Categories
Thalhah Bin Ubaidillah

Biografi Sahabat Nabi, Thalhah Bin Ubaidillah : Bersama Khulafaur Rasyidin, Mengalami Masa Terjadinya Fitnah, dan Kisah Syahidnya (Seri 12)

F. Bersama Khulafaur Rasyidin, Mengalami Masa Terjadinya Fitnah, dan Kisah Syahidnya

3. Bersama Utsman bin Affan

Utsman merupakan salah seorang tokoh shahabat terkemuka dan satu dari khulafaur rasyidin yang empat, yang perjalanan hidup mereka terbang tinggi di cakrawala, dan menjadi penunjuk jalan bagi pelayar. Masa pemerintahannya merupakan masa yang penuh berkah dan sesai dengan jalan kenabian, sebagaimana yang disebutkan dalam banyak hadits shahih.

Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’I, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan yang lainnya, dari Sa’id bin Juhman, dari Safinah ia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya kalian akan menemui fitnah dan perselisihan setelahku atau beliau mengatakan perselisihan dan fitnah” Lalu salah seorang bertanya, “Siapa yang harus kami ikuti wahai Rasulullah?” beliau berkata, “Hendaklah kalian bersama Al-Amin dan para shahabatnya.” Dan dengan itu beliau menunjuk kepada Utsman.”

Dalam sebuah hadits shahih lain yang diriwayatkan oleh Ahmad, At-Tirdmidzi, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Hibban, dan yang lainnya dari Murrah bin Ka’ab Al-Bahzi berkata, “Ketika kami sedang bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada salah satu jalanan kota Madinah, beliau berkata, “Apa yang akan kalian lakukan dalam menghadapi fitnah yang akan menyebar di seluruh penjuru bumi bagaikan tanduk sapi (beliau mengibaratkan fitnah dengan tanduk sapi karena kekerasan dan kesulitan hidup saat itu).?” Mereka berkata, “Apa yang harus kami lakukan wahai Nabi Allah?”, berliau berkata, “Hendaklah kalian bersama ini dan para shahabatnya atau ikutilah ini dan para shahabatnya.” Ia berkata, Maka aku mempercepat jalanku hingga aku lelah, setelah berhasil menyusul laki-laki itu aku berkata, “Orang ini wahai Rasulullah?” beliau berkata, “Ini” dan ternyata orang tersebut adalah Utsman bin Affan Radhiyallahuan Anhu.”

Seluruh shahabat juga telah memberikan kesaksian tentang kedudukannya yang tinggi di sisi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan juga di sisi mereka. Mereka mengetahui dengan baik berbagai keutamaan, kelebihan, dan kontribusinya yang besar dalam membela Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dakwah beliau dan umatnya. Ia membaktikan diri dan hartanya untuk agama dan keberlangsungan risalahnya. Dan yang terdepan dalam memberikan kesaksian tersebut adalah tokoh-tokoh terkemuka shahabat seperti Abu Bakar dan Umar, Thalhah, Zubair, Sa’ad bin Abu Waqqash, Sa’id bin Zaid, Abdurrahman bin Auf, Abdullah bin Umar, dan tokoh-tokoh lainnya. Mereka juga mendengar bahwa ia adalah salah seorang ahli surga dari lisan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sendiri, dan bahwa ia adalah seorang shiddiq, syahid, dan khalifah yang akan dibunuh secara zhalim, sementara ia berada dalam kebenaran yang nyata. Semua itu terdapat dalam banyak hadits shahih yang masyhur yang diriwayatkan melalui banyak jalan oleh banyak shahabat.

Sebagaimana Utsman, para shahabat juga mengetahui bahwa orang-orang yang memberontak kepada Utsman tersebut adalah sekelompok bathil, yang datang ke  Madinah untuk bersekongkol dengan tujuan mencopotnya dari kursi khalifah dan kemudian membunuhnya. Mereka adalah orang-orang munafik sebagaimana yang ditegaskan langsung oleh lisan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Mereka juga mengetahui bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah melarang Utsman untuk mengikuti pendapat mereka yang salah atau mengabulkan permintaan mereka yang penuh kesesatan tersebut.

Dalam sebuah hadits shahih yang dirawayatkan oleh Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim dari ummul mukminin Aisyah berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Wahai Utsman, sesungguhnya Allah akan memakaikanmu sebuah baju, jika orang-orang munafik menginginkanmu untuk melepasnya, maka janganlah engkau lepaskan hingga engaku datang menemuiku.”

Dan dalam sebuah riwayat, “Wahai Utsman, Jiika Allah mengamanahkan perkara ini kepadamu suatu hari nanti, dan orang-orang munafik berkeinginan untuk melepaskan baju yang telah dipakaikan Allah kepadamu, maka janganlah engkau lepaskan.” Beliau mengetakan itu sampai tiga kali.”

Para shahabat telah membaia’at Utsman bin Affan, dan mereka ridha atasnya sebagai khalifah bagi kaum muslimin, karena kelayakannya, keutamaannya, dan atas apa yang telah ia lakukan. Mereka telah setuju dalam hal itu, dan sepakat atas pemilihannya. Dan mereka tidak mungkin sepakat kecuali terhadap orang yang terbaik di antara mereka dan yang paling tepat untuk kebaikan agama dan dunia mereka, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadits tentang penunjukan khalifah.

Al-Imam Ibnu Taimiyah menukil dalam kitabnya Minhaj As-Sunnah perkataan Al-Imam Ahmad bin Hanbal, “Kaum muslimin tidak pernah mencapai kesepakatan untuk berbai’at sebagaimana kesepakatan mereka dalam membai’at Utsman. Kaum muslimin memilihnya setelah bermusyawarah selama tiga hari. Mereka saling menyatu dan mencapai kesepakatan, saling mengasihi di antara mereka, dan mereka semua juga berpegang teguh kepada tali Allah.”

Dan yang terdepan dalam barisan pembaia’at adalah Ali, Thalhah, Zubair, dan Sa’ad. Bahkan Thalhah adalah satu di antara enam orang yang dicalonkan menjadi khalifah. Ia mundur dari haknya dan memberikan suaranya untuk Utsman sebagaimana yang terdapat di hadits tentang bai’at.

Abdurrahman bin Auf berkata kepada tim enam yang telah ditunjuk Umar untuk memilih khalifah dari mereka, “Serahkanlah urusan ini kepada tiga orang dari kalian. Maka zubair berkata, “Aku telah menyerahkan urusanku kepada Ali.” Dan Sa’ad berkata, “Aku telah menyerahkan urusanku kepada Abdurrahman.” Lalu Thalhah berkata, “Aku telah menyerahkan urusan kepada Utsman.”

Thalhah dan para shahabat lainnya, khususnya shahabat-shahabat besar tetap berada dalam jalur sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam hal ketaatan kepada pemimpin, tetap bersama jamaah, dan menasihati pemimpin, serta berusaha membawa kebaikan bagi kaum muslimin. Mereka tidak pernah mengubah pendiriran mereka dalam hal ini. Ketika terjadi peristiwa fitnah yang painya membakar orang-orang yang menyimpan niat yang busuk, dan kedengkian yang dalam, serta datang ke Madinah dengan maksud menggulingkan khalifah, Amirul Mukminin Alaihi wa Sallam dan tetap bersikap sabar dan menguatkan kesabaran dan keimanannya. Shahabat-shahabatnya yang ada disana berada di sampingnya untuk memberi dukungan,  yang terdepan adalah Ali dan kedua putranya, pemuka pemuda surga hasan dan Husain, lalu Thalhah, Zubair, dan putranya Abdullah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Anas bin Malik, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, dan masih banyak lagi selain mereka.

Pasukan pemberontak yang sesat datang menyerang dari mesir dan Irak ke Madinah, dan membagi pasukan mereka ke dalam dua belas kelompok: empat kelompok dari Mesir, empat dari Kufah, dan empat lainnya dari Bashrah. Setiap kelompok berisi seratus lima puluh orang. Artinya dari setiap wilayah tersebut berjumlah enam ratus orang, dan jumlah keseluruhan yang berasal dari tiga wilayah adalah seribu delapan ratus orang.

Lalu mereka pun bergerak sesuai dengan kesepakatan yang telah mereka buat. Mereka bergabung dengan kafilah-kafilah biasa agar kedok mereka tidak terungkap, hingga akhirnya mereka mengambil posisi di sekitar kota Madinah pada bulan Syawwal sebagaimana perjanjian mereka dalam surat-surat mereka. Orang-orang yang datang dari Bashrah mengambil tempat di Dzu Khusyub (Sebuah lembah yang berjarak sekitar 35km dari Madinah), orang-orang dari Kufah mengambil tempat di Al-A’wash (Sebuah lembah di timu Madinah, berjarak sekitar belasan mil darinya), lalu mereka di datangi oleh orang-orang yang datang dari Mesir, dan sebagian besar dari mereka kemudian mengambil tempat di Dzul Marwah (Sebuah desa di sekitar Madinah, dan dianggap sebagai bagian dari Wadil Qura).

Dua orang dari mereka kemudian memasuki Madinah untuk melihat situasi dan mencari tahu bagaimana mereka semua bisa masuk untuk mengepung Utsman dan menggulingkannya. Lalu mereka berdua mendatangi istri-istri Nabi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, juga Ali, Thalhah, dan Zubair. Mereka berkata, “Kami adalah pengikut keluarga ini, dan kami hanya ingin meminta khalifah ini untuk mencopot beberapa gubernur kami, hanya itu tujuan kami.” Lalu mereka minta agar seluruh rombongan mereka diizinkan untuk memasuki Madinah. Namun mereka semua menolak dan berkata, “Telur ini tidak boleh dipecahkan!!”

Mereka pun kembali ke tempat mereka dan menyampaikan berita kepada kelompok mereka. Lalu mereka bermusyawarah dan memutuskan untuk mengirim tiga rombongan utusan yang terdiri dari penduduk Mesir, Kufah, dan Bashrah.

Orang-orang Mesir mendatangi Ali bin Abi Thalib yang sedang berada bersama pasukan di Ahjaruz-Zait (Sebuah desa di sekitar Madinah, dan dianggap sebagai bagian dari Wadil Qura) dengan pedang terhunus. Ia telah mengutus putranya Hasan ke rumah Utsman bersama orang-orang yang berkumpul di sana. Jadi Hasan tetap berada bersama Utsman, sementara Ali bertahan di Ahjaruz-Zait. Orang-orang mesir mengucapkan salam dan menyampaikam maksud mereka dengan kata-kata sindiran. Ali membentak mereka dengan keras dan mengusir mereka. Ia berkata, “Orang-orang shalih telah mengetahui bahwasanya pasukan Dzul Marwah dan Dzu Khusyub terlaknat melalui lisan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Kembalilah kalian, Allah tidak akan bersama kalian.” Mereka berkata, “Baiklah” dan mereka pun meninggalkannya dengan hasil demikian.

Sementara itu orang-orang Bashrah mendatangi Thalhah yang juga sedang berada bersama pasukan lain disamping Ali. Ia juga telah mengutus dua putranya untuk melindungi Utsman. Mereka mengucapkan salam dan menyampaikan maksud mereka dengan kata-kata sindirian. Thalhah membentak mereka dengan keras dan mengusir mereka. Ia berkata, “Orang-orang mukmin telah mengetahu bahwasanya pasukan Dzul Marwah, Dzu Khusyub, dan Al-A’Wash terlaknat melalui lisan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam” dan mereka pun kembali ke perkemahan mereka.

Lalu para pemberontak tersebut pura-pura kembali ke negeri-negeri mereka untuk mengelabui penduduk mereka. Maka mereka membongkar perkemahan, dan meninggalkan kota Madinah agar penduduknya mengira bahwa semuanya telah selesai, sehingga mereka bisa tenang dan meletakkan kembali senjata mereka dan hilang kewaspadaan! Padahal sebenarnya mereka telah bertekad untuk mengadakan serangan mendadak yang mengejutkan setelah mereka berhasil menyusun strategi dan siap untuk melaksanakannya. Mereka berkeyakinan bahwa tak ada lagi jalan lain selain menggulingkan khalifah, jika ia menolak mereka akan membunuhnya. Dan ini tidak akan bisa terjadi kecuali dengan serang mendadak yang mengejutkan. Untuk itu mereka harus memiliki alas an yang tepat untuk mengarahkan pendukung mereka, juga untuk penduduk Madinah ketika nanti orang-orang melihat mereka kembali. Karena itulah dua orang dari mereka tetap tinggal, yaitu Al-Asytar An-Nakha’I dan Hukaim bin Jabalah, dan mereka pun menetap di Madinah untuk suatu urusan yang telah mereka rencanakan!!

Maka mereka membuat sebuah surat palsu atas nama Utsman yang ditujukan kepada gubernurnya di Mesir yang memerintahkannya untuk menyali para pemberontak tersebut, atau membunuh mereka, atau memotong kaki dan tangan mereka dengan bersilang, jika mereka kembali ke Mesir!

Para pemberontak yang terdiri dari orang-orang Mesir pun kembali ke Madinah, dan bersama mereka terdapat Muhammad bin Abu Bakar. Kelompok yang terdiri dari orang-orang Irak pun kembali ke Madinah, dan mereka semua tiba pada saat yang bersamaan seolah telah ada kesepakatan sebelumnya di antara mereka!! Penduduk Madinah dikejutkan oleh Takbir yang menggema di sekeliling kota. Para pemberontak telah menyerang kota mereka, dan mengepung kota, sementara kebanyakan dari mereka berada di rumah Utsman, dan mereka berkata, “Siapa yang menahan dirinya akan selamat.”

Utsman masih bisa memimpin kaum muslimin dalam melaksanakan shalat, dan orang-orang tetap berada di rumah mereka. Dan belum ada yang di larang untuk berbicara. Lalu beberapa penduduk Madinah mendatangi para pemberontak untuk berbicara, di antara mereka terdapat Ali, ia berkata, “Apa yang mengembalikan kalian ke sini setelah kalian pulang dan mundur dari maksud kalian sebelumnya?” mereka berkata, “Kami berhasil merebut sebuah surat yang memerintahkan untuk membunuh kami!” Begitu pula yang dikatakan oleh orang-orang Bashrah kepada Thalhah, dan orang-orang Khufah kepada Zubair. Orang-orang Kufah dan Bashrah berkata, “Kami akan menolong saudara-saudara kami dan membela mereka semua.” Maka Ali berkata kepada mereka, “Wahai penduduk Kufah dan Bashrah, bagaimana kalian mengetahui apa yang dialami penduduk Mesir, sementara kalian telah kembali dengan bergelombang, lalu tiba-tiba kalian telah kembali secara bersama-sama kepada kami?! Demi Allah, hal ini pasti telah direncanakan di Madinah!!” mereka berkata, “Terserah kalian mau berkata apa, kami tidak menginginkan khalifah ini, hendaklah ia turun.

Para pemberontak kemudian mulai menyebar di penjuru Madinah sebagian dari mereka berdiam di sekeliling masjid Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Utsman tetap menjadi imam, dan penduduk Madinah serta para pemberontak pun ikut shalat di belakangnya. Utsman tetap berada dalam kondisi ini selama lebih kurang dua puluh hari. Di mata Utsman, para pemberontak tersebut lebih hina dari tanah. Beberapa orang masih bisa menemui Utsman, para pemberontak tidak melarang siapapun untuk berbicara, namub mereka melarang untuk berkumpul!

Pada hari jumat, Utsman berangkat keluar untuk shalat di masjid sementara pemberontak berada di sekitar masjid. Lalu para penduduk Madinah mengerubungi Utsman dan mencela apa yang dilakukan oleh kaum pemberontak. Maka para pemberontak mendatangi penduduk Madinah tersebut dan mengancam mereka, maka Utsman berbicara dengan mereka, dan kemudian ia melaksanakan shalat Jumat bersama mereka. Lalu Utsman naik mimbar dan mengarahkan khutbahnya untuk kaum pemberontak, ia berkata, “Wahai kalian para pemberontak ingatlah Allah, Allah! Demi Allah, sesungguhnya penduduk Madinah telah mengetahui bahwa kalian terlaknat melalui lisan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka hapuslah kesalahan kalian dengan perbuatan yang benar, sesungguhnya Allah tidak akan menghapus kejahatan kecuali dengan kebaikan.”

Maka Muhammad bin Maslamah bangkit dan berkata,  “Aku bersaksi untuk itu.” Namun Hukaim bin Jabalah menariknya dan mendudukkan nya kembali. Lalu Zaid bin Tsabit juga bangkit dan berkata, “Berikan padaku surat itu.” Maka ia pun di serang oleh Muhammad bin Abu Qutairah dari sisi lain dan didudukkan kembali, dan kemudian para pemberontak pun mengamuk dan melempari orang-orang hingga berhasil mengeluarkan mereka dari masjid, mereka juga melempari Utsman hingga ia terjatuh dari mimbar dalam keadaan pingsan. Maka Utsman di bopong dan dibawa ke rumahnya!! Lalu beberapa orang shahabat menyisingkan lengan mereka dan melawan para pemberontak. Di antara mereka terdapat Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Hurairah, Zaid bin Tsabit, dan Hasan bin Ali. Namun Utsman mengutus seseorang yang meminta mereka untuk membubarkan diri, maka mereka pun pergi.

Kemudian Ali, Thalhah, dan Zubair mendatangi Utsman untuk menjenguknya, dan mengungkapkan kesedihan mereka yang sangat dalam, setelah itu mereka kembali ke rumah masing-masing.

Para pemberontak kemudian memperketat pengepungan terhadap Amirul Mukminin. Tapi Utsman tetap bisa berhubungan dengan orang dan para tokoh shahabat. Kemudian mereka semakin memperketat pengepungan dan mempersempitnya, hingga mereka melarang apapun yang dikirim untuknya, baik itu makanan, bahkan air dan juga pergi ke masjid. Mereka mengancam akan membunuhnya. Maka Utsman hanya bisa berdiri dan mengawasi mereka dari rumahnya. Ia berusaha menasihati mereka, dan mengingatkan mereka tentang keutamaan dan kelebihan yang dimilikinya dengan harapan agar mereka sadar dan meninggalkan perbuatan mereka. Maka ia berbicara kepada mereka dengan nama Allah, sementara para shahabat mendengarkan. Ia berkata, “Aku hanya ingin mengingatkan para shahabat, lalu ia menyebutkan tentang pembelian sumur Rumah, perluasan masjid Nabawi, pasukan yang disiapkannya dalam masa sulit, juga ketika ia bersama sedang Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam di gunung Tsabir di Mekah, lalu gunung itu berguncang dan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, “Tenanglah wahai Tsabir, sesungguhnya yang ada di atasmu hanyalah seorang Nabi, Shiddiq, dan dua orang Syahid.” Dan para shahabat bersaksi atas setiap yang diucapkannya dan mereka membenarkannya.”

Lalu ia berkata, “Wahai Thalhah, demi Allah, tidakkah engkau mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, “Hendaklah setiap orang dari kalian memegang tangan kawan duduknya.” Dan beliau memegang tanganku dan berkata, “Inilah kawan dudukku di dunia dan akhirat?” Thalhah menjawab, “Iya”.

Para pemberontak terus memperketat kepungan mereka. Mereka melarang siapapun untuk masuk menemuinya atau keluar dari rumahnya, hingga keadaan jadi semakin sulit bagi Utsman. Ash-Sha’bah binti Al-Hadhrami ibu Thalhah berkata kepada anaknya, “Sesungguhnya pengepungan Utsman telah semakin ketat, cobalah berbicara kepada mereka agar ia dilepaskan.

Utsman mendekati keluarga Amru bin Hazm yang merupakan tetangganya, dan mengutus salah seorang anak dari Amru untuk mengabarkan kepada Ali bahwasanya para pemberontak telah menahan air dari kami, jika kalian bisa mengirimkan sedikit air untuk kami maka lakukanlah! Ia juga mengutus orang untuk menemui Thalhah dan Zubair, juga kepada Aisyah dan istri-istri Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam lainnya. Dan yang pertama kali datang memberikan pertolongan adalah Ali dan Ummu Habibah.

Ali membawa sekantung air, dan dengan susah payah berhasil membawanya untuk Utsman, setelah menerima kata-kata kasar dan tunggangannya diusir oleh para pemberontak. Mereka bahkan melakukan yang lebih buruk dari itu terhadap Ummul Mukminin Ummu Habibah. Mereka berhasil mencederainya, dengan memotong tali keledainya hingga ia terjatuh dan hamper terbunuh. Jika orang-orang tidak segera mengejar keledai itu dan memeganginya, pastilah akan terjadi sesuatu yang sangat besar.

Thalhah dan Zubair mendengar apa yang di alami oleh Ali dan Ummu Habibah, maka mereka tetap berdiam di rumah mereka, dan Utsman berada di rumahnya dengan bantuan air dari keluarga Hazm di saat para penjaga sedang lengah!

Pengepungan terus berlangsung dirumah Utsman hingga berakhir nya hari-hari tasyriq, dan orang-orang kembali dari haji. Para pemberontak diberitahu bahwa orang-orang yang melaksanakan haji pada musim itu telah bertekad untuk kembali ke Madinah guna membla Amirul mukminin. Mereka juga mengetahu tentang bergeraknya pasukan dari Syam, Kufah, dan Bashrah untuk membantu khalifah. Maka mereka semakin memperketat pengepungan mereka dan memaksa Utsman untuk mengundurkan diri. Namun ia menolak dan tetap berpegang teguh kepada wasiat Nabi, “Wahai Utsman, sesungguhnya barangkali Allah akan memakaikanmu sebuah baju, jika mereka menginginkanmu untuk melepasnya, maka jangan engkau lepaskan.”

Para shahabat mendatangi Utsman dan bertanya, “Tidaklah engkau memerangi mereka?” ia menjawab, “Tidak, sesungguhnya Rasulullah telah menjanjikan sesuatu kepadaku, dan aku akan bersabar untuknya.” Saat itu di rumahnya telah bersiap tujuh ratus pejuang terbaik, jika ia mau, ia bisa menggerakkan mereka untuk memukul para pemberontak tersebut dan mengeluarkan mereka dari penjuru Madinah. Namun Utsman tidak menginginkan adanya pertempuran. Ia menunjuk Abdullah bin Zubair untuk memimpin pasukan yang berada di rumahnya saat itu, ia berkata, “Siapakah yang menaatiku, maka hendaklah ia menaati Abdullah bin Zubair.”

Ali juga telah mengutus Hasan dan Husain untuk menjaga Utsman, Thalhah pun mengutus dua putranya, Muhammad dan yang lainnya, sementara Zubair menugaskan putranya Abdullah. Sehingga saat itu yang menjaga Utsman di rumahnya adalah Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, Sa’ad bin Al-Ash, Al-Mughirah bin Al-Akhnas bin Syariq, Marwan bin Al-Hakam, dan banyak lainnya, lengkap dengan senjata masing-masing. Namun Utsman mengatakan kepada mereka, “Aku ingin kalian pulang dan meletakkan senjata kalian lalu berdiam di rumah masing-masing.”

Ini menunjukkan bahwa tidak seorangpun dari shahabat yang membiarkan Utsman, atau berpangku tangan melihatnya, maupun rela dengan pengepungan dan pembunuhannya. Utsman sendiri yang melarang para shahabat untuk berperang, ia lebih memilih bahaya yang lebih ringan. Maka ia memutuskan untuk mengorbankan dirinya daripada semakin meluasnya fitnah yang mengakibatkan tumpahnya darahnya sendiri dengan sukarela, semoga Allah meninggikan derajatnya di taman-taman surga.

Akhirnya para pemberontak yang sesat itu memutuskan untuk membunuh Utsman. Mereka menerobos masuk rumahnya, dan bergumul dengan para shahabat yang bertugas melindungi Amirul Mukminin. Mereka membawa api dan membakar pintu dan ruang pertemuan. Lalu tokoh-tokoh sesat mereka berhasil masuk menemui Utsman dan menumpahkan darahnya yang suci saat ia sedang membaca Al-Quran. Darahpun mengalir membasahi mushhaf, hingga darah tersebut berhenti di firman Allah Ta’ala, “Maka Allah mencukupkan engkau (Muhammad) terhadap mereka (dengan pertolongannya). Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui (QS. Al-Baqarah [2]:137.)

Beritapun sampai ke telinga Thalhah, dan ia berkata, “Semoga Allah merahmati Utsman dan menolongnya dan Islam.” Lalu dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya mereka telah menyesal!” Ia berkata, “Celakalah mereka! Lalu ia membaca ayat, “Mereka hanya menunggu satu teriakan, yang akan membinasakan mereka ketika mereka sedang bertengkar. Sehingga mereka tidak mampu membuat suatu wasiat dan mereka (juga) tidak dapat kembali kepada  keluarganya (QS. Saba’ [34]:54).”

Ketika Ali mendengar berita pembunuhannya, ia berkata, “Semoga Allah merahmati Utsman dan memberi kebaikan kepada kita”, ia juga mendengar tentang penyesalan orang-orang yang membunuhnya, maka ia membaca firman Allah Ta’ala “(Bujukan orang-orang munafik itu) seperti (bujukan) setan ketika ia berkata kepada manusia, “Kafilah kamu!” Kemudian ketika manusia itu menjadi kafir ia berkata, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu, karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh Alam (QS. Yasin [36]: 49-50).”

Ketika Sa’ad bin Abi Waqqash mendengar berita pembunuhan Utsman, ia memohonkan ampunan dan rahmat untuknya, dan untuk orang-orang yang membunuhnya dan rahmat untuknya, dan untuk orang-orang yang membunuhnya ia membaca firman Allah, “Katakanlah (Muhammad), “Apakah perlu kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya?” (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya (QS.Alkahfi [18]: 103-104)”.

Inilah kebenaran tentang keluarnya para pemberontak dari ketaatan terhadap Amirul Mukminin Utsman, dan pemalsuan surat atas namanya dan dengan menggunakan nama beberapa shahabat lainnya, juga tentang pengepungannya, dan pembangkangan mereka yang tanpa alas an, lalu keinginan mereka untuk menggulingkannya, dan akhir nya membunuhnya. Dengan demikian, mereka semua adalah golongan pemberontak yang keluar dari jamaah dan sekaligus pembunuh yang zhalim.

Shahabat secara keseluruhan terbebas dari darahnya. Mereka tidak pernah menyerahkannya atau mengkhianatinya ataupun meninggalkannya. Mereka hanya mengikuti kemauannya, dan menyerah kepada keinginannya untuk menyerahkan dirinya demi menggapai syahid, sebagaimana yang terdapat dalam banyak riwayat yang shahih dan juga catatan-catatan sejarah yang bersih dan sesuai dengan akhlak para shahabat yang terdidik dalam madrasah kenabian.

Adapun beberapa catatan sejarah yang menyebutkan bahwa para shahabat ataupun sebagian dari mereka telah menyerahkannya, dan mengkhianatinya serta rela dengan pembunuhannya, dan bahkan mungkin sebagian mereka terlibat di dalamnya, maka itu semua adalah berita yang lemah, dan riwayat bohong yang sengaja dibuat oleh para penutur sejarah yang tidak bisa dipercaya, yang menukil berita-berita bohong dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Dan itu semua bertolak belakang dengan akhlak orang-orang yang akan membela keluarga dan shahabat-shahabat mereka dalam kebenaran. Apalagi mereka adalah shahabat-shahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan yang dikepung adalah khalifah kaum muslimin yang harus dibela dan dilindungi, karena ia adalah symbol dari umat ini.

Dan sungguh aneh apa yang dikatakan oleh penulis kita Rijal Haula Ar-Rasul dalam biografi Thalhah Radhiyallahu Anhu, “Dan meletuslah fitnah pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu. Sementara Thalhah mendukung alas an para pembangkang tersebut dan membernarkan tuntutan perubahan dan perbaikan yang didengungkan oleh sebagian besar dari mereka.”

Apakah sikapnya ini telah menyeret kepada pembunuhan Utsman ataupun ia ridha dengan peristiwa tersebut? Sekali-kali tidak. Jika ia mengetahui bahwa fitnah tersebut akan terus berkembang hingga kemudian pecah oleh kebencian dan kedengkian yang tak beralasan, niscaya ia akan menjauhkan dirinya dari tindakan keji yang mengorbankan Dzun-Nurain Utsman Radhiyallahu Anhu.

Kami katakan, “Jika ia mengetahui bahwa fitnah itu akan berujung kepada tragedy tersebut, pastilah ia akan melakukan perlawanan, juga para shahabat lainnya yang pada awalnya mendukung gerakan tersebut karena menganggapnya sebagai gerakan untuk sekedar memberikan peringatan, tidak lebih!”.

Penulis itu seolah mengambil riwayat-riwayat yang lemah tersebut pada malam yang gelap gulita, dan menjadikannya sebagai penerangan baginya. Ia mengenyampingkan riwayat-riwayat yang shahih dan hadits-hadits yang telah jelas, lalu menyangka bahwa Thalhah mendukung para pemberontak, dan bahkan membenarkan sebagian besar dari mereka.

Dari mana engkau mendapatkan cerita ini wahai saudara?

Thalhah telah memberikan haknya dalam kekhalifahan untuk Utsman, dan ia tidak akan melakukan itu jika ia tidak melihatnya pantas untuk itu. Dan kalaupun kemduian Utsman melenceng dari jalan yang terlah dibai’at olehnya dan kaum muslimin lainnya, niscaya ia akan menyatakan pendapatnya dengan terang-terangan dan penuh keberanian. Ia tidak membutuhkan kedatangan orang-orang bodoh yang datang dari Mesir dan Irak tersebut, hingga ia merasa perlu untuk mendukung tujuan mereka, lalu bersembunyi di balik punggung mereka dengan memberikan sokongan terhadap tuntutan dan pendapat mereka!

Adapun pendapat bahwa Thalhah tidak mengetahu bahwa fitnah tersebut akan berujung kepada tragedy itu adalah tidak benar sama sekali. Sejak awal ia telah memahami kekejian para pembangkang dan keburukan niat mereka, mereka sama sekali tidak datang untuk perbaikan atau mengharap ridha Allah. Karena itulah ia menantang mereka, dan berlepas diri dari mereka. Ia menghadapi mereka dan mengatakan bahwa para shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengetahui keburukan niat mereka dalam gerakan mereka tersebut. Sementara Ali, Zubair, Sa’ad, dan tokoh shahabat lainnya juga melakukkan hal yang sama dengan Thalhah.

Thalhah merupakan menteri yang jujur dalam masa tiga khalifah Abu Bakar, Umar, Dan Utsman. Ia adalah salah seorang anggota majelis syura yang terkemuka, berpengalaman, dan sangat memahami tingkatan manusia serta gerakan yang ada di dalam masyarakat dan juga pemikiran yang sedang berkembang. Jika tokoh-tokoh seperti Thalhah, Ali, Zubair, dan tokoh lainnya yang selevel dengan merea tidak mengerti tujuan dari para pemberontak dan orang-orang yang seperti mereka, maka kepada siapa lagi kita berharap untuk membongkar persekongkolan kaum pembangkang, dan menyibakkan tirai dari kekejian hati mereka yang senantiasa menunggu saat yang tetap untuk menyerang?!

Karena itulah ketika orang-orang Bashrah mendatangi Thalhah, mengucapkan salam kepadanya, dan mengungkapkan niat mereka untuk menggulingkan Utsman dengan sindiran, ia mengusir mereka, dan berkata dengan keras, “Orang-orang mukmin telah mengetahui bahwasanya pasukan Dzul Marwah, Dzu Khusyub, dan Al-A’wash terlaknat melalui lisan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam!”

Dan ketika Amirul Mukminin Utsman dikepung, ia mengumpulkan para shahabat dan mengingatkan mereka tentang berbagai kelebihannya, keutamaannya, dan perbuatan-perbuatannya yang mulia, maka Thalhah pun bersaksi untuknya di hadapan orang-orang yang mengepungnya, dan ia sama sekali tidak pernah membenarkan (pembangkangan mereka) sebagaimana yang disangka oleh penulis tersebut!

Apakah Thalhah seorang pengecut? Kita tidak pernah melihatnya demikian

Apakah ia takut dari Utsman? Utsman terkepung, dan setelah itu darahnya tertumpah.

Ataukah ia mendekati para pemberontak dan berambisi untuk menjadi khalifah? Ia telah mengusir mereka ketika datang kepadanya dan memaksa untuk membai’atnya. Ia juga mengatakan kepada mereka bahwasanya mereka terlaknat melalui lisan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ia telah mundur dari pemilihan khalifah ketika anginnya masih sejuk mewangi, maka bagaimana mungkin saat itu ia menginginkannya ketika angin panas telah menerjangnya?!

Lalu ketika pengepungan Utsman semakin ketat, dan ia dilempari hingga pingsan, maka Ali, Thalhah, dan Zubair datang menjenguknya dan mengadukan tentang situasi yang semakin genting. Mereka memaksa untuk melindunginya, namun Utsman menolak keinginan mereka.

Ketika Utsman meminta Air, para shahabat datang kepadanya, termasuk Thalhah yang telah sampai di pintunya. Namun ketika ia menyaksikan apa yang dilakukan oleh para pemberontak tersebut terhadap Ali dan ummul mukminin Ummu Habibah, ia mengurungkan niatnya untuk masuk, sebagaimana yang dilakukan oleh Zubair.

Kemudian Ash-Sha’bah ibu dari Thalhah juga telah meminta anaknya untuk berbicara denga para pemberontak agar mereka meninggalkan Utsman.

Ketika pengepungan semakin menjadi-jadi, Thalhah mengirimkan putranya dan jantung hatinya Muhammad bin Thalhah untuk melindungi Amirul Mukminin. Ia bertempur bersama para pembela Utsman lainnya, dan ia tidak sekalipun meninggalkan rumah hingga darahnya tumpah.

Ketika ia mendengar berita tentang terbunuhnya Utsman, dan bahka kaum pemberontak telah menyesali kejahatan mereka, ia berkata, “Celakalah mereka, lalu ia membaca, ayat “Mereka hanya menunggu satu teriakan, yang akan membinasakan mereka ketika mereka sedang bertengkar. Sehingga mereka tidak mampu membuat suatu wasiat dan mereka juga tidak dapat kembali kepada keluarganya (QS. Yasin [36]:49-50).”

Wahai saudar penulis, kenapa engkau melupakan fakta-faktra kebenaran di atas? Bagaimana mungkin engkau menuduh seorang shahabat yang jujur dan mulia melakukan dosa besar tersebut, dan juga menuduh shahabat lainnya bahwa mereka mendukung para penyulut fitnah dengan menganggap gerakan mereka sekedar gerakan protes?!

Omong kosong apa ini? Kenapa anda berani melemparkan tuduhan kepada para shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan menuduh mereka telah lalai karena tidak menyadari maksud dari para pemberontak tersebut sejak awal?!

Para pemberontak tersebut bukanlah sekedar gerak protes, mereka juga tidak berada dalam posisi yang benar, ataupun menginginkan perbaikan. Mereka adalah kaum munafik yang fasik sebagaimana yang ditegaskan oleh Hadits Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, ketika beliau mengatakan kepada Utsman, “Wahai Utsman, Sesungguhnya Allah akan memakaikanmu sebuah baju, jika orang-orang munafik menginginkanmu untuk melepasnya, maka janganlah engkau lepaskan hingga engkau datang menemuiku!!”

 

Bersambung Insya Allah . . .

Artikel http://www.SahabatNabi.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.