H. Kisah Syahidnya, Ucapan Duka Untuknya, Dan Harta Warisannya
1. Kisah syahidnya
Kisah tentang syahidnya Zubair diceritakan oleh Ibnu Sa’ad, Al-Fasawi, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Asakir, dan banyak lainnya, dan dengan bermacam versi yang berbeda pula. Seperti yang diriwayatkan oleh Hushain bin Abdurrahman, dari Amru bin Jawan, “Dari Al-Ahnaf bin Qais berkata, “Ketika Zubair tiba di Safawan, sebuah tempat di luar Bashrah, seperti jarak antara Qadisiyah dan Kufa, ia bertemu dengan An-Na’ir, seorang laki-laki dari Bani Musyaji’, ia berkata, “Hendak kemana wahai pembela Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam, engkau berada dalam lindunganku, takkan ada yang bisa sampai kepadamu.” Maka Zubair pun pergi bersamanya. Kemudian seseorang datang menemui Al-Ahnaf dan berkata, “Zubair telah berada di Safawan.” Maka Al-Ahnaf berkata, “Masya Allah atas apa yang terjadi, di telah mengumpulkan kaum muslimin sehingga mereka saling memukul saudaranya dengan pedang, kemudian ia kabur untuk menemui anak-anak dan keluarganya! Hal ini didengar oleh Amru bin Jurmuz dan Fadhalah bin Habis dan Nufai’, beberapa pemberontak dari Bani Tanim. Merekapun berangkat mencarinya, dan menemukannya bersama dengan An-Na’ir. Maka Amru bin Jurmuz mendatanginya dari belakang dengan menaiki kudanya yang telah letih, lalu ia menikamnya dengan tidak terlalu keras. Maka Zubair pun balik menyerang dengan tetap mengendarai kudanya yang bernama Dzul Khimar, hingga ketika Ibnu Jurmuz merasa bahwa Zubair akan membunuhnya, ia memanggil dua temannya, “Hai Nufai’, wahai Fadhalah”, mereka pun menyerangnya bersamaan hingga berhasil membunuhnya.”
Semoga Allah mengampuni Al-Ahnaf atas apa yang telah dikatakan nya! Sesungguhnya Zubair Radhiyallahu Anhu telah nyata baginya beberapa hal yang membuatnya berhenti berperang dan menarik diri dari medan tempur. Seharunys Al-Ahnaf lebih baik menyimpan pendapatnya dalam hati khususnya dalam situasi kritis yang penuh fitnah seperti itu, dan dipenuhi oleh orang-orang bodoh yang hanya mengandalkan emosi semata. Besar kemungkinan bahwa Al-Ahnaf sama sekali tidak bermaksud untuk menganjurkan membunuh Zubair. Namun ia telah melontarkan satu pernyataan tanpa dipikirkan sebelumnya, apalagi dilihat dari kebijaksanaannya, juga kecerdasan yang dimilikinya, sehingga pernyataan tersebut ditangkap oleh beberapa orang anak muda, dengan mimpi-mimpi bodoh mereka, dan kemudian segera berangkat untuk melaksanakan pekerjaan mereka yang penuh dosa tersebut.
Di sini terdapat sebuah pelajaran penting bagi setiap orang yang berakal agar berhati-hati dalam berbicara dan menjaga lisannya. Khususnya ketika dalam kondisi yang penuh dengan fitnah, dan timbulnya kerancuan serta situasi sulit yang tidak bisa dipahami dengan mudah. Ini yang dimaksudkan oleh seorang shahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud ketika dia mengatakan, “Tidaklah engkau berbicara dengan suatu kaum, sebuah pembicaraan yang tidak dapat menjangkau akal mereka, kecuali menjadi fitnah bagi sebagian dari mereka.” Ini sangat tetap menggambarkan kejadian tadi. Para pembunuh Zubair tersebut menyangka bahwa perbuatan dosa mereka adalah sebuah kebaikan, dan yang menyebabkan mereka berfikir demikian adalah ucapan Al-Ahnaf yang tidak dapat mengjangkau akal mereka.
Zubair bin Bakkar berkata, pamanku Mush’ab bin Abdullah telah bercerita kepadaku dan berkata, “Yang terlibat dalam pembunuhan Zubair, Amru bin Jurmuz At-Taimi dari Mujasyi’, An-Na’ir dan Fadhalah bin Habis keduanya dari Bani Tamim, kemudian dua orang dari Bani Sa’ad. Adapun yang bertugas membunuhnya adalah Amru bin Jurmuz, dan dibantu oleh Fadhalah bin Habis dan An-Na’ir.”
Terbunuhnya Zubair dengan cara ini adalah sebuah bentuk kezhaliman, dan Zubair Radhiyallahu Anhu sendiri telah mengetahui bahwa ia akan terbunuh secara zhalim, dalam hadits panjang yang diriwayatkan Al-Bukhari tentang hartas warisan Zubair, dari Abdullah bin Zubair, “Ketika Zubair telah berdiri pada perang Jamal, ia memanggilku, dan yang terbunuh hari ini kecuali sebagai seorang yang zhalim atau yang dizhalimi, dan sungguh aku melihat bahwa aku akan terbunuh hari ini secara zhalim.”
Ibnu Hajar berkata, “Perkiraannya bahwa ia akan terbunuh secara zhalim, telah benar-benar terjadi, karena ia terbunuh secara licik.”
Al-Hakim meriwayatkan dari Urwah bin Zubair, ia berkata, “Pada saat perang Jamal, Zubair memanggil putranya Abdullah dan berwasiat kepadanya, dan berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya hari ini adalah hari di mana seseorang akan terbunuh secara zhalim atau dalam keadaan menzhalimi, demi Allah, kalau aku terbunuh, maka aku akan terbunuh sebagai orang yang terzhalimi, demi Allah aku tidak pernah melakukan dan tidak akan pernah melakukanya.” Maksudnya melakukan perbuatan maksiat.
Zubair Radhiyallahu Anhu ketika meninggalkan medan perang, ia segera menuju Madinah, kemudian ia diikuti oleh Amru bin Jurmuz dan beberapa yang bersamanya sampai di Wadi As-Siba’, dan mereka membunuhnya di sana, dan kuburannya pun di sana. Adapun Wadi As-Siba’ saat ini dikenal dengan kampong Zubair, sangat dekat dengan Bashrah.
Bersambung Insya Allah . . .
Artikel http://www.SahabatNabi.com