Categories
Zubair bin Awwam

Biografi Sahabat Nabi, Zubair bin Awwam : Bersama Khulafaur Rasyidin Dan Mengalami Masa Terjadinya Fitnah (Seri 13)

G. Bersama Khulafaur Rasyidin Dan Mengalami Masa Terjadinya Fitnah

3. Bersama Asy-Syahid Dzun-Nurain, Utsman Bin Affan

Dan Zubair meneruskan jalan yang telah dilaluinya bersama Ash-Shiddiq dan Al-Faruq dengan khalifah yang ketiga. Ia menerupakan tangan kanannya, salah seorang penasehatnya dan termasuk yang paling dekat dengannya dan didahulukan dalam majelis-majelisnya. Dia senantiasa memberikan nasehat-nasehatnya kepada khalifah, dan pertama dalam membelanya. Sejak hari pertama penobatannya sebagai khalifah, ketika ia mengambil tangan kanannya dan membai’atnya sebagai khalifah sebagaimana shahabat-shahabat lain, dan sampai ketika Utsman dikepung oleh para pemberontak, dan menumpahkan darahnya yang suci.

Cukuplah sebagai bukti bagimu tentang kedudukan Zubair yang istimewa di sisi Amirul Mukminin Utsman, bahwa ketika Utsman menderita sakit pendarahan yang parah di hidungnya pada tahun di mana penyakit itu mewabah, hingga ditakutkan dia kaan meninggal karena nya, orang-orang menyarankan agar ia menunjuk Zubair sebagai pengganti khalifah. Saat itu Utsman berkata, “Sungguh, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sejauh yang aku tahu, sesungguhnya dia adalah yang terbaik dari mereka, dan yang paling dicintai oleh Rasulullah Shallallahualaihi wa Salam.”

Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Abi Hashin bin Utsman bin Ashim, “Bahwasanya Utsman bin Affan memberikan Zubair enak ratus ribu dirham, maka ia pun pergi menemui paman-pamannya dari Bani Kahil dan berkata, “Harta manakah yang paling baik?” Mereka menjawab, “Harta dari Isfahan”, ia berkata, “Maka berikanlah kepadaku harta Isfahan.”

Pada hari-hari disaat terjadinya fitnah yang besar, Zubair setia mendampingnya, menjadi penolongnya, dan terus membelanya. Ia pun mengusir para pemberontak yang datang kepadanya dengan berpura-pura ingin membai’atnya sebagai khalifah bagi kaum muslimin. Dan mengatakan kepada mereka bahwa mereka terlaknat dengan lisan Nabi Muhammad Shallallahualaihi wa Salam. Ketika pengepungan semakin menjadi-jadi, Zubair dan beberapa shahabat masuk dan menegaskan bahwa mereka akan setia menolongnya dan mendukung posisinya. Ia juga mengirim putranya Abdullah untuk bertempur tanpanya. Namun takdir Allah telah ditentukan, apa yang ditakutkan pun terjadi, dan Zubair terguncang oleh musibah yang terjadi. Ia berbicara tentang para pembunuh dengan pembicaraan yang keras, kemudian ia keluar menujuu Mekah, dan kemudian Bashrah, untuk menuntut darah Utsman dan membunuh para pembunuhnya.

Ath-Thabari meriwayatkan kedatangan para pemberontak yang durjanah ke Madinah. Kemudian mereka mengutus dua orang dari mereka, “Dan mereka mendatangi istri-istri Nabi Shallallahualaihi wa Salam, juga Ali, Thalhah, dan Zubair. Mereka berkata, “Sesungguhnya kami hanya bermaksud mendatangi rumah ini, dan meminta khalifah ini untuk mencopot beberapa pejabat kami, hanya itulah maksud kedatangan kami.” Kemudian mereka minta izin kepada mereka untuk membolehkan orang-orang (yaitu yang berada di belakang mereka, yang terdiri dari kaum pemberontak dari Mesir dan Irak) memasuki Madinah. Namun mereka semua menolak, dan melarang, dan berkata, “Telur ini tidak boleh pecah!”

Para pemberontak pun membagi diri menjadi tiga: orang-orang Mesir mendatangi Ali, orang-orang Bashrah mendatangi Thalhah, dan orang-orang Kufah mendatangi Zubair yang saat itu berada di tengah jemaah, dan ia telah melepaskan putranya untuk menolong Utsman. Mereka mengucapkan salam kepadanya dan menawarkan jabatan khalifah kepadanya. Ia membentak mereka dan mengusir mereka, dan berkata, “Kaum muslimin telah mengetahui bahwa pasukan Dzil Marwah, dan Dzi Khusyub, serta pasukan Al-A’wahs telah terlaknat dengan lisan Nabi Muhammad Shallallahualaihi wa Salam.”

Lalu Ali dan Thalhah pun mengatakan hal yang sama dengan Zubair.

Para pemberontak kemudian lebih memperkat pengepungan di rumah Utsman, dan melemparinya dengan batu hingga ia jatuh pingsan di atas mimbar, Utsman pun di bawa kerumahnya. Beberapa orang dari shahabat segera datang dan bersiap untuk menghadapi perang, di antara mereka terdapat Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Hurairah, Zaid bin Tsabit, dan Hasan bin Ali. Namun Utsman mengirim utusan kepada mereka, dan meminta mereka untuk kembali, dan akhirnya mereka pun kembali.

Kemudian Ali, Thalhah, dan Zubair mendatangi Utsman untuk menjenguknya atas apa yang menimpanya, mereka juga mengeluhkan kekhawatiran yang mereka rasakan, lalu mereka pulang ke rumah masing-masing.

Zubair mengutus anaknya yang pemberani Abdullah untuk tetap berada di rumah Utsman, bergabung dengan kelompok besar shahabat pemberani untuk berjuang membela Amirul Mukminin. Sementara Utsman Radhiyallahu Anhu sendiri terus menekankan kepada mereka agar jangan sampai ada darah yang tertumpah karenya.

Peristiwa tragi situ pun terjadi, dan para pemberontak berhasil melaksanakan kejahatan mereka yang menggoyahkan pondasi Negara Islam. Kaum muslimin dan seluruh dunia tersentak oleh tumpahnya darah As-Syahid Dzun Nurain, menantu Nabi Shallallahualaihi wa Sallam yang mempunyai tangan yang suci dengan apa yang dilakukannya untuk kaum muslimin, yang telah diketahui oleh yang terdekat maupun yang terjauh sekalipun.

Berita ini sampai di telinga Ali, Thalhah, dan Zubair. Mereka segera menuju rumah Utsman dengan pikiran yang kosong. Mereka memasuki rumah Utsman, dan mendapatinya telah terbunuh dengan pedang! Ali berkata, “Bagaimana mungkin dia bisa terbunuh sementara kalian ada di pintunya?!” Dia menampar Hasan dan memukul dada Husain, dan menghardik Ibnu Zubair dan Ibnu Thalhah, lalu pulang ke rumahnya dalam keadaan murka. Kemudian datanglah orang-orang yang ingin memba’iatnya menjadi khalifah, namun Ali berkata, “Urusan ini bukan di tangan kalian, itu adalah urusan para ahli Badar, siapa yang mereka ridhai, dialah yang akan menjadi khalifah.”

Ibnu Katsir berkata, “Ketika tragedi besar yang tragi situ terjadi, orang-orang pun menyesal dan sangat membesarkan masalah itu. Bahkan mayoritas orang-orang khawarij bodoh tersebut ikut menyesali perbuatan mereka. Sehingga mereka persis menjadi ikut menyesali perbuatan mereka. Sehingga mereka persis menjadi seperti orang-orang yang menyembah sapi, dalam firman-Nya, “Dan setelah mereka menyesali perbuatannya dan mengetahui bahwa telah sesat, mereka pun berkata, “Sungguh, jika Tuhan kami tidak memberi rahmat kepada kami dan tidak mengampuni kami, pastilah kami menjadi orang-orang yang rugi (QS. Al-A’raf [7]: 149).

Ath-Thabrani menyebutkan ketika peristiwa pembunuhan Utsman sampai ke telinga Zubair, dia berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, semoga Allah merahmati Utsman dan memberikan pertolongan kepadanya.” Kemudian dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya kaum pemberontak tersebut merasa menyesal.” Ia menjawab, “Sungguh mereka telah merencanakan ini, sungguh mereka telah merencanakan ini.” Dan diberi penghalang antara mereka dengan apa yang mereka inginkan sebagaimana yang dilakukan terhadap orang-orang yang sepaham dengan mereka yang terdahulu. Sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) dalam keraguan yang mendalam (QS. Saba’ [34]: 54)”.

 

Bersambung Insya Allah . . .

Artikel http://www.SahabatNabi.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.