H. Kisah Syahidnya, Ucapan Duka Untuknya, Dan Harta Warisannya
6. Warisan dan wasiatnya
Al-Bukhari dan Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Hisyam bin urwah bin Zubair, dari ayahnya, dari Abdullah bin Zubair, “Ketika Zubair telah berdiri pada perang Jamal, ia memanggilku, dan aku pun berdiri di sampingnya. Dia berkata, “Hai anakku, tidak aka nada yang terbunuh hari ini kecuali sebagai seorang yang zhalim atau yang dizhalimi, dan sungguh aku melihat bahwa aku akan terbunuh hari ini secara zhalim. Namun begitu, kekhawatiran terbesarku adalah masalah hutang-hutangku. Apakah kau melihat bahwa hutang kita akan menyisakan sesuatu dari harta kita?” Lalu ia berkata, “Hai anakku, juallah apa yang kita punya, lalu lunasilah hutangku. Dan aku mewasiatkan sepertiganya, dan sepertiga darinya untuk anak-anaknya yaitu anak-anak Abdullah bin Zubair, ia berkata, “Sepertiga dari yang sepertiga, apabila ada yang tersisa dari harta kita setelah melunasi hutang, maka sepertiganya untuk anakmu.”
Hisyam berkata, “Saat itu beberapa anak dari Abdullah bin Zubair telah menyamai beberapa dari anak-anak Zubair, Khubaib dan Abbad, dan saat itu dia memiliki Sembilan putra dan Sembilan putri.” Abdullah berkata, “Ia pun berwasiat kepadaku untuk melunasi hutang-hutangnya, dan ia berkata, “Wahai anakku, kalau engkau merasa tidak mampu untuk itu, maka minta tolonglah kepada perlindunganku.” Dia berkata, “Demi Allah aku tidak memahami apa yang dia katakana, sehingga aku bertanya, “Wahai ayah, siapakah pelindungmu?” dia menjawab, “Allah.” Abdullah melanjutkan, “Maka sungguh demi Allah, tidak pernah aku menemui kesulitan dalam melunasi hutangnya, kecuali aku segera berkata, “Wahai pelindung Zubair, lunasilah untuknya hutangnya, dan dia segera melunasinya. Ketika Zubair terbunuh, dia tidak meninggalkan dinar atau dirham, kecuali beberapa properti. Diantaranya tanah di Al-Ghabah, sebelas rumah di Madinah, dua rumah di Bashrah, satu rumah di Kufah, dan satu rumah di Mesir.” Abdullah berkata, “Adapun hutang yang ia punya adalah karena setiap orang yang datang untuk menitipkan hartanya, maka Zubair akan menjawab, “Tidak, tapi ini akan aku anggap sebagai hutang, sungguh aku takut kalau aku menghilangkannya.” Zubair tidak pernah memimpin satu wilayahpun, juga tidak pernah mengambil pajak tanah, atau apapun. Karena ia selalu berada dalam peperangan bersama Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam, atau bersama Abu Bakar, Umar, dan Utsman Radhiyallahu Anhum.” Abdullah bin Zubair berkata, “Aku kemudian menghitung hutang yang ia punya, dan jumlah adalah dua juta dua ratus ribu. Suatu ketika Hakim bin Hizam (Hakim bin Hizam bin Khuwailid Radhyallahu Anhu adalah kerabat Zubair kedudukannya dari suku Asad yang berasal dari Quraisy) bertemu dengan Abdullah bin Zubair dan berkata, “Wahai putra saudaraku, berapakah hutang dari saudaraku? Abdullah menyembunyikannya dan berkata, “Seratus ribu.” Maka Hakim berkata, “Demi Allah, sungguh aku merasa bahwa harta kalian tak akan cukup untuk itu.” Abdullah lalu berkata, “Bagaimana pendapatmu jika jumlahnya dua juta dua ratus ribu?” Ia menjawab, “Aku rasa kalian takkan mampu, kalau kalian merasa tidak mampu dalam hal ini, minta tolonglah padaku.” Hisyam berkata, “Dulu Zubair membeli Al-Ghabah dengan harga seratus tujuh puluh ribu, dan Abdullah berhasil menjualnya seharga satu juta enak ratus ribu.
Kemudian ia bangkit dan berkata, “Siapa saja yang mempunyai hak piutang atas Zubair, maka hendaklah ia menemui kami di Al-Ghabah.” Lalu Abdullah bin Ja’fa menemuinya, dan ia mempunyai pitungan pada Zubair sebesar empat ratus ribu. Maka dia berkata kepada Abdullah, “Kalau kalian mau, aku akan meninggalkannya untuk kalian.” Abdullah menjawab, “Tidak.” Maka ia berkata kepada Abdullah, “Kalau kalian mau, kalian boleh menundanya kalau ada yang kalian tunda.” Abdullah menjawab, “Tidak” Ia berkata, Kalau begitu berikan saja sepotong tanah untukku.” Maka Abdullah menjawab, “Engkau boleh mengambil dari sini sampai di sana.” Lalu tinggallah empat setengah bidang tanah lagi yang tersisa. Kemudian ia mendatangi Mu’awiyah yang saat itu sedang bersama dengan Amru bin Utsman, Al-Mundzir bin Zubair, dan Ibnu Zam’ah. Muawiyah bertanya kepadanya, “Berapakah tanah di Al-Ghabah ini dihargai?” ia menjawab, “Setiap bidang seharga seratus ribu.” Dia bertanya “Berapa yang tersisa?” Ia menjawab, “Empat setengah bidang.” Al-Mundzir bin Zubair berkata, “Aku beli satu bidang dengan harga seratus ribu.” Kemudian Mu’awiyah berkata, “Berapa yang tersisa?” Ia menjawab, “Satu bidang setengah.” Muawiyah berkata, “Aku beli dengan harga seratus lima puluh ribu.” Ia berkata, “Lalu Abdullah bin Ja’far menjual jatahnya dari Muawiyah seharga enam ratus ribu. Ketika Abdullah bin Ja’far menjual jatahnya dari Mua’wiyah seharga enam ratus ribu.
Ketika Abdullah bin Zubair telah selesai melunasi hutangnya, anak-anak Zubair yang lain berkata, “Bagikanlah kepada kami harta warisan kami.” Ia menjawab, “Tidak, demi Allah aku tidak akan membagikannya untuk kalian sampai aku mengumumkan pada musim haji selama empat musim berturut-turut : “Ketahuilah, siapapun yang mempunyai piutang pada Zubair, hendaklah ia menemui kami, agar kami bisa melunasi nya.” Ia berkata, “Hisyam berkata, “Dan begitulah setiap tahun, pada saat musim haji ia mengumumkan hal tersebut. Dan ketika empat tahun telah berlalu, ia pun membagikan warisan itu kepada mereka.” Zubair meninggalkan empat istri, lalu harta warisan itu dikurangi sepertiga, dan setiap istri mendapatkan satu juta dua ratus ribu. Sementara keseluruhan hartanya berjumlah lima puluh juta dua ratus ribu.”
Ibnu Hajar memberikan catatan pada ucapannya, “Sementara keseluruhan hartanya berjumlah lima puluh juta dua ratus ribu.” Ibnu Hajar berkata, “Ini masih bisa diperdebatkan. Karena, kalau setiap istrinya mendapatkan satu juta dua ratus ribu, maka bagian untuk keempat istri adalah sebesar empat juta delapan ratus ribu. Dan ini adalah seperdelapan. Maka kalau dikalikan delapan, hasilnya adalah tiga puluh delapan juta empat ratus ribu. Jumlah ini adalah dua pertiga dari keseluruhan harta. Kalau ini digabung dengan sepertiga yang telah diwasiatkan, dan sepertiga berarti setengah dari dua pertiga, yaitu Sembilan belas juta dua ratus ribu. Maka dengan begitu, maka jumlah keseluruhan hartanya adalah limat puluh tujuh juta enam ratus ribu.”
Ini dijelaskan lagi oleh Ibnu Katsir, yang berkata, “Jumlah keseluruhan hartay ang dibagikan kepada seluruh ahli waris adalah tiga puluh delapan juta empat ratus ribu. Sedangkan sepertiga yang telah diwasiatkan adalah berjumlah Sembilan belas juta dua ratus ribu. Maka jumlah keseluruhan adalah lima puluh tujuh juta enam ratus ribu. Adapun hutang yang dikeluarkan sebelum itu adalah sebanyak dua juta dua ratus ribu. Dengan demikian, maka keseluruhan harta peninggalannya, baik yang berupa hutang, wasiat, ataupun warisan, adalah lima puluh Sembilan juta delapan ratus ribu. Adapun kami sengaja mengingatkan akan hal ini dikarenakan di Shahih Bukhari terdapat hal yang masih bisa diperdebatkan, yang harus diingatkan.”
Ibnu Hajar berpendapat bahwa perbedaan yang timbul dalam peperangan harta peninggalan Zubair adalah dikarenakan ketidak pedulian terhadap rincian hitungan. Karena yang ditekankan adalah banyaknya harta yang tumbuh dengan penuh berkah pada harta peninggalan Zubair. Karena saat itu ia meninggalkan hutang yang banyak, dan tidak meninggalkan apapun kecuali properti-properti yang telah disebutkan di atas. Namun demikian, peninggalannya tersebut dipenuhi oleh berkah sehingga bisa menghasilkan uang yang begitu banyak! Dan telah menjadi kebiasaan orang Arab yang terkadang menghilangkan pecahan-pecahan kecil pada hitungan, dan terkadang tetap mengalikannya.
Dalam kisah di atas, terdapat banyak pelajaran penting, dan hikmah yang dapat dipetik, yang telah ditorehkan oleh setiap pribadi yang berperan di dalamnya.
Dari sikap yang ditunjukkan oleh Zubair, terlihat jelas pentingnya perkara hutang. Karena sosok seperti Zubair dengan segala kiprah dan kontribusinya, tetap menunjukkan rasa khawatirnya akan tuntutan dari orang-orang yang mempunyai hak atasnya setelah kematiannya kelak. Sebagaimana terlihat dari sikapnya sebuah keyakinan yang tinggi kepada Allah saat ia berkata kepada putranya, “Wahai anakku, kalau engkau merasa tidak mampu untuk itu, maka minta tolonglah kepada pelindungku.”
Dalam kisah di atas juga terlihat bakti seorang anak kepada ayah nya dalam bentuk tertinggi. Ini terlihat dari kesungguhan Abdullah bin Zubair dalam menjaga reputasi ayahnya, dan tetap mempertahankan kemurahan hati ayahnya bahkan setelah wafatnya. Maka ia menolak bantuan siapapun selain Allah dalam melunasi hutang-hutang ayahnya. Sebagaimana ia juga tidak menerima ketika Abdullah bin Ja’far berkeinginan untuk merelakan hutang Zubair kepadanya yang berjumlah cukup besar. Ketika Abdullah bin Zubair menolak, ia minta agar pembayarannya ditunda. Ini pun tetap ditolak hingga akhirnya dia memilih untuk mengambil sepetak tanah sebagai gantinya. Dan ketika dijual ia pun mendapatkan untung sebesar dua ratus ribu.
Kemudian sikap yang ditunjukkan oleh Hakim bin Hizam saat mendatangi Abdullah bin Zubair untuk menanyakan jumlah hutang ayahnya. Dan ia merasa kasihan karena banyaknya jumlah hutang tersebut, dan menawarkan bantuan untuk ikut melunasinya. Namun Abdullah bin Zubair menolaknya. Dan Hakim kembali menawarkan bantuan tersebut lebih daru satu kali, dan Abdullah bin Zubair tetap enggan menerimanya.
Semua itu adalah sebuah gambaran indah tentang sikap saling membantu dalam masyarakat muslim. Juga menunjukkan sikap peduli kepada saudara-saudara serta anak-anak mereka setelah kematian mereka. Semoga Allah meridhai mereka semua.
Duhai saudara, perhatikanlah bagaimana keadaan masyarakat yang dibangun oleh Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam tersebut, yang tetap berada pada jalan dan sunnah beliau. Kemudian berhentilah sedikit lama di depan harta yang begitu banyak, yang jumlahnya mencapai lima puluh Sembilan juta. Lalu ingatlah bahwa pemiliknya hanyalah seseorang yang tumbuh dalam keadaan yatim dalam pelukan ibunya. Kemudian beranjak dewasa dalam dekapan Islam, menjadi kuat dengan jihad, dan berusaha dengan perniagaannya. Dan dunia pun datang menghampirinya dengan terpaksa. Saat wafat, ia meninggalkan harta yang begitu banyak, lengkap dengan infak yang tidak sedikit dan bahkan amat banyak, lengkap dengan infak yang tidak sedikit dan bahkan amat banyak. Begitulah, dalam biografi orang-orang besar selalu terdapat pelajaran bagi mereka yang ingin mengambil pelajaran atau mereka yang ingin bersyukur.
Bersambung Insya Allah . . .
Artikel http://www.SahabatNabi.com