Categories
Zubair bin Awwam

Biografi Sahabat Nabi, Zubair bin Awwam : Bersama Khulafaur Rasyidin Dan Mengalami Masa Terjadinya Fitnah (Seri 12)

G. Bersama Khulafaur Rasyidin Dan Mengalami Masa Terjadinya Fitnah

2. Bersama Umar bin Khaththab

Setelah Ash-Shiddiq, Umar melanjutkan tongkat estafet kekhalifahan, tetap mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam dan jalan khalifah setelah beliau. Umar pun merangkul para shahabat besar dan tokoh-tokoh mereka, dan mendekatkan mereka kepadanya. Menyertakan mereka dalam sebuah tanggung jawab maha besar untuk mengurus Negara dan rakyat. Kemudian Umar membentuk sebuah majelis syura yang terdiri dari tokoh-tokoh shahabat dan pemuka umat. Dan Zubair adalah satu di antara mereka yang diminta Umar untuk memperhatikan masalah pemerintahan bersamanya. Sehingga sering kali Umar melarangnya untuk meninggalkan Madinah kecuali untuk ikut berjihad dalam beberapa peperangan yang menentukan sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.

Zubair pun menunaikan apa yang ditugaskan kepadanya, dan melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Ia sering menemui Umar, dan termasuk yang berani menegurnya, suatu tabiat yang telah tertanam dan mengakar pada dirinya melalui hari-hari dan kondisi yang keras. Umar puyn melihat hal ini pada Zubair, namun itu justru menambah kegembiraannya. Seorang pemimpin muslim sejati harus menjaga dirinya dengan sekelompok singa, yang berani memberikan pendapat dalam setiap kondisi yang melenceng dari agama, dan mengancam mashlahat kaum muslimin. Dan bukan mendekatkan dirinya dengan segerombolan domba yang bisa dikumpulkan dengan satu kata, dan diusir dengan satu tongkat.

Ibnu Sa’ad dan Sa’id bin Manshur serta yang lainnya meriwayatkan, “Majelis kaum Muhajirin terletak di antara makam Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam dengan mimbar beliau. Disanalah mereka duduk, di antaranya Ali, Utsman, Zubair, Thalhah, dan Abdurrahman bin Auf, dan apabila datang sebuah kabar kepada Umar dari penjuru manapun, ia akan mendatangi mereka untuk memberi kabar dan bermusyawarah.”

Dan Al-Bazzar meriwayatkan dengan sanad yang hasan dari Abdullah bin Umar, “Bahwasanya Zubair pernah meminta izin kepada Umar untuk ikut dalam jihad, Umarpun berkata, “Duduklah, sungguh engkau telah berjihad bersama Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam.”

Contoh dari peristiwa yang terjadi dan dialami oleh Zubair dan yang lainnya di majelis syura, kisah perselisihan antara Ali dan Abbas Radhiyallahu Anhuma tentang kedudukan harta yang ditinggalkan oleh Nabi Shallallahualaihi wa Sallam. Perkara ini pun dibawa kepada Umar, dan ia pun segera berdiskusi dengan majelis tersebut. Dan Umar menguatkan pendapatnya dengan sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam. Ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Asy-Syaikhani serta yang lainnya, dari Malik bin Aus bin Al-Hadatsan berkata, “Umar bin Khaththab memanggilku, ketika aku berada di sana, datanglah pembantunya Yarfa’ dan berkata, “Ini ada Utsman, Abdurrahman bin Auf,  Sa’ad, dan Zubair bin Awwam, meminta Izin untuk masuk”, ia menjawab, “Izinkan mereka.” Tidak lama kemudian ia datang lagi dan berkata, “Ini Abbas dan Ali minta izin untuk menghadap.”  Ia menjawab, “Izinkan mereka.” Ketika telah masuk, Abbas berkata, “Wahai Amirul mukminin putuskanlah perkaraku dengannya.” Saat itu mereka berselisih tentang harta fai’ yang diberikan Allah untuk Rasul-Nya Shallallahualaihi wa Sallam dari harta Bani Nadhir. Lalu kelompok dari majelis syura berkata, “Putuskanlah perkara mereka wahai Amirul Mukminin, dan bebaskanlah yang satu dari yang lainnya, sungguh perselisihan mereka telah terlalu lama.”

Ath-Thabari dan Ibnu Asakir meriwayatkan dari Salim bin Abdullah, “Ketika Umar diangkat menjadi khalifah, dia mencukupkan diri dengan tunjangan seperti yang diterima oleh Abu Bakar, namun kebutuhannya bertambah banyak. Maka beberapa orang dari muhajirin berkumpul, di antaranya Utsman, Ali, Thalhah, dan Zubair. Zubair berkata, “Andai kita bisa berbicara kepada Umar untuk menambahkan tunjangan yang diterimanya.” Ali berkata, “Kita berharap dia mau menerimanya, marilah kita menemuinya.” Maka Utsman berkata, “Dia adalah Umar! Maka mari kita mengurus perkara ini melalui belakang, kita temui Hafshah dan memintanya untuk merahasiakan ini.” Merekapun menemui Hafshah dan memintanya untuk memberitahukan Umar tentang beberapa orang tanpa menyebutkan nama, kecuali Umar menerima usulan mereka, lalu mereka pun pergi.

Hafshah menemui Umar untuk menyampaikan usulan ini. Dan segera melihat kemarahan di wajah Umar, dan ia berkata, “Siapa mereka?” Hafshah menjawab, “Engkau tidak akan mengetahui siapa mereka sampai aku tahu pendapatmu.” Maka Umar berkata, “Kalau aku tahu siapa mereka, niscaya akan aku burukkan wajah-wajah mereka.”

Kemudian amirul mukminin mengingatkannya tentang kehidupan Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallami, juga kehidupan khalifah setelah beliau Abu Bakar Ash-Shiddiq. Setelah itu, ia berkata, “Adapun perumpamaanku dengan kedua shahabatku bagaikan tiga orang yang mengikuti suatu jalan. Yang pertama berlalu dengan bekalnya, dan ia pun sampai di tujuan. Kemudian yang kedua berlalu dengan mengikuti jalanya, dan sampai kepadanya. Maka kalau yang ketiga tetap mengikuti jalan mereka, dan ridha dengan bekal mereka berdua, niscaya ia akan sampai dan kembali bersama mereka. Namun kalau ia memilih selain jalan mereka, ia tidak akan dapat bersama mereka.”

Umar Radhiyallahu Anhu memiliki wibawa yang sangat hebat dalam hati orang-orang mukmin. Sehingga seseorang akan masuk untuk satu keperluan kepadanya, dan keluar lagi tanpa berbicara apa-apa, tidak ada yang menghalanginya kecuali wibawa yang terpancar dari Umar! Maka para tokoh shahabat khawatir akan sikap orang-orang tersebut. Maka Zubair, Utsman, Ali, Thalhah, dan Ibnu Auf berangkat menemui Umar dan berbicara tentang hal ini, serta memintanya untuk bersikap lebih lunak. Abdurrahman bin Auf pun masuk untuk berbicara dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, bersikap lembutlah kepada orang-orang, sungguh seseorang ada yang datang kepadamu, namun rasa takutnya kepadamu menghalanginya untuk menyampaikan kebutuhannya kepadamu, sehingga ia kembali tanpa bisa berbicara kepadamu!” Umar berkata, “Hai Abdurrahman, demi Allah, apakah Ali, Utsman, Thalhah, dan Zubair serta Sa’ad memintamu untuk menyampaikan ini?” Ia menjawab, “Iya”. Umar berkata, “Wahai Abdurrahman, sungguh aku telah bersikap lunak kepada mereka sehingga aku takut kepada Allah akan sikap lunakku, kemudian aku bersikap keras sehingga aku takut kepada Allah akan sikap kerasku, Maka bagaimanakah solusinya?” Abdurrahman pun bangkit sambil menangis dan menyeret jubahnya, dan berkata, “Celakahlah mereka yang menggantikanmu, celakalah mereka yang akan menggantikanmu.”

Saudaraku, perhatikanlah tokoh-tokoh tersebut. Perhatikanlah sikap ara anggota majelis syura dan kepedulian mereka terhadap kebutuhan rakyat, serta kesibukan mereka mengurus kepentingan umat. Juga kepedulian rakyat, serta kesibukan mereka mengurus kepentingan umat. Juga kepedulian mereka akan lancarnya proses pemerintahan dan nasehat-nasehat mereka yang jujur dan berani. Tidak seperti majelis-majelis para wakil rakyat di banyak negara muslim yang dilanda kesengsaraan dikarenakan orang-orang seperti mereka, yang tidak berani menyampaikan kebenaran, dan berusaha menghiasi kebatilan. Serta kegigihan mereka dalam mendapatkan hati penguasa yang justru merendahkan mereka, karena mereka hanya bisa mengikuti kemauan sang penguasa. Mereka pun menodai kehormatan mereka sendiri, dan menyia-nyiakan umat yang mereka wakili. Jika seorang penguasa tidak mampu menjadi seperti Umar, dan pengontrol kekuasaan tidak mampu mengikuti jalan yang ditempuh oleh Utsman, Ali, Zubair, serta saudara-saudara mereka yang lain, maka apa nilai dari para tokoh tersebut, dan apa faidah dari posisi mereka di lingkaran kekuasaan?

Sekarang perhatikanlah riwayat berikut ini :

Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Zaid bin Aslam, dari Aslam pembantu Umar, ia berkata, “Umat berkata kepadaku, “Hai Aslam, jagalah pintu ini untukku, dan jangalah menerima apapun dari siapa saja.” Suatu hari ia melihatku memakai pakaian baru. Ia bertanya, “Darimana engkau mendapatkan ini? Aku menjawab, “Ubaidillah bin Umar memakaikannya untukku.” Dia berkata, “Adapun kalau dari Ubaidillah maka ambillah, namun kalau dari yang lain jangan kau ambil.” Aslam berkata, “Kemudian Zubair datang di saat aku menjaga pintu, dan meminta untuk masuk, aku memberitahunya bahwa Amirul Mukminin sedang sibuk saat itu. Tiba-tiba ia mengangkat tangannya dam memukul bagian belakang telingaku sehingga aku berterika.” Aslam melanjutkan, “Maka aku masuk menemui Umar, dan ia bertanya, “Ada apa denganmu?” Aku menjawab,”Zubair telah memukulku.” Lalu aku menceritakan apa yang terjadi. Umar pun berkata, “Demi Allah, aku tahu bagaimana Zubari.” Dan ia berkata, “Suruhlah ia masuk.” Dan akupun memintanya masuk menemui Umar. lalu Umar berkata, “Kenapa engkau memukul pemuda ini?” Zubair menjawab, “Karena dia merasa bisa menghalangi kami menemuimu!” Umar bertanya, “Apakah ia pernah menolakmu dari pintuku sebelumnya?” Ia menjawab, “Tidak.” Umar berkata, “Jika dia berkata kepadamu, “Sabarlah beberapa saat, sesungguhnya Amirul mukminin sedang sibuk”, tidakkah kau memberiku waktu?”! Sungguh demi Allah, seekor binatang buasa hanya akan berdarah oleh binatang buas yang lain, dan kemudian mereka memakannya.”

Dan benar, perjalanan seekor binatang buas harus dikawal oleh kumpulan binatang buas lain, sehingga apabila ia lupa, mereka akan mengingatkannya, dan kalau ia salah, mereka akan mengoreksinya. Jika ia melenceng, mereka akan meluruskannya, dan kalai ia menentang, mereka akan melukainya, lalu mengumumkan kepada seluruh kumpulan bahwa bahwa pemimpin mereka telah mengkhianati amanah. Namun apabila seekor binatang buas dikelilingi oleh kawanan serigala yang culas, atau sekumpulan domba yang jinak, maka rakyatnya akan celaka dan negaranya pun akan lenyap! Benar wahai Abu Hafsh. “Sesungguhnya demi Allah, seekor binatang buas hanya akan berdara oleh binatang-binatang buas yang lain, dan kemudian mereka memakannya.”

Pada tahun 14H, ketika Umar berniat untuk keluar memimpin tentaranya untuk menyerang Persia, ia membawa Zubair bersamanya, dan menjadikannya memimpin pasukan dari sayap kiri.

Ath-Thabari meriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz, “Ketika sampai berita terbunuhnya Abu Ubaid bin Mas’ud kepada Umar, dan berkumpulnya penduduk Persia di bawah kepemimpinan seorang keturunan Kisra, ia menyeru kaum Muhajirin dan Anshar, dan kemudian berangkat hingga sampai di Shirar. Kemudian memerintahkan Thalhah bin Ubaidillah berjalan mendahuluinya hingga sampai di Al-A’wash. Lalu ia menunjuk Abdurrahman bin Auf memimpin sayap kanan, dan Zubair bin Awwam di sayap kiri. Dan menjadikan Ali sebagai pengganti khalifah di Madinah. Kemudian ia bermusyawarah dengan para shahabat, dan semuanya berpendapat untuk terus berjalan menuju Persia. Dan musyawarah tersebut terjadi saat ia telah sampai di Shirar dan Thalhah telah kembali. Ia pun meminta pendapat dari para penasehatnya, Thalhah saat itu setuju dengan pendapat yang lain, sementara Abdurrahman bin Auf melarangnya.

Abdurrahman bin Auf berbicara dengan hormat dan telah diceritakan dalam kisahnya. Dalam pembicaraannya dia mengusulkan agar Umar mengangkat Sa’ad bin Abi Waqqash sebagai komandan pasukan nya. Dan para penasehat lain menyetujui pendapatnya tersebut.

Pada tahun 21 H, pasukan Persia berkumpul di kota Nahawand, kaum muslimin pun meminta bantuan dari Amirul Mukminin Umar. Umar segera menyuruh seseorang untuk menyerukan kaum muslimin untuk berkumpul di masjid. Ia kemudian mengemukakan persoalan ini kepada kaum musliminm dan meminta pendapat dari para penasehat nya dan tokoh-tokoh lain. Lalu Umar berkata, “Inilah hari yang menjadi penentuan bagi hari-hari selanjutnya. Sungguh aku telah berkehendak untuk melakukan sesuatu dan akan aku sampaikan kepada kalian semua, maka dengarkanlah. Setelah itu sampaikanlah pendapat kalian dengan singkat, dan janganlah kalian berbantah-bantahan, yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan kalian. Di antara kalian ada yang berpendapat aku harus keluar bersama orang-orang yang bersamaku dan mereka yang dapat aku kumpulkan, hingga aku sampai disuatu tempat di antara dua kota ini (Kuffah dan Bashrah). Kemudian aku menyuruh mereka untuk maju dan aku akan menjadi penolong bagi mereka hingga Allah memberikan kemenangan bagi mereka, dan memutuskan apa yang dia kehendaki?” maka Utsman Bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Abdurrahman bin Auf, berdiri di antara para penasehat dari shahabat Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam, kemudian mereka berkata, “Kami tidak sependapat demikian, tapi jangan sampai mereka kehilangan ide dan arahanmu.” Dan mereka berkata, “Hadapkanlah mereka dengan kabilah-kabilah arab, kesatria-kesatria mereka, dan tokoh-tokoh mereka, juga pertemukanlah mereka dengan orang-orang yang telah mereka pecahkan kesatuannya, orang yang telah mereka bunuh rajanya, dan telah menghadapi banyak pertempuran yang lebih hebat dari ini. Sesungguhnya mereka hanya meminta keputusan darimu untuk mengizinkan mereka, bukan memanggilmu untuk membantu mereka, maka izinkanlah mereka dan tunjuklah seorang pemimpin atas mereka, dan kemudian berdoalah untuk mereka.”

Kemudian Ali berdiri dan menguatkan pendapat mereka dan berbicara dan semangat yang tinggi. Umar pun menjadi tenang dengan pendapat shahabat-shahabat terdekatnya, dan mengambil sulan tersebut. Kemudian menunjuk An-Nu’man bin Muqarrin sebagai komandan perang. Dan turut berada di bawah panjinya sekelompok besar shahabat, di antaranya Zubair. Perang tersebut merupakan sebuah pertempuran yang sangat dahsyat di mana Allah memberikan kemenangannya bagi kaum muslimin. Dan dikenal dalan sejarah dengan sebutan Fathul Futuh (puncak dari seluruh penaklukan).

Pada tahun paceklik di mana Madinah dilanda kekeringan yang hebat, banyak bantuan yang berdatangan dari negeri-negeri muslim lainnya. Umar menugaskan Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan Sa’ad bin Abi Waqqash untuk membagikannya kepada kaum muslimin. Mereka membagikan kepada setiap rumah satu ekor unta dan makanan. Sehingga mereka bisa memakan makanan tersebut, dan menyembelih unta agar dagingnya bisa dimakan, menjadikan gajihnya sebagai lauk, dan memanfaatkan kulitnya untuk alas kaki. Dengan demikian Allah telah memberikan kelapangan untuk orang-orang.

Alangkah mulianya sang khalifah, dan para pembantu khalifah sehingga manusia mendapatkan kebahagian dan mempunyai nasib yang baik ketika dipimpin oleh seorang laki-laki yang mau menegakkan syariat Allah, dan menjalankan perintah-perintahnya dengan adil. Dan dibantu oleh sekelompok manusia-manusia hebat yang jujur, yang betul-betul bekerja melayani umat. Sehingga mereka bisa menghilangkan penderitaan, menyelamatkan mereka yang berteriak kesusahan, menolong kaum miskin dan mereka yang membutuhkan, serta menolong mereka yang kelaparan. Mereka tidak pernah berusaha menguasai harta milik umum dengan cara mencuri, merampok atau merampas. Mereka tidak menggunakan kekuasaan untuk memukul rakyat, atau menutup mulut-mulut mereka. Juga tidak sekalipun memanfaatkan para penjilat dan para orator untuk mempengaruhi rakya agar mendengar dan mematuhi perintah mereka. Dan sungguh para penguasa dan para kaki tangan mereka akan menghadapi suatu keadaan yang amat dahsyat di hadapan Allah yang Maha Menguasai dan Maha kuat, “Pada hari, (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan (QS. An-Nur [24]: 24).”

Peristiwa-peristiwa bersejarah yang melibatkan Zubair pada masa pemerintahan Umar Al-Faruq ini, ditambah dengan catatannya yang penuh dengan tindakan-tindakan yang mulia sejak masa Ash-Shiddiq dan pada masa kenabian, menjadikannya berhak bersama-sama sejumlah shahabat lain untuk berada pada posisi teratas dalam wajah sejarah. Dia adalah satu di antara enam shahabat yang diberikan amanah oleh Umar agar menunjuk khalifah dari mereka dengan jalan syura, dan agar kaum muslimin memilih salah satu dari mereka untuk menjadi khalifah pengganti Umar.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan yang lainnya, dari Amru bin Maimun Al-Audi, bahwa Umar berkata, “Sungguh aku tidak mengenal seseorang yang lebih berhak atas urusan ini dari mereka, yang ketika Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam wafat, beliau ridha kepada mereka. Siapapun yang dipilih dari mereka setelahku, maka dialah yang akan menajdi khalifah. Maka dengarkanlah dia dan taatilah. Kemudian Umar menyebutkan Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Abdurrahman bin Auf, dan Sa’ad bin Abi Waqqash.”

Dalam sebuah riwayat dari Ath-Thabari, dari Al-Miswar bin Makhramah, ia berkata, “Lima orang dari Ahlu Syura (saat itu thalhah tidak hadir) datang berziarah ke makam Umar, kemudian mereka keluar untuk pulang kerumah masing-masing. Abdurrahman bin Auf memanggil mereka dan berkata, “Kalian akan kemana? Ikutlah denganku.” Mereka pun mengikutinya. Mereka berjalan hingga sampai di rumah Fathimah bin Qais Al-Fihriyah. Abdurrahman pun memulai pembicaraan dan berkata, “Wahai kalian, sesungguhnya aku mempunyai ide, dan kalian pun akan memberikan pendapat. Maka dengarkanlah agar kalian tahu mengerti, dan jawablah agar kalian paham. Kalian adalah imam-imam yang menjadi panutan. Ulama yang menjadi rujukan, maka janganlah kalian menumpulkan pedang dengan pertikaian di antara kalian. Dan janganlah kalian biarkan musuh-musuh kalian menyarungkan pedang-pedang mereka, serahkanlah urusan ini kepada salah satu dari kalian, hingga bisa berjalan dengan tenang, dan sampai ketujuan.” sampai akhir dari perkataannya.

Kemudian Utsman, Ali, dan Sa’ad berbicara dengan kata-kata yang baik, tepat, dan bijaksana. Semuanya menegaskan akan menerapkan kitabullah Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahualaihi wa Sallam tetap bersama jamaah, dan akan mendengarkan dan taat kepada siapapun yang dipilih kaum muslimin untuk pemimpin mereka.

Pada kesempatan tersebut Zubair berbicara, dan dia berkata, “Amma ba’du, sesungguhnya orang yang menyeru kepada Allah tidak akan dilupakan, dan orang yang menyambut seruannya tidak akan dihinakan, yaitu ketika hawa nafsu terpecah belah dan leher-leher terkilir. Tidak ada yang akan nyia-nyiakan apa yang telah engkau (Dia berbicara kepada Abdurrahman bin Auf) katakan kecuali mereka yang sesat. Dan tidak ada yang meninggalkan apa yang kau serukan kecuali mereka yang sengsara. Kalaulah bukan karena aturan-aturan Allah yang telah ditetapkan, dan kewajiban-kewajiban kepada Allah yang telah digariskan, agar diberikan kepada yang berhak, agar ia tetap hidup dan tidak mati, maka kematian yang mencegahkan seseorang untuk memegang pemerintahan adalah suatu keselamatan, dan menghindarkan diri dari kepemimpinan adalah sebuah perlindungan! namun kita memiliki kewajiban kepada Allah untuk menjawab seruan-Nya, dan menunjukkan sunnah, agar kita tidak mati dalam keadaan buta, dan tidak buta dengan kebutaan jahiliyah. Maka aku menerima ajakanmu, dan akan mendengar apa yang engkau perintahkan, dan tiada daya dan upaya kecuali hanya milik Allah, dan aku memohon ampun kepada Allah untukku dan untuk kalian semua.”

Adapun hasil dari syura adalah sebagaimana yang telah kami jelaskan secara terperinci dalam biografi Abdurrahman bin Auf, dan bahwasanya kaum muslimin bersepekat untuk memilih Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu.

 

Bersambung Insya Allah . . .

Artikel http://www.SahabatNabi.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.