Categories
Zubair bin Awwam

Biografi Sahabat Nabi, Zubair bin Awwam : Bersama Khulafaur Rasyidin Dan Mengalami Masa Terjadinya Fitnah (Seri 11)

G. Bersama Khulafaur Rasyidin Dan Mengalami Masa Terjadinya Fitnah

Zubair beserta para shahabat dan bahkan seluruh kaum muslimin melepas kepergian Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam dengan hati yang hancur oleh kesedihan karena harus berpisah selama-lamanya. Mata mereka digenangi air mata karena kehilangan beliau, jiwa-jiwa menjadi resah karena tidak ada lagi yang akan mengobati rasa rindu dan menyembuhkan penyakit-penyakit mereka. Mereka begitu terpukul oleh peristiwa yang meninggalkan suatu kekosongan yang amat besar, dikarenakan hilangnya suatu masa di mana mereka hidup dalam naungan hikmah kenabian, dinaungi oleh kasih sayang, rasa cinta, keagungan akhlak, dan keindahan pekertinya. Suatu masa di mana mereka terus mengharapkan dan menunggu turunnya wahyu satu demi satu, dan ayat-ayat tersebut mampu menonjolkan potensi mereka dan mengarahkan jalan hidup mereka, serta membimbing langkah mereka.

Namun para shahabat tersebut adalah alumni dari madrasah nubuwwah (sekolah kenabian) yang membentuk, mendidik, dan mengarahkan mereka bagik secara lisan maupun dengan perbuatan selama dua puluh tiga tahun. Dan mereka pun lulus dari madrasah tersebut sebagai murid-murid terbaik yang dibina langsung oleh Nabi teragung Shallallahualaihi wa Sallam. Mereka pun bangkit untuk mengajarkan apa yang telah mereka dapatkan dengan membawa Al-Qur’an dan sunnah yang mulia, yang akan menjaga jalan mereka, dan mengarahkan perbuatan mereka kepada kebenaran dan kebaikan serta kebahagiaan.

Zubair adalah satu di antara shahabat yang tercerahkan oleh ajaran-ajaran madrasah tersebut sejak hari-hari pertamanya sampai detik-detik akhir keberadaan Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam sebagai seorang pemimpin sekaligus guru. Zubair telah menorehkan dalam lembaran perjalanan hidupnya kisah-kisah kepahlawanan dan pengorbanan serta keikhlasan yang amat mengangumkan. Juga keteguhannya dalam berpegang kepada sinar yang meneranginya dan cahaya yang lebih luas dan menyinari seluruh penjuru alam, yang terlihat dalam bentuk pokok-pokok Islam dan makna-makna mengagumkan yang terkandung di dalam nya serta dalam bentuk penerapannya dengan sebaik-baiknya.

Bersama para shahabat yang lain, ia meneruskan perjalanan hidupnya, diikuti oleh generasi baru setelah mereka, yang berdiri dari para tabi’in, di ikuti oleh generasi baru setelah mereka, yang terdiri dari para tabiin, dibawah pimpinan empat khulafaur rasyidin. Ia tetap pada sikapnya seperti saat bersama Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam. Ia pun mendampingi para khalifah satu persatu, membantu mereka dalam mengurus Negara dan rakyat. Bergabung dalam sebuah badan terhormat bersama dengan para shahabat besar yang membentuk majelis syura, yang akan mengarahkan penerapan hukum dan membantu khalifah dalam menjaga kemurnian agama dan dalam mengurus Negara. Majelis syura ini juga berwenang untuk membetulkan posisi yang salah, meluruskan kekeliruan, memberikan nasihat, menutupi kelemahan, dan menjaga agar tidak tergelincir. Di samping itu, menjaga kemurnian petunjuk kepada yang benar. Dan majelis ini bukanlah manjelis yang berfungsi untuk pengambilan suara mayoritas, atau memberi tanda tangan dan paraf dalam menetapkan hukum, dan bekerja berdasarkan hawa nafsu serta mengikuti keinginan pribadi, sebagaimana yang kita saksikan dalam banyak catatan sejarah, dan bahkan pada zaman kita yang serba sulit ini!!

Zubair tidak pernah absen dalam setiap peristiwa besar yang terjadi selama masa kepemimpinan empat khulafaur rasyidin. Bahkan ia ikut terbakar oleh api fitnah yang mulai muncul pada masa akhir pemerintahan Utsman, dan kemudian Ali. Dan juga tergilas olehnya, yang kemudian berakhir dengan kepergian ruhnya sebagai seorang syahid yang selalu mempersembahkan pengorbanan yang paling tinggi.

Adapun keterlibatannya dalam peristiwa fitnah adalah dengan tujuan beramai dan menangkap para penyebar fitnah yang telah menyebarkan kejahatan di antara kaum muslimin. Maka ia pun bangkit bersama sekelompok saudara-saudaranya untuk memadamkan apinya, dan mengembalikan keadaan seperti semula, dengan menjadikan firman Allah Ta’ala, “Dan apabila da dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antar keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zhalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencitai orang-orang yang berlaku adil (QS. Al-Hujurat [49]:9)”. Sebagai pedoman mereka. Namun panah-panah dari para pemberontak tidak pernah lepas darinya, bahkan mengejarnya hingga keluar dari medan tempur. Sebuah tangan yang belumpur dosa pun terulur kepadanya dengan pedang seorang pengecut. Ia pun terbunuh secara licik, dan kembali kepada Tuhannya sebagai seorang syahid, dan penuh kebahagiaan sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam.

1. Bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq

Sejak hari pertama pemerintahan Abu Bakar, Zubair telah berada bersamanya. Turut membai’atnya di Saqifah Bani Sa’idah, dan mendukungnya dalam menghadapi perang melawan orang-orang murtad, serta menjadi salah satu anggota dari majelis syura. Dan Abu Bakar sendiri mendekatkan Zubair kepadanya dan memuliakannya, karena ia mengetahu kedudukannya di sisi Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam, dan juga karena kiprahnya yang mengagumkan dan banyaknya keutamaan-keutamaan lain yang dimilikinya.

Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri, ia bercerita, “Ketika Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam wafat, orang-orang berkumpul di rumah Sa’ad bin Ubadah, dan Abu Bakar serta Umar juga berada bersama mereka di sana.” Abu Sa’id meneruskan, “Kemudian seorang pembicara dari Anshar berdiri dan berkata, “Apakah kalian tahu bahwasanya Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam adalah salah seorang dari Muhajirin, maka penggantinya pun haruslah dari kaum Muhajirin. Lalu kita adalah Anshar dan penolong Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam, maka kita pun akan menjadi Anshar bagi beliau.” Maka Umar berdiri dan berkata, “Sungguh benar apa yang dikatakan oleh justru bicara kalian, kalau kalian meminta hal selain itu, maka kami tidak akan membai’at kalian. Kemudian Umar mengambil tangan Abu Bakar dan berkata, “Inilah pemimpin kalian, maka bai’atlah dia. Lalu Umar membai’atnya, dan diikuti oleh bai’at dari kaum Muhajirin dan Anshar.” Abu sa’id melanjutkan, “Kemudian Abu Bakar naik mimbar, dan melihat wajah seluruh hadirin, namun ia tidak menemukan Zubair. Maka ia pun memanggil Zubair, dan ia segera datang. Abu Bakar berkata, “Wahai putra dari bibi Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam dan pembelanya, apakah engkau telah mengatakan bahwa aku menginginkan terpecahnyya tongkat kaum muslimin?” dia menjawab, “Tidak ada cercaan wahai khalifah Rasulullah.” Dia pun bangkit dan membaiatnya.” Kemudian Abu Bakar kembali melihat wajah-wajah mereka yang hadir, dan ia tidak melihat Ali. Maka ia pun memerintahkan untuk memanggil Ali bin Abi Thalib, dan ia segera datang. Abu Bakar berkata, “Wahai putra dari paman Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam,dan suami dari putrinya, apakah engkau mengatakan bahwa aku menginginkan terpecahnya tonkat kaum muslimin?” dia menjawab, “Tidak ada cercaan wahai khalifah Rasulullah.” Dia pun bangkit dan membaiatnya.”

Al-Hafizh Abu Ali An-Nisaburi berkata, “Aku mendengar Muhammad Ishaq bin Khuzaimah berkata, “Muslim bin Al-Hajjaj datang kepadaku dan bertanya tentang hadits ini, maka aku tuliskan untuknya di sepotong kulit dan aku bacakan untuknya. Dia berkata, “Hadits ini senilai dengan Badanah (seekor unta yang gemuk), aku berkata, “Hanya senilai dengan Badanah?! Sungguh hadits ini senilai dengan Badrah (sebuah kantung yang berisi sepuluh ribu dirham).”

Dan dalam riwayat dari Musa bin Uqbah, dengan sanad yang bagus menurut Ibnu Katsir, “Bahwasanya Abu Bakar berkhutbah dan meminta maaf kepada orang-orang, dan ia berkata, “Demi Allah aku tidak pernah mengejar kekuasaan baik satu hari atau satu malam pun, juga aku tak pernah memintanya kepada Allah baik secara terang-terangan atau secara rahasia.” Kaum Muhajirin menerima perkataannya, dan Ali serta Zubair berkata, “Kami tidak marah kecuali karena kami terlambat diajak bermusyawarah. Sunggu kami memandang bahwa Abu Bakar adalah orang yang paling berhak atas untuk urusan ini. Dia adalah yang menemani Nabi di dalam gua, dan sungguh kami mengetahui kehormatan dan kebaikannya, dan Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam telah menyuruhnya untuk mengimami shalat di saat beliau masih hidup.”

Adapun Zubair sebelumnya berpihak kepada Ali yang berada di rumahnya menghibur Fathimah Radhiyallahu Anha karena kepergian ayahnya Shallallahualaihi wa Sallam. Dan mereka berdua tidak mengetahui kepergian Abu Bakar dan Umar dan yang lain ke Saqifah, dan tidak menyaksikan dialog apa yang terjadi antara kaum Muhajirin dan Anshar. Saat itu orang-orang bertikai tentang siapa yang berhak menggantikan Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam. Sehingga dalam situasi demikian, tidak seorangpun sempat untuk melihat siapa yang hadir dan siapa yang tidak. Sehingga ketika pendapat-pendapat telah dikemukakan, sebagian ucapan telah ditolak, dan kesepakatan telah tercapai dengan pengangkatan Ash-Shiddiq, lalu mereka beramai-ramai mendatanginya dan berbaiat. Dan pada saat asap pertikaian telah lenyap dengan cepat, dan matahari kebenaran telah tegak, maka Abu Bakar berdiri untuk memberikan sambutannya sebagai khalifah pada acara penobatan khalifah pertama dalam Islam. Ia memperhatikan wajah mereka yang hadir, dan tidak menemukan Ali dan Zubair, sementara mereka adalah tokoh terkemuka dalam masyarakat. Ini menarik perhatiannya, dan merasa heran akan ketidakhadiran mereka dalam situasi yang penting tersebut. Kalaulah yang tidak hadir adalah orang yang lebih rendah kedudukannya, atau orang bias am Abu bakar tidak akan memberikan perhatian yang begitu besar. Namun ketika yang tidak hadir adalah dua shahabat besar, Ali dan Zubair, ini adalah suatu masalah yang harus diperhatikan dan dicari tahu penyebabnya. Maka Abu Bakar mengatakan apa yang dikatakan, dan mereka berdua pun segera datang dan berbaiat di hadapan seluruh jamaah.

Dan telah disebutkan sebelumnya bahwa Abu Bakar memberikan kepada Zubair sebuah lereng. Zubair bergabung dengan Ash-Shiddiq dalam perang melawan orang-orang murtad, saat itu ia bersama dengan sekelompok shahabat bertugas menjaga Madinah.

Dia juga merupakan salah seorang shahabat yang memberikan pendapat kepada Abu Bakar untuk maju sampai ke negeri Syam. Lalu ikut dalam perang Yarmuk yang peristiwanya dimulai pada akhir masa pemerintahan Ash-Shiddiq, dan berakhir pada awal pemerintahan Al-Faruq.

Bersambung Insya Allah . . .

Artikel http://www.SahabatNabi.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.