kafir dan miskin!” Utusan itu pun terkejut, salah seorang lalu berkata, “Semoga Allah mengampuni wahai Amirul mukminin. Sesungguhnya salah seorang budak sedekah cukup untuk mengurus itu.” Umar menjawab dengan penuh rendah hati dan penuh tanggungjawab, “Budak manakah yang lebih rendah dariku dan dari Ahnaf?”

Adapun orang-orang fakir dan miskin menempati kedudukan tertentu di sisi Umar. Dia berusaha untuk menutupi kefakiran mereka, memenuhi kebutuhan mereka, dan memuliakan para kaum muslimin pendahulu, bahkan memuliakan keturunan mereka.

Aslam, pembantu Umar menceritakan, “Saya sedang berjalan bersama Umar di pasar, tiba-tiba seorang perempuan muda menyusul Umar dan berkata, “Wahai Amirul mukminin, suamiku meninggal dunia dan meninggalkan anak-anak yang masih kecil. Mereka tidak memiliki ternak yang bisa dimasak dan tidak punya kebun yang bisa diambil hasilnya. Saya takut mereka akan binasa oleh musim paceklik. Saya sendiri adalah putri dari Khufaf bin Ima’ Al-Qur’an-Ghifari. Ayahku ikut dalam perjanjian Hudaibiyah bersama Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam. Umar pun mendengar semua keluhan perempuan itu dan tidak meninggalkannya. Lalu Umar berkata padanya, “Selamat datang wahai saudariku.” Lalu Umar mengambil seekor unta yang terikat di rumahnya, meletakkan di punggungnya dua buah karung yang penuh dengan makanan, lalu menyelipkan beberapa uang dan pakaian. Kemudian Umar menyerahkan unta tersebut pada perempuan itu berikut barang-barang yang diangkutnya. Umar berkata padanya, “Manfaatkanlah, dia tidak akan habis sampai Allah memberi kalian jalan keluar yang baik.” Seseorang berkata, “Wahai Amirul mukminin, engkau memberinya terlalu banyak!” Umar menjawab, “Celakalah engkau, demi Allah, saya menyaksikan bagaimana ayah dan saudaranya ikut serta dalam pengepungan suatu benteng dalam masa yang cukup panjang, hingga berhasil menaklukkannya. Kemudian kita memperoleh harta rampasan yang melimpah dari hasil perjuangan mereka.”

Umar pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari, menyampaikan hal berikut, “Amma ba’du, saya mengalami suatu hari dalam setahun tidak tersisa di baitul mal walau satu dirham pun hingga benar-benar kosong, agar Allah mengetahui bahwa saya telah menyampaikan pada setiap orang yang berhak apa-apa yang menjadi haknya.”

Sementara Abdullah bin Abbas meriwayatkan, “Umar bin Khaththab memanggil saya, maka saya pun memenuhi panggilannya. Ketika saya memenuhinya, saya dapati di hadapannya hamparan dari kulit yang di atasnya terdapat emas yang bertaburan seperti jerami. Umar berkata, “Kemarilah, bagikanlah ini kepada kaummu, Allah Maha Mengetahui kenapa Dia menjauhkan ini dari Nabi-Nya Shallallahu Alahi wa Sallam dan dari Abu Bakar, lalu memberikannya padaku. Saya tidak tahu apakah ini berakibat baik untukku atau berakibat buruk.” Saya lalu memisah-misahkan emas itu, tiba-tiba terdengar suara tangisan sambil berkata, “Tidak, demi Dzat Yang jiwaku dalam genggaman-Nya, Dia tidak menahannya dari Nabi-Nya Shallallahu Alahi wa Sallam dan dari Abu Bakar karena menginginkan keburukan bagi mereka, dan tidak juga memberikannya kepada Umar karena menginginkan kebaikan baginya!”

7. Nafkah untuk dirinya dan keluarganya serta pendidikan bagi keluarganya
Umar senantiasa merasakan pengawasan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam mengelola kekayaan umat. Dia takut Allah akan menghisabnya atas beberapa suap makanan yang dimakannya dari baitul mal atas izin kaum muslimin. Karena itu, mengawasi ketat dirinya dan keluarganya, tidak berfoya-foya, dan lebih memilih untuk menahan diri, mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam.

Suatu waktu dia mengeluhkan rasa sakit di badannya. Lalu dia disuruh untuk minum madu. Kebetulan ada sekantung madu di baitul mal. Maka Umar bertanya pada khalayak, “Jika kalian mengizinkan saya mengambilnya akan saya ambil, jika tidak maka dia menjadi haram bagi saya.” Mereka pun mengizinkannya.

Mujahid menceritakan, “Pada saat melaksanakan haji, Umar membelanjakan uangnya sebanyak delapan puluh dirham untuk biaya perjalanan pulang pergi dari Madinah ke Mekah. Dia merasa sangat menyesal dan memukul-mukulkan kedua tangannya seraya berkata, “Kenapa kita sampai menghamburkan harta Allah Ta’ala.”

Pada suatu hari yang lain Umar minum segelas susu. Dia begitu menyukai susu tersebut. Lantas dia bertanya pada orang yang membawakan susu tersebut. “Dari mana kau dapatkan susu ini?” Maka dia menceritakan bahwa dia datang ke sumber air, tiba-tiba datang seekor ternak sedekah. Orang-orang lalu memberinya minum, kemudian memerah susunya. Saya ikut mengambil susu hasil perahan tersebut.” Mendengar itu Umar langsung memasukkan jarinya ke tenggorokan, lalu memuntahkan apa yang baru saja diminum. Inilah sifat wara’ yang digambarkan oleh Miswar bin Makramah Radiyallahu ‘Anhu ketika dia berkata, “Dulu kami selalu menyertai Umar belajar darinya sifat wara’.”

Para shahabat menyaksikan bagaimana Amirul mukminin mengalami hidup yang sulit. Ketika Allah melapangkan rizkinya dan dia berhasil melakukan berbagai penaklukan untuk kaum muslimin, mereka berharap Umar akan memakan makanan yang lebih lembut dari makanan yang biasa dia makan dan mengenakan pakaian yang lebih lembut dari pakian yang dikenakannya. Namun mereka pun minta bantuan Ummul mukminin Hafshah untuk menyampaikan hal tersebut.

Jawaban Umar kepada Hafshah, “Wahai Hafshah, sampaikan pada orang-orang yang mengutusmu padaku, bahwa perumpamaan aku dengan dua shahabatku (Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam dan Abu Bakar) adalah seperti tiga orang yang menempuh suatu jalan. Yang pertama telah mebawa bekal yang cukup dan telah sampai ke rumah. Lalu diikuti yang lain dengan menempuh jalan yang sama. Yang kedua pun berhasil mencapai tempatnya. Selanjutnya yang ketiga, apabila dia konsisten berada di jalan yang telah ditempuh dua orang itu, dia akan menyusul mereka. Namun jika dia menempuh jalan yang berbeda, maka dia tidak akan bergabung dengan mereka.”

Umar pernah melihat seorang anak perempuan yang berperawakan kurus dan lemah. Umar bertanya, “Anak siapa ini?” Putranya, Abdullah menjawab, “Ini adalah salah satu putrimu.” Umar bertanya, “ Putriku yang mana?” Jawab Abdullah, “Putriku.” Umar berkata, “Apa yang membuatnya kurus dan lemah begini?” Abdullah menjawab, “Akibat dari perbuatanmu, engkau tidak memberinya nafkah.” Umar berkata, “Demi Allah, saya tidak ingin memberi makan anakmu dengan cara yang batil. Lapangkanlah nafkah untuk anakmu!”

Muhammad bin Sirin meriwayatkan, “Salah seorang ipar Umar bin Khaththab datang menemuinya, memohon agar diberi sesuatu dari baitu mal. Umar langsung membentaknya dan berkata, “Engkau ingin aku menghadap Allah sebagai raja yang berkhianat?” Setelah itu, Umar memberinya harta dari hartanya sendiri sepuluh ribu dirham.”

Pembantunya, Aslam berkata, “Umar keluar lalu duduk di atas mimbar. Orang-orang pun berkumpul di sekelilingnya. Hingga orang yang tinggal di ketinggian pun turun. Umar pun mengajarkan mereka semua tanpa ada terlewatkan. Kemudian dia kembali ke keluarganya dan berkata pada mereka, “Kalian telah mendengar apa yang aku larang. Jika ada di antara kalian yang melanggar laranganku, akan aku hukum dengan hukuman dua kali lipat.”

Karena itulah, kita dapati Umar selalu berusaha menghindarkan keluarganya dari hal-hal yang syubhat. Celakalah orang yang merusak biografinya dan menyalahi jalan hidupnya. Putranya Abdullah merupakan teladan dalam sifat wara’, zuhud, dan ketakwaan. Dia menceritakan, “Saya membeli seekor unta, lalu saya membawanya ke tanah milik negara. Setelah unta itu gemuk, saya membawanya kembali ke pasar, dilihatnya ada seekor unta yang gemuk. Dia bertanya, “Siapa pemilik unta ini?” Dijawab, “Unta itu milik Abdullah bin Umar.” Umar berkata, “Wahai Abdullah bin Umar, bagus, putra Amirul mukminin?” Umar bertanya, “Dari mana kau dapatkan unta ini?” Abdullah menjawab, “Saya membelinya, lalu saya menaruhnya di tanah milik negara, berharap seperti apa yang diharapkan kaum muslimin.”

Mendengar itu Umar langsung marah dan berkata, “Orang-orang pasti berkata, “Jagalah unta milik putra Amirul mukminin, beri minum unta milik putra Amirul mukminin!” Wahai Abdullah bin Umar, ambillah modalmu dan serahkan keuntungannya ke baitul mal!”
Semoga Allah merahmati Abi Hafsh Umar, dan selamat untuk umat yang dipimpin oleh orang seperti sosok yang kuat dan amanah ini.

Abu Musa Al- Asy’ari memberi istri Umar hadiah permadani. Ketika Umar mengetahui hal itu, dia bertanya bertanya pada Abu Musa, “Apa yang membuatmu memberi hadiah pada istriku?” kemudian Umar mengambil permadani itu dan memukulkannya ke kepala Abu Musa seraya berkata, “Ambillah, kami tidak membutuhkannya.”

Dalam hal makanan dan pakaian, Umar amatlah bersikap zuhud. Pada suatu hari dia bertamu ke rumah putrinya Hafshah. Disuguhkanlah padanya kua daging yang sudah dingin, lalu Hafshah menuangkan minyak pada kua tersebut. Umar berkata, “Dua macam lauk dalam satu wadah? Saya tidak akan mencicipinya sampai saya menghadap Allah Azza wa Jalla.”

Pada suatu ketika, datanglah Abdullah, Hafshah, dan yang lain menemuinya dan membicarakan tentang makanan Umar. Mereka berkata, “Jika engkau mengkonsumsi makanan yang baik, itu akan lebih menambah kekuatanmu dalam membela kebenaran.” Umar bertanya, “Apakah kalian semua sependapat dalam hal ini?” Mereka mengiyakan. Umar pun berkata, “Saya mengerti nasihat kalian, akan tetapi saya telah membiarkan dua shahabat saya menempuh suatu jalan. Jika saya meninggalkan jalan yang mereka lalui, saya tidak akan bisa menemui mereka di rumah.”

Di kesempatan lain, datanglah Abu Musa Al-Asy’ari bersama utusan dari Bashrah untuk menemui Umar. Mereka menceritakan, “Waktu itu srtiap hari kami bertamu ke rumahnya. Makanan yang dikonsumsinya berupa tiga buah roti. Terkadang diberi minyak, samin, atau susu. Pernah juga kami dapati dia memakannya dengan dendeng kering yang ditumbuk, atau dengan daging yang empuk. Namun yang terakhir ini sangat jarang.”

Umar Radiyallahu ‘Anhu berkata, “Demi Dzat Yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, jika saya tidak takut kebaikan saya akan berkurang, pasti saya sudah mengikuti kalian dalam menjalani kehidupan yang mewah. Kalau saya mau, saya tentu makan makanan yang terbaik di antara kalian dan memiliki gaya hidup yang paling mewah. Kami sangat tahu mana makanan yang baik yang paling banyak dikonsumsi, akan tetapi kami menangguhkannya untuk suatu hari di mana para ibu yang menyusui melalaikan anak yang disusuinya dan para wanita yang sedang mengandung mengalami keguguran. Sungguh, saya menyimpannya untuk kebaikan saya. Karena saya mendengar Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kamu telah menghabiskan (rezeki) yang baik untuk kehidupan duniamu, dan kamu telah bersenang-senang (menikmati) nya.” (QS. Al-Ahqaf [46]: 20).

Dari segi pakaian, tidak lebih baik dari makanan. Umar mengenakan pakaian yang kasar dan tebal. Tidak ada yang membedakannya dari orang lain, padahal dia Amirul mukminin. Anas bin Malik berkata, “Saya pernah melihat di bagian pundak dari pakaian Umar terdapat empat tambalan.”

Abu Utsman An-Nahdi meriwayatkan, “Saya melihat Umar bin Khaththab melakukan thawaf di baitullah, dia mengenakan sarung yang memiliki dua belas tambalan, salah satunya dengan kulit yang berwarna merah.”

Suatu ketika Umar terlambat datang ke masjid untuk shalat Jum’at. Ketika dia naik mimbar dia minta maaf pada semua orang dan berkata, “Saya terlambat karena gamis saya ini. Saya tidak memiliki gamis yang lain.”

Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mendatangkan kelapangan rizki, banyak wilayah yang berhasil ditaklukan oleh kaum muslimin, sehingga harta rampasan melimpah ruah, itu semua tidak merubah kondisi Umar, baik dari segi makanan maupun pakaian. Pada suatu hari dia naik ke atas mimbar, menghadap jamaah dan berkata dengan suaranya yang lantang, “Dengarkanlah oleh kalian, semoga Allah merahmati kalian!” Tiba-tiba dari salah satu shaf terdengar suara Salman, “Demi Allah kami tidak mau mendengar, Demi Allah kami tidak mau mendengar!” Umar terkejut dan bertanya padanya, “Kenapa begitu wahai Salman?” Jawab Salman, “Engkau membedakan dirimu dari kami wahai Umar. Engkau memberi kami masing-masing satu kain, sementara engkau mengambil dua.” Umar lalu mengedarkan pandangannya mencari-cari seseorang, “Mana Abdullah bin Umar?” Abdullah pun berdiri. Umar lalu bertanya padanya, “Siapa pemilik kain yang satunya?” Abdullah menjawab, “Saya wahai Amirul mukminin.” Umar lalu menghadap ke jamaah, terutama ke arah Salman dan berkata, “Sesungguhnya saya, seperti yang kalian ketahui, memiliki badan yang tinggi. Kain yang saya dapat ukurannya pendek, maka Abdullah memberikan kainnya pada saya. Saya pun menyambungkannya ke kain saya.” Kedua mata Salman berkaca-kaca oleh air mata bahagia. Dia dan para hadirin lalu berkata, “Sekarang, bicaralah wahai Amirul mukminin, kami akan mendengar dan patuh.”

8. Umar di tahun paceklik
Suatu ketika, wilayah Hijaz diliputi kekeringan dan paceklik. Semua orang mengalami masa yang amat sulit. Permukaan tanah menjadi gersang, hewan ternak banyak yang mati, manusia pun menderita kelaparan. Sehingga mereka terpaksa mengkonsumsi tulang-tulang yang telah rusak dan menggali lubang-lubang tikus mencari sesuatu yang dapat dikonsumsi. Binatang buas pun tampak berkeliaran di sekitar pemukiman karena tidak mendapat makanan di alam bebas. Permukaan tanah pun menghitam karena kemarau yang panjang, sehingga warnanya menjadi seperti Abu Musa Al-Asy’ari, maka tahun itu pun terkenal dengan sebutan tahun kelabu.

Pada suatu malam, Umar berkeliling melihat-lihat situasi kota Madinah. Dia tidak melihat seorang dari penduduknya yang tertawa atau bercengkrama seperti yang biasa mereka lakukan. Bahkan tidak ada satu pun yang bertanya atau meminta, Umar pun mempertanyakan kondisi tersebut. Seseorang menjawab, “Wahai Amirul mukminin, mereka telah sering bertanya dan meminta tapi mereka tak pernah mendapat jawaban, mereka pun berhenti bertanya. Semua orang mengalami kesulitan dan kesempitan hidup, sehingga mereka tak bisa bercengkrama dan tertawa.”

Kondisi tersebut membuat Umar merasakan kesediahan yang mendalam. Setiap malam dia memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar musibah dan bala ini segera berakhir. Ibnu Umar menceritakan salah satu siatuasi tersebut,

“Pada masa paceklik, Umar bin Khaththab memiliki suatu kebiasaan baru, yaitu setelah selesai mengimami shalat Isya, dia langsung pulang dan langsung melakukan shalat malam sampai mejelang Subuh. Kemudia ia keluar menelusuri lorong-lorong jalan. Saya pernah mendengar pada suatu malam dia mengucapkan, “Ya Allah, jangan Engkau jadikan kebinasaan umat Muhammad pada masa kepemimpinanku.”

Kemudian Umar pun mengirim surat ke beberapa gubernur di berbagai wilayah kekhalifahan Islam meminta mereka mengirimkan bantuan makanan dan pakaian untuk menutupi kebutuhan masyarakat Hijaz, Di antara yang dikirimi surat adalah Amr bin Ash di Mesir, Muawiyah bin Abi Sufyan di Syam, dan Sa’ad bin Abi Waqqash di Irak.

Surat yang ditunjukan Amr bin Ash berbunyi, “Bismillahirrahmanirrahim, dari hamba Allah Umar kepada Ashi bin Ashi (Amr bin Ash). Ba’da salam, Apakah engkau membiarkan saya dan penduduk saya binasa sedangkan engkau dan pendudukmu hidup senang? Kirimkanlah bantuan.”

Amr pun segera mengirim bantuan makanan dan pakaian melalui jalur darat dan laut. Bantuan lewat jalur terdiri dari 20 kapal yang memuat gandum dan lemak. Sementara lewat jalur darat terdiri dari seribu unta yang memuat gandum dan ribuan helai pakaian. Sedangkan Muawiyah mengirimkan 3 ribu unta yang membawa gandum dan 3 ribu unta lainnya yang muatan pakaian. Sementara dari Kufah datang bantuan 2 ribu unta yang membawa gandum.

Para pegawai kekhalifahan pun segera membagikan bahan makanan tersebut ke seluruh penduduk Madinah. Setiap harinya pemerintah menyembelih 120 binatang untuk menjamu masyarakat. Pernah pada suatu malam yang hadir pada dalam jamuan makan malam bersama berjumlah tujuh ribu orang. Umar ikut serta dalam mempersiapkan jamuan tersebut. Dia juga ikut bersama Aslam pembantunya mengangkat bahan makanan untuk kaum wanita dan anak-anak yang tidak bisa datang ke jamuan makan. Mereka mengirim gandum, kurma, dan lauk pauk. Semua itu sampai ke tangan mereka di mana pun mereka berada.

Secara pribadi Umar bersumpah untuk tidak makan atau minyak samin sampai semua rakyatnya dapat hidup baik. Anas menceritakan, “Perut Umar berbunyi, pada masa paceklik dia hanya makan pakai minyak biasa. Dia mengharamkan atas dirinya minyak samin, maka dia menekan perutnya dengan jari-jarinya seraya berkata, “Berbunyilah, engkau tidak akan mendapatkan selain minyak ini samapi semua orang bisa hidup dengan baik.”

Masa kemarau ini berlangsung selama sembilan bulan. Hingga Umar pun memutuskan untuk menggelar shalat istisqa’ (memohon turunnya hujan). Abdullah bin Niyar Al-Aslami meriwayatkan, “Ketika Umar memutuskan untuk melakukan shalat istisqa’ pada hari yang telah ditentukan, memohon pada Tuhan mereka untuk mengangkat kemarau ini dari mereka. Pada hari yang telah disepakati itu, Umar keluar dengan mengenakan jubah Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Sesampainya di tempat shalat, dia berkhutbah dan memanjatkan doa kepada Allah. Semua orang yang hadir pun turut memohon dengan sangat. Dalam doanya Umar memperbanyak mengucapkan istighfar. Ketika akan mengakhiri doanya. Umar mengangkat tangannya tinggi-tinggi, merubah posisi pakaiannya, yang kanan dialihkan ke sebelah kiri dan yang kiri ke sebelah kanan, lalu dia kembali mengangkat tangan dan melanjutkan doa sambil menangis cukup lama hingga membasahi janggutnya.

Diriwayatkan dari Anas, “Ketika terjadi kemarau panjang, Umar bin Khaththab Radiyallahu ‘Anhu meminta hujan dengan berwasilah kepada Abbas bin Abdul Muththalib. Dia berdoa, “Ya Allah, dulu kami meminta hujan dengan perantara Nabi kami, kemudian engaku menurunkan hujan. Sekarang kami meminta hujan dengan perantara paman Nabi kami, kama turunkanlah hujan kepada kami.” Anas berkata, “Mereka pun mendapatkan hujan.”
Umar sampai berlutut seraya memanjatkan doa, “Ya Allah, hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan. Ya Allah ampunilah kami, rahmatilah kami, dan ridhailah kami.”

Di antara doa yang dipanjatkannya, “Ya allah, para penolong kami tak lagi mampu menolong, daya dan upaya kami pun telah habis, jiwa kami telah lemah, maka tidak ada daya dan upaya kecuali dengan-Mu, Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami dan hidupkanlah para hamba-Mu dan negeri ini.”

Sebelum mereka sampai ke rumah mereka, langit pun mendadak mendung dan gelap sebagai tanda akan turun hujan.

Orang-orang Arab badui mendatangi Umar dan berkata, “Wahai Amirul mukminin, ketika kami sedang berada di lembah kami pada jam sekian tiba-tiba langit menjadi mendung. Lalu kami mendengar suara mengatakan, “Telah datang padamu bantuan wahai Abu Musa Al-Asy’ari Hafsh, telah datang padamu bantuan  wahai Abu Musa Al-Asy’ari Hafsh!”

9. Penaklukan wilayah
Pada masa kekhalifahannya Umar bertekad untuk menyempurnakan peran besar yang telah dimulai oleh Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam pada perang Tabuk dan pengutusan Usamah yang dilanjutkan oleh Abu Bakar As-Shiddiq.

Maka Umar mendorong kaum muslimin untuk pergi berjihad dan berperang dengan menjelaskan berbagai keutamaannya dan mengingatkan mereka pada berbagai hadits Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam tentang itu. Suatu hari dia bertanya pada orang-orang di sekitarnya, “Siapa yang paling besar pahalanya?” Mereka menjawab bahwa yang besar pahalanya adalah puasa dan shalat. Mereka juga menyebutkan nama beberapa orang setelah Amirul mukminin. Maka Umar berkata, “Apakah kalian ingin saya beritahu siapa yang lebih besar pahalanya dari orang-orang yang kalian sebutkan dan bahkan lebih besar dari Amirul mukminin?” Mereka mengiyakan. Umar pun melanjutkan, “yaitu orang-orang yang saat ini berada di Syam menunggangi kuda mereka, melindungi ibukota kaum muslimin, tak tahu apa yang akan menimpa mereka, apakah terkaman binatang buas, gigitan ular berbisa, atau sergapan musuh. Merekalah yang lebih besar pahalanya dibandingkan orang-orang yang kalian sebutkan, termasuk Amirul mukminin.”

Umar pun menegakkan beberapa panji dan mempersiapkan beberapa pasukan, sebagian diutus ke timur sebagian lain ke barat. Pada masa kekhalifahannya banyak terjadi penaklukan wilayah, panji tauhid berkibar di belahan timur dan barat. Terwujudlah apa yang pernah di beritakan oleh Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam ketika beliau bersabda, “Ketika saya sedang tidur, tiba-tiba sata bermimpi bahwa saya berda pada sebuah sumur yang ada timbanya. Kemudian saya menimbah air dari sumur itu sebanyak yang dikehendaki Allah. Lalu Ibnu Abu Musa Al-Asy’ari Quhafah (Abu Bakar) mengambil air itu dan menimbah air sekali atau dua kali dari sumur, tarikannya nampak lemah, semoga Allah mengampuninya. Tak lama kemudian timbah tersebut di pegang oleh Umar bin Khaththab maka aku tidak pernah melihat orang kuat yang mampu menimba air seperti Umar bin Khaththab, hingga orang-orang berkerumun di dekat sumur tersebut untuk memberi minum ternak mereka.”

Para raja Persia dan Romawi tunduk di bawah kekuasaan kekhalifahan Umar. Dia berhasil melakukan berbagai penaklukan, menetapkan pajak, membangun berbagai wilayah, mengatur urusan peradilan, membuat buku administrasi, dan menetapkan gaji pegawai.

Saat diangakat menjadi khalifah, Umar melanjutkan apa yang telah dimulai oleh  Abu Bakar As-Shiddiq. Pada masa kekhalifahannya kaum muslimin mengalami banyak pertempuran seperti perang Yarmuk, Qasiyah, Nawahand (yang disebut juga dengan fathul futuh), Jalula, dan lain sebagainya.

Banyak negeri yang berhasil ditaklukkan. Berbagai kota besar berhasil di kuasai. Posisi Islam pun semakin kuat dan penyebarannya meliputi berbagai penjuru dunia.

Di antara kota yang berhasil ditaklukkan pada masa kekhalifahan Umar di negeri Syam adalah Yarmuk, Busra, Damaskus, Yordan, Baisan, Tiberia, Jabiyah, Palestina, Ramalah, asqalan, Gaza, Sawahil, Quds, Ba’labak, Himsha, Quensrin, Aleppo, dan Antiokhia.

Termasuk Al-Jazirah, harran, ruha, Raqqah, Nashibin, Ra’su’ain, Sumaisath, ‘Ain wardah, Diyar Bakr, Diyar Rabi’ah, Negeri Maushil, dan seluruh wilayah Armenia.
Begitu juga Mesir, Iskandariyah, Tripoli Barat, dan Barqah.

Sementara di Irak, meliputi Qadisiyah, Hirah, Bahurasir, Sabath, Kota-kota Kisrah, Wilayah di tepian sungai Efrat dan Dajlah, Ablah, dan Bashrah.

Penaklukan Islam juga mencapai Ahwaz, Faris, Nahawand, Hamdzan, Ray, Qumis, Khurasan, Isthakhar, Ashbahan, Sus, Maru, Naisabur, Gorgan, Azerbaijan, dan lainnya.
Pasukan kaum muslimin menyebrangi sungai Jaihun di Khurasan beberapa kali. Umar mati syahid pada saat kudanya berada di Ray, dan mereka telah menaklukkan seluruh wilayahnya.

Bersambung Insya Allah . . .

Artikel www.SahabatNabi.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.