Categories
Zubair bin Awwam

Biografi Sahabat Nabi, Zubair bin Awwam : Perjalanan Hidup dan Kepribadiannya (Seri 7)

D. Perjalanan Hidup dan Kepribadiannya

Zubair adalah seorang laki-laki yang telah bersama Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam selama lebih dari dua puluh tahun, dan tidak berpisah dari dalam susah dan senang, masa perang dan damai. Mengambil langsung Al-Qur’an dan sunnah dari beliau, menerapkannya secara langsung dihadapan beliau, mengikutinya, mentaati petunjuknya, mengikuti langkahnya. Dan menjadi salah satu di antara mereka yang paling loyal kepada Nabi Shallallahualaihi wa Sallam hingga diumumkan di depan khalayak bahwasanya setiap Nabi mempunyai pembela, dan pembela beliau adalah Zubair. Kita bisa mengatakan, bahwa laki-laki ini tentunya memiliki kisah perjalanan hidup yang sangat mengagumkan.

Zubair dalam hal akhlaknya, kepribadiannya, perilakunya, sifat-sifat nya, dan nasihat-nasihatnya adalah Zubair yang sama dalam hal perjuangannya menegakkan dakwah dan kiprahnya dalam berbagai medan perang. Serta kesabarannya dalam pertempuran dan ketegarannya dalam menghadapi musuh.

Beginilah Islam membentuk tokoh-tokohnya secara seimbang dan paripurna. Meletakkan semua pada tempatnya, sehingga antara satu sisi dengan yang lainnya tidak timpang. Tidak melupakan satu sisi dalam pendidikan dan memberikan perhatian lebih pada sisi yang lain. Sehingga menjadi timpang, dan meruntuhkan bangunan kepribadian dan menjadikannya kacau.

Zubair Radhiyallahu Anhu senantias mengikuti sunnah Nabi dalam shalatnya, sehingga tidak pernah meninggalkan shalat sunnah, bahkan dalam perjalanan sekalipun ia melakukannya di atas untanya. Selalu menjaga keikhlasan amalnya kepada Allah Ta’ala. Berusaha untuk tidak memperlihatkan amalan-amalannya untuk menghindarkannya dari riya’. Menjaga keluarga dan anak-anaknya dan selalu mengajarkan mereka untuk mendapatkan yang terbaik, dan sanga keras dalam menuntun mereka untuk terus meningkatkan diri meniti kesempurnaan. Sehingga ia sering membawa anaknya dalam berbagai medang perang, sementara usia anaknya belum mencapai lima tahun. Kemudian membawanya ke Syam ketika berumur tiga belas tahun untuk ikut menyaksikan kiprah para pahlawan. Dan menumbuhkan dalam dirinya kecintaan untuk memperjuangkan Islam dan keinginan syahid serta mengikuti langkah orang-orang besar. Bahkan ia pernah membawa istrinya dalam peristiwa-peristiwa tersebut. Sebagaimana ia juga membawa mereka untuk pergi haji. Dan tak perlu dikatakan lagi bahwa ia juga membawa mereka untuk shalat berjamaah. Namun itu semua tidak menghalanginya untuk mencandai anak-anaknya dan bermain dengan mereka. Membuat mereka bergoyang, melantunkan syair-syair lembut untuk menghibur dan sekaligus merangsang kebaikan pribadi mereka.

Hanya saja wataknya yang keras dan begitu berakar di dalam dirinya, membuatnya kerap bersikap tegas kepada istri-istrinya, bahkan kepada istrinya, Asma’. Satu kali Asma’ pernah mengadukan hal itu kepada ayahnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Namun ia menyabarkannya dan memuji kebaikan-kebaikan Zubair! Dan di antara bentuk sikap kerasnya adalah perasaan cemburunya yang begitu besar, yang menjadikan Asma sangat menjaganya, bahkan dari Rasusullah Shallallahualaihi wa Sallam sekalipun! Maka Asma’ dan istri-istri yang lain pun bersabar dalam menjaga sikap cemburunya tersebut. Dan Zubair mampu membangun rumah tangga terbaik dalam masa awal keislaman.

Di sisi lain, Zubair menonjol dengan jiwa toleransi yang tinggi, ringan tangan, dan suka berbuat baik kepada orang lain. Zuhud dalam menghadapi jabatan dan harta, bahkan ia menolak untuk memimpin Mesir. Dan ketika Amirul Mukminin Umar bin Khaththab wafat, ia pun mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pegawai khalifah.

Zubair termasuk orang yang beruntung dalam perniagaannya. Duniapun sekaan datang menghampirinya, dan harta-harta mengalir ke tangannya. Ia pun membukakan tangannya lebar-lebar untuk menafkahkannya. Bahkan kebaikan hati dan kemuliaan akhlaknya, juga pergaulannya yang baik dengan orang lain, menjadikan banyak di antara tokoh lainnya yang baik dengan orang lain, menjadikan banyak di antara tokoh-tokoh shahabat yang mempercayakan anak-anak dan wasiat mereka kepada Zubair untuk dikelolanya. Bahkan Umar Al-Faruq menyarankan orang-orang agar mempercayakan harta mereka kepada Zubair. Sementara Zubair Radhiyallahu Anhu sendiri menganggap harta-harta tersebut sebagai sebuah amanah yang harus ia pertanggungjawabkan. Ia pun menjaga harta tersebut untuk mereka, mengasuh anak-anak mereka dan memberikan nafkah dari kelebihan hartanya. Namun demikian, Allah telah memberikan nafkah dari kelebihan hartanya. Namun demikian, Allah telah memberikan berkahnya pada harta warisan Zubair, yang jumlahnya mencapai puluhan juta dirham pada zaman itu!

1. Ibadahnya

Ibnu Asakir meriwayatkan dari Abu Raja’ Al-Utharidi, ia berkata, “Suatu hari aku melihat Zubair, lalu ia didatangi oleh seorang laki-laki dan berkata, “Ada apa dengan kalian wahai para shahabat Rasulullah? Aku melihat kalian sangat ringan dalam melaksanakan shalat! Ia menjawab, “Kami mendahului perasaan was-was yang akan mengganggu shalat kami”.

Hal ini diperjelas oleh apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasa’I, dan Ibnu Hibban dengan sanad hasan, dari Abu Bakar bin Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam, ia mengatakan, “Ammar bin Yasir shalat dua rakaat, dan meringankannya. Abdurrahman bin Al-Harits berkata kepadanya, “Wahai Abu Yaqzhan, aku lihat engkau meringkan shalatmu!” ia menjawab, “Sesungguhnya aku mendahului perasaan was-was yang akan menganggu shalatku. Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang melakukan shalat, dan mungkin saja ia tidak benar-benar berada dalam shalatnya kecuali hanya sepersepuluhnya, atau sepersembilannya, atau seperdelapannya, atau sepertujuhnya, dan atau seperenamnya,” hingga ia menghitung sesuatu”.

Dan Ibnu Asakir meriwayatkan dari Abdullah bin Zubair, “Aku bersama Zubair dari Syam kembali dari perang Yarmuk. Aku melihatnya shalat di atas kendaraannya kemanapun itu menghadap”

Dan begitulah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam. Dalam Shahih Bukhari dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu Anhuma, “Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam shalat di atas kendaraannya kemanapun itu menghadap. Dan jika hendak melaksanakan shalat fardhu, beliau turun dan menghadap kiblat.”

Dan Zubair berangkat menunaikan ibadah haji dengan istri dan anak-anaknya lebih dari sekali. Dan Asma’ mempunyai kisah yang unik dengan Zubair.

Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Urwah bin Zubir, ia berkata “Aisyah Radhiyallahu anha menceritakan kepadaku, “Hal pertama yang dilakukan Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam ketika sampai adalah berwudhu, kemudian thawaf. Dan itu bukan umrah. Kemudian Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu Anhuma menunaikan ibadah haji sepertinya.” “Kemudian aku melaksanakan haji bersama ayahku Zubair Radhiyallahu Anhu, dan hal pertama yang dilakukannya adalah thawaf. Dan aku juga menyaksikan orang-orang muhajirin dan anshar melakukan itu. Dan ibuku (Yaitu Asma binti Abu Bakar, dan saudarinya adalah Aisyah binti Abu Bakar) memberitahukan bahwa ia dan saudarinya, serta Zubair dan beberapa orang telah berihram untuk umrah. Ketika mereka selesai mengusap rukun, mereka pun bertahallul.”

Ahmad dan Muslim serta An-Nasa’I dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Asma’ binti Abu Bakar, “Kami datang bersama Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam, berihram untuk menunaikan haji. Ketika kami semakin dekat dengan Mekah, Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam berkata, “Siapa yang tidak mempunyai hewan sembelihan, hendaklah ia bertahallul. Dan siapa yang memiliki hewan sembelihan hendaklah ia tetap pada ihramnya.” Asma berkata, “Zubair memiliki hewan sembelihan, maka aku bertahullul. Akupun memakai pakaianku dan menggunakan wewangianku. Kemudian aku duduk di dekat Zubair. Dan ia berkata, “Menjauhlah dariku,” maka aku berkata, “Apakah kamu takut aku akan melompat kepadamu?!”

Perhatikanlah bagaimana wanita yang agung ini berbicara kepada suaminya pada kondisi itu, dan di tempat yang mulia itu, dan kemudian meceritakannya kepada seluruh dunia tentang keadaan para shahabat saat bersama Rasulullah  Shallallahualaihi wa Sallam, dan di tempat yang suci seperti itu.

An-Nasa’I dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Zubair  bin Awwam, “Barangsiapa di antara kalian yang mampu menabung amal shalihnya untuk akhirat, hendaklah ia melakukannya.”

2. Kisahnya bersama keluarganya dan rasa cemburunya yang begitu besar

Ibnu Sa’ad dan Ibnu Asakir meriwayatkan dari Maimun bin Mihran, “Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Mu’atih adalah istri dari Zubair bin Awwam. Dia mempunyai sikap yang keras kepada istri-istrinya. Dan Ummu Kultsum tidak menyukainya. Maka ia memintanya untuk menceraikannya, namun Zubair menolaknya. Hingga suatu hari ia merasakan sakit hendak melahirkan, sementara Zubair tidak mengetahuinya. Maka Ummu Kultsum mendesak Zubair untuk menceraikannya saat ia sedang berwudhu, Zubair akhirnya menjatuhkan talak satu. Kemudian ia keluar dari rumah Zubair dan melahirkan anaknya. Seseorang dari keluarga Zubair mengetahui hal ini dan segera memberitahukan Zubair bahwa ia telah melahirkan. Maka Zubair berkata, “Dia telah menipuku, semoga Allah menipunya! Ia segera mendatangi Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam dan menceritakan hal tersebut. Beliau bersabda, “Kitabullah telah menerangkan tentang hukum ini sebelumnya, pinanglah iakembali” Zubair menjawab, “Sungguh ia tidak akan pernah kembali kepadaku selamanya.”

Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Ikrimah, ia mengatakan, “Asma’ binti Abu Bakar adalah istri dari Zubair bin Awwam, dan ia bersikap keras kepadanya. Maka Asma mendatangi ayahnya dan mengadukan hal itu. Ayahnya berkata, “Wahai anakku, bersabarlah. Sesungguhnya seorang istri yang memiliki suami yang shalih, kemudian ia meninggal, dan sang istri tidak pernah menikah lagi, maka mereka akan kembali dikumpulkan di surga.”

Dan diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dan lafazh hadits darinya. Dari Urwah bin Zubair dan Fathimah binti Al-Mundzir bin Zubair, bahwa mereka berdua bercerita, “Asma binti Abu Bakar keluar untuk hijrah saat dia mengandung Abdullah bin Zubair. Sampai kemudian ia tiba di Quba’. Dan Abdullah pun lahir di Quba’. Setelah melahirkan ia keluar menemui Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam agar beliau memberi kunyahan kurmah pada si bayi. Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam mengambil bayi itu darinya dan beliau meletakkan nya di pangkuan beliau. Kemudian beliau meminta kurma. Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Kami harus mencari sebentar sebelum mendapatkannya. Beliau mengunyah kurma itu lalu memberikannya ke mulut bayi sehingga yang pertama tama masuk ke perutnya adalah kunyahan Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam. Selanjutnya Asma berkata, “Kemudian Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam mengusap bayi, mendoakan dan memberinya nama Abdullah. Tatkala anak itu berumur tujuh atau delapan tahun, ia datang untuk berbaiat kepada Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam. Ayahnya, Zubair yang memerintahkan demikian. Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam tersenyum saat melihat anak itu datang menemuinya. Kemudian beliau membaiatnya.”

Dan dalam sistem pendidikan yang diterapkan oleh Zubair ini, kita dapat mengambil sebuah pelajaran penting. Bahwa walaupun bai’at dari seorang anak kecil, Abdullah saat itu berusia tujuh atau delapan tahun, kepada Nabi Shallallahualaihi wa Sallam merupakan bai’at tabrik (mendapatkan keberkahan) dan tasyrif (penghormatan dan penghargaan), dan bukan bai’at taklif (kewajiban), namun itu bertujuan untuk menumbuhkan nilai-nilai yang mulia dalam jiwa si anak, dan membangun kepribadiannya. Juga melatihnya untuk mencintai Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam, mengikuti petunjuknya, serta membela agamanya. Dan disana terdapat hikmah dari dibolehkannya anak-anak kecil yang cerdas untuk mengikuti majelis-majelis laki-laki dewasa agar meeka bisa mendengar pembicaraan mereka, menarik pelajaran dari kebijaksanaan mereka, tercerahkan dengan pemikiran-pemikiran mereka, dan mengambil manfaat dari pembicaraan mereka.

Zubair pun terus menjulang ke tempat yang lebih tinggi bersama anak-anaknya. Telah kami ceritakan sebelumnya bahwa ia memabwa putranya Abdullah saat berusia kurang dari lima tahun, untuk menyaksikan perang Khandaq dari benteng bersama dengan para wanita. Ini dilakukannya untuk menumbuhkan kecintaan berjihad di jiwa anaknya. Padahal ia bisa saja meninggalkan anaknya di rumah bersama dengan harta dan keturunan yang lain.

Bahkan ia melakukan perjalanan ke Syam dan membawanya untuk menyaksikan perang Yarmuk saat berusia sekitar tiga belas tahun. Dan menugaskan seseorang untuk menjaganya agar ia tidak ikut menyerbu ke medan tempur. Karena zubair mengetahui kekuatan jiwa dan keberanian hati yang dimiliki oleh putranya, yang tentunya diwarisinya dari ayahnya, semoga Allah meridhai keduanya.

Mari kita cermati sebuah kisah yang diceritakan oleh Mush’ab Az-Zubairi dalam Nasab Quraisy, tentang keikutsertaan Abdullah bin Zubair dalam perang Afrika bersama Abdullah bin Sa’ad Sarh pada tahun 27 H. Serta kisah tentang kepahlawanannya yang mengagumkan dalam menghadapi George raja romawi dengan pasukannya yang berjumlah seratus dua puluh ribu prajurit, dan kemenangan yang diraih oleh kaum muslimin.

Abdullah bin Zubair berkata, “Ibnu Abi Sarh emengutusku untuk membawakan kabar gembira kepada Utsman bin Affan. Maka aku mendatanginya dan mengabarkan kemenangan yang dikaruniakan oleh Allah. Aku juga menceritakan keadaan kami di sana. Ketika aku selesai berbicara, dia berkata, “Apakah engkau bisa mengabarkan ini kepada orang-orang?”. Aku menjawab, “Apa yang menghalangiku untuk melakukan itu?, anda lebih aku segani daripada mereka semua!” Ia berkata, “Pergilah ke masjid dan kabarkanlah kepada mereka.” Akupun menuju masjid, dan menaiki mimbar. Tiba-tiba aku melihat wajah Zubair bin Awwam, dan wibawanya membuatku gugup! Diapun mengetahui itu, maka dia mengambil segenggam kerikil, dan medekatkan wajahnya ke wajahku, dan seolah dia hendak melemparku dengan kerikil tersebut. Maka aku kuatkan hatiku dan mulai berbicara. Setelah aku selesai, ayahku Zubair berkata, “Seolah aku mendengar Abu Bakar Ash-Shiddiq yang berbicara! Siapa yang ingin menikah seorang wanita, hendaklah ia melihat ayah atau saudaranya, karena ia akan mempunyai sifat salah satu di antara mereka.”

Ini merupakan sebuah warna baru dari adab dan pendidikan.

Adapun yang berkenaan dengan adab, telah diketahui bahwasanya Abdullah bin Zubair mampu berbicara di hadapan khalifah dengan fasih dan jelas. Dan kemudian bermaksud untuk menyampaikan hal yang sama kepada orang-orang masjid yang dipenuhi oleh para shahabat. Namun ketika wajahya bertemu dengan wajah ayahnya, ia dikuasai oleh wibawa ayahnya. Dan menjadi gugup untuk berbicara di hadapan ayahnya. Dan menjadi gugup untuk berbicara di hadapan ayahnya yang begitu agung dan mempunyai kedudukan yang tinggi di hatinya. Ia diliputi kegalauan, bagaimana mungkin dia akan berbicara di atas mimbar itu sementara ayahnya hadir di sana?!

Sedangkan yang menyangkut pendidikan, terlihat hekas dari sikap yang diambil oleh Zubair, yang dengan kecerdasannya segera mengetahui kegugupan putranya. Ia pun menyayangkan sikap itu. Sungguh ia begitu kagum ketika melihat putranya bersiap untuk berbicara pada situasi tersebut, di mana terdapat banyak sekali shahabat-shahabat besar, termasuk di antara mereka ayahnya sendiri! Abdullah melihat tangan ayahnya memegang tanah masjid dengan geram dan menggenggam kerikil siap untuk dilemparkan kepadanya. Maka pemuda inipun segera menyampaikan pembicaraannya dengan kefasihan Abu Bakar dan bahkan dengan nada suara yang sama. Hal ini amat mengembirakan ZUbair, sampai ia berkata, “Seolah aku mendengar Abu Bakar yang berbicara!!” Abu Bakar adalah kakek dari Abdullah melalui ibunya Asma’. Di sini terdapat isyarat tentang pentingnya memilih istri dari tunas yang baik.

Kekerasan Zubair ini diimbangi dengan kelembutan dan kasih sayang disaat itu dibutuhkan. Maka kita lihat ia bercanda dengan anak-anaknya, bermain bersama mereka, bersyair untuk mereka, dan berbicara dengan meeka. Jadi, pada setiap kondisi mempunyai petunjuk yang berbeda, dan pada setiap tempat juga terdapat perkataan yang berbeda pula.

Kisah Sayyidah Dzatun Nithaqain (julukan bagi Asma’ binti Abu Bakar yang berarti yang mempunyai dua ikat pingga) yang mulia bersama suaminya Zubair tentang rasa cemburunya yang tinggi serta kepandaiannya dalam menjaga hati suaminya, menarik untuk disimak dan diambil pelajaran darinya, serta layak untuk dihargai.

Asy-Syaikhani (Al-Bukhari dan Muslim) dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, “Asma binti Abu Bakar berkata, “Ketika Zubair bin Awwam menikahiku, dia tidak mempunyai apapun di muka bumi ini, baik itu harta, budak, atau apapun juga, selain kuda dan tukang siram. Akulah yang memberi makan kudanya, mencukupi bahan makanannya, mengurusnya, menumbukkan biji kurma bagi penyiram kebunnya, memberi makan, memberi minum, menjahitkan timbanya dan membuatkan adonan rotinya. Tapi aku tidak pandai membuat roti karena itu para wanita Anshar tetanggakulah yang membuatkan roti, dan mereka adalah tetangga yang baik. Dan aku biasa membawa biji-biji kurma dari tanah Zubair yang diberikan oleh Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam kepadanya, di atas kepalaku sejauh dua pertiga farsakh.

Asma’ berkata, “Pada suatu hari, aku bertemu Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam dan para shahabatnya dari golongan Anshar, ketika aku sedang membawa biji-bijian di atas kepalaku. Beliau memanggilku dan berkata, “ikh, ikh” (untuk menurunkan untanya), segera beliau menderumkan untanya agar aku naik di belakangnya”. Kemudian Asma’ melanjutkan, “Namun aku malu berjalan bersama para lelaki. Dan aku ingat akan Zubair dan rasa cemburunya yang besar, bahkan dia adalah laki-laki yang paling pencemburu”. Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam mengetahui bahwa aku merasa malu, maka beliau kembali melanjutkan perjalanan. Kemudian aku mendatangi Zubair, dan aku katakan : “Tadi aku bertemu dengan Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam ketika sedang membawa biji-bijian diatas kepalaku, sementara beliau dengan shahabat-shahabatnya, kemudian beliau menurunkan untanya agar aku bisa naik, tapi aku malu kepadanya dan aku juga sadar akan cemburumu. Zubair berkatam, “Demi Allah! Engkau memanggul biji kurma di atas kepalamu adalah lebih berat bagiku daripada engkau menunggang bersama beliau.” Asma’ berkata, “Sampai kemudian Abu Bakar mengirimkan seorang pembantu yang mengambil alih pengurusan kuda dariku, sungguh seakan-akan ia telah membebaskanku.”

Lihatlah betapa wanita yang mulia ini rela memanggul biji kurma di atas kepalanya dari tempat yang cukup jauh, berjarak dua pertiga farsakh. Satu farsakh (5,5 Km), artinya sejauh kurang lebih 4km. Dan ia tetap sabar dan menerima dengan penuh keikhlasan dan kehormatan. Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam melihat beratnya pekerjaan yang ia lakukan, maka beliau menurunkan untanya agar bisa membonceng nya. Beliau adalah pemimpin dari umat ini, dan suami dari Aisyah yang merupakan saudari dari Asma’. Pada saat itu beliau bersama beberapa orang shahabatnya. Asma’ merasa malu dan ingat akan sifat cemburu suaminya. Maka ia memilih untuk melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki walaupun dengan tubuh yang amat letih ini. Ini dilakukannya demi menjaga perasaan suaminya. Ketika ia menyampaikan ini kepada suaminya, Zubair merasa susah, karena hal itu (karena hal itu berboncengan dengan Rasulullah) tidak akan membangkitkan rasa cemburunya. Dan dalam sebuah riwayat dari Muslim, dari Ibnu Abi Mulaikah, “Bahwasanya Asma berkata, “Aku biasa mengurus rumah Zubair, dan ia mempunyai seekor kuda. Aku mengurus kuda tersebut, padahal tidak ada yang lebih berat bagiku selain dari mengurus kuda. Aku memotong rumput untuk makannya, memberinya makan, daan mengurus kebutuhannya.” Ibnu Abi Mulaikah melanjutkan, “Kemudian ia mendapatkan seorang pembantu. Saat itu Nabi Shallallahualaihi wa Sallam mendapatkan seorang tawanan perang, dan beliau memberikannya untuk Asma’ sebagai pembantu. Asma’ berkata, “Ia mengambil alih mengurus kuda. Dan membebaskanku dari tugas memberi makannya.”

Lalu suatu hari seorang laki-laki datang kepadaku dan berkata, “Wahai Ummu Abdullah, aku adalah seorang laki-laki miskin, aku ingin berjualan di depan rumahmu.” Asma’ menjawa, “Sesungguhnya kalau aku membolehkanmu, niscaya Zubair akan melarang. Maka kembalilah nanti, dan mintalah hal itu kepadaku saat Zubair ada dirumah.” Laki-laki itu kembali kemudian dan berkata, “Wahai Ummu Abdullah, aku adalah seorang laki-laki miskin, aku ingin berjualan di depan rumah mu.” Asma’ Menjawab, “Kenapa engkau harus memilih rumahku dari sekian banyak rumah di Madinah ini?!” Maka zubair berkata kepadanya, “Kenapa engkau melarang seorang laki-laki miskin untuk berjualan?!”. Laki-laki itupun berjualan hingga ia mendapatkan laba, dan aku menjual seorang budak wanita kepadanya. Lalu Zubair menemuiku dan uang hasil penjualan itu masih ada dalam pangkuanku, maka ia berkata, “Berikanlah itu kepadaku.” Asma’ menjawab, “Sesungguhnya aku telah menyedekahkannya.”

Ini adalah sebuah kecerdasan yang ditunjukkan oleh shahabiyah yang mulia ini dalam bersikap, dan menunjukkan kepintarannya dalam menyiasati permintaan laki-laki miskin tersebut, dengan mencari cara mendapatkan izin dari Zubair dan mengambil hatinya. Dengan begitu ia bisa memberikan kebaikan untuk laki-laki miskin tersebut dengan izin langsung dari suaminya.

Bersambung Insya Allah . . .

Artikel http://www.SahabatNabi.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.