Categories
Zubair bin Awwam

Biografi Sahabat Nabi, Zubair bin Awwam : Bersama Khulafaur Rasyidin Dan Mengalami Masa Terjadinya Fitnah (Seri 14)

G. Bersama Khulafaur Rasyidin Dan Mengalami Masa Terjadinya Fitnah

4. Bersama Ali Dan Mengalami Terjadinya Fitnah

Ali dan Zubair Radhiyallahu Anhuma memiliki kedekatan dalam nasab, dan juga sangat dekat dengan Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam. Kehadiran Islam semakin mengeratkan kedekatan keluarga serta kecintaan antara keduanya. Ali adalah putra dari paman Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam, dididik di rumah kenabian dan tumbuh di pangkuannya. Sementara Zubair adalah putra dari bibi Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam, sekaligus juga putra dari bibinya Ali, dia adalah pembela nabi, da termasuk mereka yang paling dicintai beliau. Takdir pun telah menyatukan Ali dan Zubair sejak hari pertama kemunculan dakwah. Dan perjalan waktu pun semakin mengeratkan ikatan hubungan mereka, meningkatkan rasa persaudaraan, dan menambah rasa cinta yang semakin mendalam. Mereka bagaikan dua kuda pacu yang melaju kencang membela Islam dan menunaikan perintah-perintah Nabi Shallallahualaihi wa Sallam. Dan begitulah keadaan mereka sampai masa khalifah yang ketiga Utsman bin Affan. Bahkan ketika Zubair dipilih untuk menjadi salah satu dari enam ahli syura., dan Abdurrahman bin Auf berkata, “Serahkanlah urusan ini kepada tiga orang diantara kalian,” Zubair berkata, “Aku telah menyerahkan suaraku kepada Ali.” 

Keadaan seperti ini begitu mengagumkan, sehingga sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata, dan pena pun tak mampu melukiskan ketinggian dan rasa cinta yang begitu mendalam dan berakar, serta sikap mendahulukan orang lain seperti yang diperlihatkan oleh Zubair. Ia melepaskan haknya untuk menjadi khalifah dan menyerahkannya kepada Ali! Hal ini tidak akan dilakukan kecuali oleh seorang laki-laki yang amat menyadari besarnya beban yang akan dipikul dengan mengambil tanggung jawab pemerintahan. Dan pada saat yang sama dia pun menyadari kemampuan Ali dalam mengemban tugas yang mulia itu. Dan begitulah Zubair memandang kedudukan Ali dalam dirinya.

Zubair tetap berada dalam kondisi ini, dan tidak berubah sampai akhir masa pemerintahan Utsman dan ia gugur dalam sebagai syahid. Lalu kaum Muhajirin dan Anshar mendatangi Ali dan membai’atnya, dan Zubair berada dalam barisan terdepan saat itu. Ia sedikitpun tidak mengundur-undur waktu, atau berambisi untuk merebut kekuasaan. Ia tidak pernah menentang Ali dalam urusan pribadinya, dan ini satu hal yang sangat mustahil baginya. Namun ia berbeda pendapat dengan Ali dalam masalah ijtihad. Bahkan para sahahabat pun masih banyak yang berbeda pendapat saat itu. Zubair dan sebagian besar shahabat saat itu berpendapat tentang pentingnya untuk segera membunuh para pembunuh Utsman.

Adapun Zubair dan Thalhah bagaikan dua sekawan dalam banyak ide dan pendapat, bahkan mereka berdua menemui syahid dalam peristiwa yang sama. Thalhah dalam kancah peperangan, sementara Zubair syahid di Wadi Siba’.

Dalam diri Zubair tidak pernah menganggap Ali kurang dari anggapan Ali sendiri kepada Zubair. Ali tetap merasakan jauh di lubuk hatinya, dan dalam relung jiwanya, perasaan hormat dan penghargaan yang tinggi, serta pengakuan akan peran-peran Zubair. Juga pujian akan apa yang telah dilakukan Zubair dalam membela agama dan Nabinya Shallallahualaihi wa Sallam. Sehingga ketika sampai kepadanya berita kematian Zubair, ia merasakan kedukaan yang luar biasa dalam hidupnya, dan ia memberikan pujian yang tinggi untuk Zubair, serta menyatakan bahwa pembunuhnya adalah seorang penghuni neraka.

Begitu Utsman terbunuh, orang-orang segera mendatangi Ali, baik dari golongan shahabat maupun yang lainnya, dan mereka berkata, “Amirul Mukminin Ali!” Hingga mereka masuk kerumahnya, dan berkata, “Kami membaiatmu, maka ulurkanlah tanganmu, engkaulah yang paling berhak atas urusan ini! Maka Ali berkata, “Urusan ini bukan di tangan kalian, itu adalah urusan para ahli Badar, siapa yang mereka ridhai, dialah yang akan menjadi khalifah.” Namun tidak seorangpun yang tersisa, semuanya mendatangi Ali dan berkata, “Kami tidak akan melihat siapapun yang lebih berhal darimu, ulurkanlah tanganmu untuk kami baiat.” Maka Ali berkata, “Mana Thalhah dan Zubair?” saat itu yang pertama yang membaiatnya adalah Thalhah, diikuti kemudian oleh Zubair. Ketika Ali melihat hal tersebut, ia segera menuju masjid dan naik mimbar. Dan saat itu yang pertama kali naik ke atas mimbar dan membaiatnya adalah Thalhah, diikuti kemudian oleh Zubair, dan shahabat-shahabat Nabi Shallallahualaihi wa Sallam, semoga beliau meridhai mereka semua.

Kemudian Thalhah dan Zubair meminta izin kepada Ali untuk melaksanakan umrah, dan Ali mengizinkan mereka. Merekapun berangkat menuju Mekah. Di sana sekumpulan shahabat berencana menuju Bashrah untuk meminta bantuan penduduknya guna membentuk sebuah pasukan yang kuat untuk menuntut dara Utsman dan melaksanakan qishash atas pembunuhnya. Ummul Mukminin Aisyah pun ikut bersama mereka. Dan keadaan para shahabat saat itu seolah mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh Aisyah, “Demi Allah, sungguh dosa Utsman tidak sampai menjadikannya pantas untuk dibunuh, sekarang ia telah terbunuh dengan zhalim, dan sikap yang tepat adalah mencari siapa pembunuh Utsman lalu membunuh mereka karena perbuatannya.”

Merekapun bergerak menuju Bashrah, dan berhasil menguasainya. Ali kemudian menyusul mereka dengan pasukannya. Dan kedua pasuka kemudian bertemu dalam Perang Jamal, yang merupakan peristiwa yang sangat menyedihkan dan berakhir dengan kekalahan Pasukan Unta, dan syahidnya Thalhah dan Zubair.

Sebelum terjadinya perang Jamal, dan pada saat berkecamuknya perang, terdapat beberapa peristiwa yang berkaitan dengan Zubair, yang perlu kita perhatikan dan diambil pelajaran darinya, sekaligus untuk mengetahui riwayat-riwayat lemah yang penuh dusta, dan sengaja dibuat tentang peristiwa tersebut.

Abu Dawud Ath-Thayalisi, dan Ahmad, serta Nasa’I meriwayatkan dengan sanad yang shahih, dari Al-Hasan Al-Bashri, dari Zubair bin Awwam, dia berkata, “Ketika turun ayat, “Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu (QS. Al-Anfal [8]: 25)”. Saat itu kami adalah satu kesatuan, maka aku heran dengan ayat ini, fitnah apa yang akan menimpa kami? Bagaimanakah bentuk dari fitnah yang dimaksud? Hingga kemudian aku menyaksikannya.”

Dan dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ahmad dan yang lainnya, dari Mathaarif bin Abdullah bin Asy-Syikhkhir, ia berkata, “Kami berkata kepada Zubair, “Hai Abdullah, apa yang membawa kalian kesini? Kalian biarkan khalifah hingga terbunuh, kemudian kalian datang untuk menuntut darahnya.” Zubair berkata, “Sesungguhnya kami telah membaca ayat ini pada masa Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam, dan masa Abu Bakar, Umar, dan juga pada masa Utsman, “Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu (QS. Al-Anfal [8]: 25)”. Kami tidak pernah menyangka bahwa kami akan masuk di dalamnya, hingga terjadilah apa yang terjadi.”

Ketika dua pasukan kaum muslimin tersebut telah bertemu di Bashrah, dan sebelum pertempuran pecah, Al-Qa’qa’ bin Amru berusaha untuk mendamaikan kedua pasukan, dan kesepatakan pun tercapai. Kaum muslimin pun bisa istirahat malam itu dengan tenang dan penuh keselamatan menunggu pagi untuk menanda tangani kesepakatan damai tersebut. Namun, para musuh Islam, yang terdiri dari mereka yang membangkang, menyemburkan api perang dalam gelap dengan licik dan niat yang jahat dan jiwa yang kotor. Sementara para shahabat dan pecinta kedamaian dari golongan tabi’in tidak ada yang menginginkan perang ataupun menghendaki pertumpahan darah tanpa alasan yang benar.

Abdurrazaaq dan Ahmad meriwayatkan, dengan isnad yang shahih, dari Al-Hasan Al-Bashri, “Seseorang laki-laki mendatangi Zubair dan berkata, “Apakah aku boleh membunuh Ali untukmu?” Zubair menjawab, “Tidak, dan bagaimana engkau akan membunuhnya sementara ia dikelilingi oleh tentaranya?!” Ia menjawab, “Aku mendatanginya dan kemudian membunuhnya secara diam-diam.” Ia menjawab, “Tidak sesungguhnya Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam berkata, “Sesungguhnya keimanan mengikat pembunuhan, seorang mukmin tidak membunuh.”

Al-Mundziri menjelaskan, “Maksudnya adalah, mendatangi seseorang yang sedang dalam kondisi lalai dan tidak siap, kemudian menyergap dan membunuhnya. Adapaun ucapannya, “Sesungguhnya keimanan mengikat pembunuhan” maksudnya adalah bahwa keimanan menghalangi seseorang untuk membunuh, sebagaimana ikatana menghalangi seseorang untuk bertindak.”

Inilah akhlak para shahabat, Zubair mencela laki-laki ini dan mencegah keinginannya yang sesat. Sebab, bagaimana mungkin ia membunuh seorang mukmin padahal seharusnya keimanan mencegah seseorang  dari membunuh, apalagi yang akan dibunuh adalah khalifah Ali yang merupakan manusia terbaik saat itu?

Adz-Dzahabi menyebutkan dalam Siyar A’lamin Nubala’  dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas bahwasanya ia berkata kepada Zubair pada saat perang Jamal, “Hai putra Shafiyyah, ini Aisyah bertujuan untuk memberikan kekuasaan kepada Thalhah, adapun engkau, apa yang membuatmu memerangi keluargamu Ali?”

Keterangan ini, walaupun diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya, namun isi dari riwayatnya adalah mungkar, dan tertolak tanpa keraguan sedikitpun.

Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar telah menyebutkan dalam Fathul Bari, “Bahwasanya tidak seorangpun meriwayatkan bahwa Aisyah dan orang-orang yang bersamanya menentang Ali dalam urusan kekhalifahan, dan tidak seorangpun di antara mereka yang meminta seseorang untuk menggantikannya sebagai khalifah.

Ini dikuatkan oleh bai’at yang dilakukan oleh para shahabat, termasuk di antaranya Thalhah dan Zubair untuk Ali sebagai khalifah dan pengakuannya sebagai Amirul Mukminin.

Adapun keluarnya pasukan unta adalah dengan maksud berdamai. Dan perkataan para shahabat tentang Ali, dan ucapan Zubair kepada laki-laki yang ingin membunuh Ali, dan ucapan Zubair kepada laki-laki yang ingin membunuh Ali dan larangannya kepada laki-laki tersebut, juga kesepakatan kedua pasukan dengan Al-Qa’qa untuk berdamai, lalu peristiwa yang terjadi, dan pujian yang diberikan Ali kepada Thalhah dan  Zubair, serta penghormatan yang diberikannya untuk Ummul Mukminin Aisyah, dan banyak lainnya, semua itu menjadi bukti yang menolak kebenaran berita di atas dan melemahkannya.

Kemudian kami mengatakan, apakah mungkin bagi seseorang seperti Ummul Mukminin Aisyah, dengan seluruh kedudukannya dalam Islam dan wibawanya dalam diri orang-orang yang beriman, apakah mungkin baginya mempertaruhkan keberlangsungan Islam dan eksistensi kaum muslimin, lalu keluar bersama pasukan yang terdiri dari banyak shahabat dan duar dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga, hanya untuk mengguat kepemimpinan Ali, dan merebut itu untuk Thalhah hanya karena dia berasal dari bani Taim dan Aisyah juga dari bani Taim?! Apakah pendapat ini masuk akal dan dapat diterima?!

Sebagaimana itu juga tertolak oleh seluruh peristiwa yang terjadi dari awal sampai akhir. Terutama Hadits Al-Hau’ab  yang merupakan hadits shahih, ketika Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Aku rasa aku harus kembali.” Kemudian mereka mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya anda keluar hanya untuk berdamai, dan semoga Allah memberikan kedamaian bagi umat ini berkata anda.”

Lalu pada saat-saat terakhir dari perang Jamal, dan para pembelot yang sesat mulai mengarahkan bidikan mereka kepada tunggangan ummul mukminin Aisyah, Ali memerintahkan seseorang untuk menyembelih untanya, demi melindungi nyawanya yang mulia, Radhiyallahu Anha.

Setelah pertempuran usai, Amirul Mukminin Ali mendatangi Aisyah, menyampaikan salam kepadanya, dan Aisyah pun menyambut kedatangannya dan kemudian membaiatnya. Kemudian Ali menyiapkan kepulangannya dengan didampingi oleh empat puluh orang pendamping wanita, dan kembali menuju Madinah Al-Munawwarah dengan ditemani saudaranya, Muhammad.

Ketika rombongan akan berangkat, Aisyah keluar menemui orang-orang dan berkata, “Wahai anak-anakku, sungguh kami pernah saling mencela baik sedikit ataupun banyal, maka janganlah ada di antara kalaian yang menyerang yang lain karena masalah ini. Sesungguhnya tidak ada yang terjadi antaraku dan Ali pada masa lalu, kecuali seperti yang biasa terjadi antara seorang wanita dengan ipar-iparnya. Sungguh bagiku terlepas dari celananya dulu, dia adalah di antara yang terbaik.”

Lalu Ali berkata, “Wahai manusia, sungguh ia telah jujur dan berbuat baik, tidak ada yang terjadi antaraku dengannya kecuali seperti yang disampaikannya. Sesungguhnya ia adalah istri dari Nabi kalian Shallallahualaihi wa Sallam, di dunia dan diakhirat.

Setelah semua ini, bagaimana mungkin kita mengatakan bahwa Aisyah ingin memberikan kekuasaan kepada Thalhah!

Bahkan Thalhah sendiri telah menyerahkan haknya untuk menjadi khalifah kepada Utsman, pada saat angina masih bertiup dengan tenang, dan urusan kaum muslimin masih mudah. Apakah setelah terbunuhnya Utsman, dan urusan kekhalifahan dipenuhi oleh goresan luka, tiba-tiba Thalhah menginginkannya dan memerangi kaum muslimin untuk mendapatkannya? Ini adalah sebuah omong kosong !!

Lalu ucapannya dalam riwayat tersebut, “Adapun engkau, apa yang membuatmu memerangi keluargamu Ali?” adalah sangat aneh.

Zubair dan para shahabat tidak keluar dengan niat memerangi Ali sedikitpun. Perkaranya juga bukan masalah jauh dekatnya hubungan  nasab. Karena mereka hanya bermaksud untuk berdamai, dan tidak terpikir sedikitpun di kepala mereka bahwa yang akan mereka hadapi adalah putra paman mereka atau keturunan Quraisy manapun.

Sementara Ali sendiri tidak pernah menuduh saudara-saudaranya dengan tuduhan tersebut. Bahkan ia begitu senang dan bahagia ketika Al-Qa’qa’ datang memberitahukan bahwa mereka menerima perdamaian. Namun ketika terjadi apa yang kemudian terjadi, ia sangat terguncang oleh kematian Thalhah dan Zubair, ia menangisi mereka sementara hatinya hancur oleh kesedihan atas mereka. Ali kemudian memberikan pujian yang baik untuk mereka. Dan tidak benar riwayat yang mengatakan bahwa ia mencela mereka dengan kata-kata, baik dari dekat ataupun dari jauh.

Ibnu Asakir menyebutkan satu riwayat lain yang juga dinukil oleh Adz-Dzahabi, dari Al-Hasan Al-Bashri, “Ketika Ali memenangkan perang Jamal, kemudian ia memasuki rumah bersama orang-orang, dan ia berkata, “Sungguh aku mengetahui tentang seorang pemimpin fitnah yang masuk surga, sementara pengikutnya di neraka!” Maka Al-Ahnaf berkata, “Siapakah dia hai Amirul Muminin?” Dia menjawab, “Zubair.”

Ini adalah sebuah riwayat yang mempunyai cela. Adz-Dzahabi sendiri mengkritiknya dan berkata, “Di dalam sanadnya terdapat sesuatu yang mengindikasikan bahwa riwayat ini mursal, dan dalam lafazhnya terdapat keanehan, kita berlindung kepada Allah untuk menyaksikan para pengikut Zubair ataupun tentara Muawiyah berada di neraka. Namun kita menyerahkan urusan mereka kepada Allah, dan memohonkan ampun bagi mereka.”

Dan lafazh dari riwayat ini pun tidak benar, bukan berasal dari Ali Ridhwanullahi Alaihi. Riwayat ini sengaja saya sebutkan disini untuk menjelaskan kelemahannya, dan melindungi orang-orang awam agar tidak terjerumus dalam jebakannya, dan agar tidak termakan oleh berita-berita bohong. Selain itu, sikap Amirul Mukminin Ali, dan perkataannya sebelum peperangan, atau saat perang berlangsung, maupun setelah semua berakhir, semua itu membantah riwayat di atas dan mementahkannya.

Sebelum peperangan ia berdiri di hadapan tentaranya dan menyampaikan khutbah, ia berkata, “Aku telah memanggil kalian, untuk sama-sama menemui saudara-saudara kita dari penduduk Basharah. Kalau mereka mau kembali bersama kita, maka itulah yang kita harapkan. Namun kalau mereka tetap bertahan, kita akan memperlakukan mereka dengan lembut, dan kita akan terus menghadapi mereka sampai mereka yang memulai menzhalimi kita. Kita tidak akan melepaskan satu hal pun yang mengandung kebaikan, melainkan pasti kita dahulukan daripada hal lain yang mengandung kerusakan. Insya Allah, wa la quwwata illa billah.”

Ali juga menolak untuk membagikan harta dari pasukan unta, dan mencela mereka yang menginginkan itu. Ali bahkan berkata, “Siapa di antara kalian yang menginginkan Ummul Mukminin menjadi bagian nya dari harta rampasan perang?” dan ia berkata, “Sesungguhnya mereka adalah seperti kalian, maka siapa yang memaafkan kita, dia menjadi bagian dari kita, dan kita adalah bagian darinya.”

Suatu ketika ia ditanya tentang pasukan jamal (unta), dia menjawab, “Mereka adalah saudara-saudara kami yang berbuat zhalim kepada kami, maka kami perangi mereka, namun mereka telah kembali, dan kami telah menerima mereka.”

Ditambah lagi dengan berbagai ucapannya tentang Thalhah, Zubair, dan Aisyah, serta sikapnya terhadap mereka semua, semoga Allah meridhai mereka semua.

Dengan memperhatikan rentetan peristiwa sejak keluarnya pasukan unta dari Mekah, terus menuju Basharah dan keberhasilan mereka menaklukannya, dan pertempuran yang terjadi dalam proses tersebut, kemudian pertemuan mereka dengan pasukan Ali dan kesepakatan mereka untuk berdamai, kemudian makar para pemberontak yang merusak kesepakatan tersebut dengan menjebak kedua pasukan dan menyalakan api peperangan dan akhirnya terjadi pertempuran, saat itu Zubair telah memperhatikan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Ia mempelajari penyebab peperangan dan hasil yang telah didapat. Ia juga telah berusaha untuk mengumpulkan potongan-potongan kejadian yang tercerai berai. Setelah ini semua, jelaslah baginya bahwa demi kebaikan agamanya, juga demi akhiratnya, maka lebih baik baginya untuk mengurangi kobaran api peperangan, dan untuk segera menghentikannya, dengan menarik diri dari medan tempur. Ia pun memutuskan demikian, dan segera meninggalkan tempat peperangan tanpa peduli ucapan bahwa ia meninggalkan peperangan karena sikap pengecut, atau alasan bahwa ia berperang dengan tujuan berdamai.

Pada perjalanan mereka menuju Bashrah, dan saat anjing-anjing di Al-Hau’ab menyalak, lalu Aisyah menceritakan hadits Nabi Shallallahualaihi wa Sallam tentang salakan anjing-anjing tersebut, sehingga ia bertekad untuk kembali, namun dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya anda keluar dengan tujuan berdamai”. Semua itu tentunya didengar oleh Zubair, karena ia adalah seorang tokoh dan salah seorang pimpinan dalam pasukan tersebut. Namun itu semua belum cukup untuk memalingkannnya dari tujuannya dan membatalkan ijtihad yang ia ambil dengan ikut bersama pasukan tersebut.

Ketika terjadi sesuatu di Basharah, peperangan tak dapat dihindarkan, ia melihat kekacauan dalam perkara tersebut, dan mecium adanya para penyebar fitnah dan orang-orang yang menyalakan apinya di barisan kedua pasukan, kata hatinya semakin kuat, dan keraguan akan alasannya ikut dalam peperangan itupun semakin menguasainya.

Semua itu ditambah lagi dengan apa yang disaksikannya dari kesepakatan damai dengan Al-Qa’qa’, namun tiba-tiba peperangan pecah apda waktu malam. Ia tidak ingin menuduh orang-orang shalih yang berada bersamanya, namun juga tidak ingin melemparkan tuduhan kepada saudaranya Ali dan orang-orang shalih yang juga ada dalam barisannya. Maka ia pun menyimpulkan bahwa perkara tersebut tidak lagi berada di jalan yang terang.

Pendapatnya ini, serta tekadnya untuk menarik diri semakin diperkuat oleh ayat Al-Qur’an yang telah dihafalnya dengan baik “Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang zhalim saja di antara kamu (QS. Al-Anfal [8]: 25.) Ketika ia melihat fitnah yang telah menyebarm dan kobaran apinya juga telah menyambarnya, ia pun yakin bahwa inilah yang dimaksud oleh ayat tersebut, dan bahwa merekalah orang-orang yang disinggung di dalamnya.

Di samping itu, di melihat pasukan Ali, dan mendapatkan Ammar bin Yasir di sana. Sementara Nabi Shallallahualaihi wa Sallam telah bersabda, “Celakalah Ammar, ia dibunuh oleh sekelompok yang zhalim.” Dalam keadaan apapun, kalau Ammar yang berada di pasukan Ali terbunuh, maka artinya pasukan yang lain adalah pasukan yang zhalim.

Lalu ditambah lagi dengan kedatangan Ibnu Abbas kepada Zubair dan ucapannya, “Dimana Shafiyyah binti Abdul Muthalib ketika engkau emerangi Ali bin Abi Thalib Abdul Muththalib dengan pedangmu?!” (Kisah ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad ini adalah sesuatu yang pantas diucapkan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, bukan riwayat bohong yang kami sebutkan sebelumnya dimana terdapat tuduhan kepada Aisyah bahwa ia keluar untuk menjadikan Thalhah sebagai khalifah).

Semua pemikiran di atas seolah membangunkannya dan menyadarkannya bahwa tempatnya yang paling pantas adalah dalam medan jihad dan membela kaum muslimin. Bukan bertikai dengan khalifah pengganti Nabi Shallallahualaihi wa Sallam yang telah dibaiatnya, yang juga merupakan saudaranya dalam Islam yang telah bahu-membahu bersamanya dalam pertempuran-pertempuran besar, yaitu putra pahamannya Ali!! Bagaimana mungkin ia ridha menghadapinya dengan pedang. Dan apa yang akan dikatakannya kepada ibunya Shafiyyah andai ia masih hidup, sementara dia yang telah mendidiknya dan menanamkan sifat-sifat terpuji di dalam dirinya?!

Seluruh faktor ini, ditambah dengan sejarah hebat yang dimiliki Zubair, serta berbagai kiprahnya yang takkan pernah dilupakan sejarah, juga jiwanya yang tegar dan sikap wara’ nya yang mengagumkan, membuatnya memilih untuk meninggalkan medan tempur, dan menari diri darinya. Ia tidak lagi peduli dengan apa yang akan dikatakan orang lain. Karena kepahlawanan seseorang, terletak pada sikapnya dalam berpegang teguh kepada prinsip-prinsipnya, terletak pada kepuasan batin yang dicapainya, terletak pada panggilam iman dari hatinya. Sementara bukti-bukti yang ada di tangannya tidak bisa lagi untuk menunggu pujian, dan membuatnya tidak takut akan celaan.

Inilah faktor-faktor yang menurut kami mendorong Zubair untuk mundur dari perang Jamal.

Adapun riwayat yang mengatakan bahwa Ali menemui Zubair dan mengingatkannya akan ucapan Nabi Shallallahualaihi wa Sallam, bahwa ia akan memerangi Ali, dan ia berada pada posisi yang zhalim, maka riwayat ini tidak benar.

Ad-Dulabi meriwayatkan dalam Adz-Dzurriay Ath-Thahirah dari Yazin bin Harun, ia berkata, “Aku mendengar dari Syarik, dari Al-Aswad bin Qais, telah bercerita kepadaku seseorang yang melihat Zubair mengikuti jejak kuda dnegan panahnya, dengan kemudian Ali memanggilnya, “Hai Abdullah! Ia pun mendekatinya, hingga leher-leher tunggangan mereka bertemu, Ali berkata, “Demi Allah, tidakkah kau ingat suatu hari aku membisikkan sesuatu kepadamu, kemudian Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam mendatangi kita dan berkata, “Ka berbisik kepadanya! Demi Allah, dia akan memerangimu, dan saat itu dia berbuat zhalim kepadamu.” Orang itu berkata, begitu mendengar hadits tersebut, ia memukul wajah untanya dan segera pergi.

Ini adalah riwayat yang lemah, karena terdapat periwayat yang tidak diketahui, sementara Syarik Al-Qadhi seringkali mempunyai banyak kesalahan.

Al-Hakim meriwayatkan dalam kitab Al-Mustadrak dari Abdullah bin Muhammad bin Abdul Malik Ar-Raqasyi, dari kakeknya Abdul Malik, dari Abu Harb bin Abu Al-Aswad Ad-Dili berkata, “Aku melihat Zubair keluar menuju Ali, maka Ali berkata kepadanya, “Demi Allah, tidakkah engkau mendengar Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam bersabda, “Engkau akan memeranginya, dank au dalam posisi menzhaliminya.” Zubair menjawab, “Aku tidak ingat.” Kemudian Zubair pun pergi.”

Ini juga hadits yang lemah, Abdullah bin Muhammad bin Abdul Malik Ar-Raqasyi lemah, dan kakeknya Abdul Malik bin Muslim Ar-Raqasyi tidak diketahui.

Al-Hafizh Al-Uqaili menyebutkan dalam kitabnya Adh-Dhu’afa, Abdullah bin Muhammad bin Abdul Malik, dan kemudian menyebutkan hadits ini, dan mengatakan, “Orang-orang yang ada dalam sanad hadit ini adalah lemah.”

Hal lain yang melemahkan hadits ini adalah sebuah riwayat tentang harta warisan Zubair yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Zubair, “Ketika Zubair telah berdiri pada perang Jamal, ia memanggilku, dan akupun berdiri di sampingny. Dia berkata, “Hai anakku, tidak aka nada yang terbunuh hari ini kecuali sebagai seorang yang zhalim atau yang dizhalimi, dan sungguh aku melihat bahwa aku akan terbunuh hari ini secara zhalim. Namun begitu, kekhawatiran terbesarku adalah masalah hutang-hutangku.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Hal ini menunjukkan bahwa dalam dirinya ia merasa benar dengan pilihannya untuk ikut berperang. Karena itulah ia mengatakan bahwa kekhawatiran terbesarnya adalah masalah hutang-hutangnya. Kalau ia berpendapat bahwa ia tidak berada pada pihak yang benar, atau ia merasa bahwa ijtihadnya adalah salah, tentulah kegelisahannya akan lebih besar pada urusan perang yang dihadapinya. Dan juga ada kemungkinan bahwa ia berpegang kepada dalil bahwa seorang mujtahid diberi imbalan atas ijtihadnya, walaupun itu salah.”

Adapun hadtis, “Engkau akan memeranginya, dank au dalam posisi menzhaliminya.” Telah dianggap lemah oleh banyak orang, dan analisa yang benar terhadap hadits tersebut juga akan melemahkannya.

Andaikata hadits tersebut shahih dan diketahui oleh Ali Radhiyallahu Anhu niscaya ia tidak akan mendiamkannya hingga pecahnya perang dan banyak kepala yang telah lepas dari lehernya. Ia tidak akan menunggu hingga bertemu dengan Zubair di medan tempur dan leher kedua binatang tunggangan mereka bertemu, lalu memberitahunya setelah terlambat! Bahkan kalau memang hadits tersebut benar diketahui Ali, maka sifat wara’ yang dimilikinya, serta keinginannya untuk melindungi darah kaum muslimin akan membuatnya segera mendatangi saudaranya Zubair di depan seluruh pasukan sehingga perang bisa dihindari, dan pertumpahan darah yang lebih banyak pun dapat terelakkan. Karena Ali maupun saudara-saudaranya yang lain dari golongan shahabat sangat berpihak kepada kebenaran, dan amat menjaga darah kaum muslimin.

Karena itulah kami katakana bahwa alas an yang memaksa Zubair untuk mundur dari medang perang adalah banyak faktor dan peristiwa-peristiwa yang telah ia kumpulkan dari analisanya, dan membuatnya ragu dan akhirnya sadar, sebagaimana yang telah dijelaskan. Maka ia pun meninggalkan peperangan tanpa peduli apa yang akan diucapkan orang-orang tentang sifat-sifat pengecut dalam menghadapi pertempuran. Karena kebenaran yang telah terungkap baginya lebih penting dari apapun juga.

Di dalam kitab Al-Hilyah, terdapat riwayat dari Abdurrahman bin Abu Laila berkata, “Pada perang Jamal, Zubair menarik diri dari memerangi Ali, maka anaknya Abdullah menemuinya dan berkata, “Pengecut, pengecut! Zubair berkata, “Semua orang tahu bahwa aku bukan seorang pengecut. Namun Ali telah mengingatkanku tentang sesuatu yang pernah aku dengar dari Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam, maka aku bersumpah tidak akan memeranginya.”

Kemudian ia diikuti oleh Ibnu Jurmuz yang membunuhnya dengan licik. Maka ia pun terbunuh sebagai syahid semoga Allah meridhainya.

Bersambung Insya Allah . . .

Artikel http://www.SahabatNabi.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.