Categories
Thalhah Bin Ubaidillah

Biografi Sahabat Nabi, Thalhah Bin Ubaidillah : Bersama Khulafaur Rasyidin, Mengalami Masa Terjadinya Fitnah, dan Kisah Syahidnya (Seri 9)

F. Bersama Khulafaur Rasyidin, Mengalami Masa Terjadinya Fitnah, dan Kisah Syahidnya

Seluruh dunia menumpahkan air mata kesedihan atas berpulangnya seorang pemimpin yang membawa seluruh manusia kepada kebaikan dunia dan akhirat. Dada mereka bergemuruh oleh kesedihan yang begitu mendalam atas berakhirnya tugas Jibril yang senantiasa membawa petunjuk setiap saat melalui wahyu yang ditugaskan kepadanya. Adapun para shahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, keadaan mereka sungguh berbeda! Berita tentang wafatnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memberikan pengaruh yang amat dahsyat dan di luar dugaan pada diri mereka. Mereka terkejut, merasa terpukul, dan dilanda kebingungan yang luar biasa. Sampai-sampai orang yang paling tegar di antara mereka, yang paling berani, dan paling kuat, yang pernah di gambarkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam seperti Nuh dan Musa, dimana Allah meletakkan kebenaran di hati dan lisannya, yaitu Al-Faruq Umar, yang merupakan seorang toko besar pun bahkan sangat terpukul hingga ia berkata, “Demi Allah, Rasulullah tidak mati, Allah pasti akan membangkitkannya kembali dan memotong kaki dan tangan orang-orang yang mengatakan kematiannya!” hingga kemudian Abu Bakar Ash-Shiddiq datang dan menyadarkannya dari kebingungannya, dan membangunkannya dari tidurnya, ia membacakan firmah Allah, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati (pula (QS. Az-Zumar [39]:30).  Dan firmannya, “Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul, sebelumnya telah berlalu beberapa Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Berangsiapa berbalik kebelakang, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikitpun. Allah akan memberi balasan kepada orang yang bersyukur.” (QS: Ali Imran [3]: 144). Umar berkata, “Demi Allah, begitu aku mendengar Abu Bakar membacakan ayat-ayat tersebut tubuhku, dan aku pun jatuh ke tanah setelah mendengarnya membacakan ayat-ayat tersebut. Saat itu aku menyadari bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah wafat.”

Thalhah dan para shahabat lainnya harus melepas kepergian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dengan kepergian beliau, ia telah kehilangan seorang imam, pemberi petunjuk, penasehat, dan seorang penghibur yang penuh kasih sayang. Yang telah hidup bersamanya selama dua puluh tiga tahun. Selama masa tersebut ia telah merasakan terangnya cahaya hidayahnya, mengikuti keindahan akhlaknya. Dalam kurun waktu yang penuh berkah tersebut ia mengisi umurnya dengan kisah-kisah kepahlawanan, pengorbanan dan tugas-tugas, serta perbuatan yang mulia, sehingga ia berhak menerima berbagai kehormatan yang menghiasi perjalanan hidup dan kepribadiannya dengan kemuliaan dan penghargaan tertinggi.

Dari masa-masa penuh berkah yang dijalaninya bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, Thalhah membawa bekal yang akan menyebar ke seluruh dunia. Setelah wafatnya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallamm, ia memulai sebuah fase baru dalam hidupnya. Ia mendapatkan tempat yang layak pada masa khulafaur rasyidin, dan ia tetap berpegang dengan janji pertamanya saat ia membaiat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Para khalifah pun telah mengetahui kedudukan dan kemuliaan serta berbagai kiprahnya pada masa terdahulu, maka mereka pun mendekatkannya dan menjadikannya sebagai salah seorang tokoh shahabat yang mengisi majelis syura pada masa khulafaur rasyidin.

Thalhah yang selalu berada pada barisan terdepan pada saat bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam baik pada saat perang maupun damai, tetap mempertahankan perilaku tersebut bersama para khalifah. Ia selalu berada pada barisan terdepan dalam masa susah dan senang, dalam pemilihan khalifah, dan ikut serta memberikan kontribusinya dalam mengurus Negara, rakyat, mengarahkan pasukan mujahidin, mengumpulkan zakat dan menyalurkannya, juga memberikan nasihat kepada para khalifah dan memberikan pendapatnya tanpa takut akan celaan siapapun. Rasa hormat dan segannya kepada khalifah tidak menghalanginya untuk menyatakan kebenaran dan mendiskusikan pendapatnya bersama Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.

Ia dan para shahabatnya menjadi pelindung yang terpercaya bagi agama dan Negara Islam. Para khalifah pun senantiasa membutuhkan pendapat para penasehata mereka, dan cenderung untuk selalu mendengarkan nasehat-nasehat mereka. Mereka bukanlah tipe pemimpin yang memaksakan pendapat sehingga membahayakan umat demi ambisi pribadi. Dan mereka menjalankan kebijakan ini sebagaimana yang diharuskan oleh kebenaran itu sendiri, dan diwajibkan oleh syariat dan kitab suci mereka yang menjadi tumpuan kehormatan mereka dan merupakan kunci kekuatan dari umat yang mereka pimpin. Dan mereka telah dididik dalam naungan kitab tersebut pada masa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang membawa kita tersebut kepada mereka dan menegakkannya di tengah- tengah mereka, yakni firman Allah Ta’ala “Dan bermusyawarahlah dengan mereka (QS. Ali Imran [3]: 159)” dan juga firmannya, “Sedang urusam mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka (Qs. Asy-Syura [42]. 38)”.

Kejujuran Thalhah, keikhlasan dan kemampuan yang dimilikinya menjadikannya layak untuk menempati posisi yang tinggi di sisi para khalifah. Bahkan Umar menjadikannya salah satu dari enam anggota majelis syura, dan menyatakan bahwa ketika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam wafat beliau ridha kepada mereka. Dan cukuplah itu sebagai bukti bagi kita, akan kelayakan Thalhah untuk dicalonkan sebagai amirul mukminin dan khalifah bagi kaum muslimin.

Ketika api fitnah mulai menyala dengan pembunuhan Umar bin Khaththab dan menyergap kaum muslimin dengan segala kebenciannya di bawah bendera hitamnya, Dzun Nurain (Utsman) menjadi korban selanjutnya, dan orang-orang menjadi bingung dan bergejolak, Thalhah berdiri kokoh bagaikan gunung membela Amirul Mukminin. Ia berusaha menyibakkan kegelapan fitnah yang melanda. Ia telah terbiasa untuk berada pada barisan terdepan dalam hal yang membawa kepada kebaikan umat. Pemikiran dan ijtihadnya mendorongnya untuk tidak melarikan diri dari pertempuran itu. Dia berpendapat bahwa lebih baik baginya untuk menyatukan tenaganya dengan tenaga shahabat lainnya untuk memperbaiki perkara umat saat itu, dan memperbaiki kerusakan besar yang telah disebabkan oleh para penyeru jahannam!

Ia berdiri tegar mendampingi Utsman ketika ia dikepung dan berjuang membelanya. Ketika Utsman syahid dan kaum Muhajirin membaiat Ali, Thalhah adalah orang pertama yang memegang tangan Ali untuk memberikan bai’atnya, dengan tetap berpegang teguh kepada pendapatnya tentang kewajiban mendahulukan qishash terhadap pembunuhan Utsman. Karena itulah ia berangkat bersama Zubair dan Aisyah menuju Bashrah untuk meminta bantuan penduduknya untuk memerangi para pembunuh Utsman, dan terjadilah perang Jamal.

Thalhah berjalan mengiringi para khalifah berdasarkan asas persaudaraan, saling menasehati, ketaatan, dan berada bersama jamaah. Dengan tetap memberikan ruang yang luas untuk berselisih dalam pendapat dan perbedaan cara pandang, segala semuanya diniatkan untuk kebaikan kaum muslimin. Tidak ada yang menyimpan dengki kepada yang lain, ataupun mengotori hati mereka dengan perasaan iri dan dendam. Mereka semua termasuk di antara orang-orang yang dimaksudkan Allah dalam firmannya, “Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka (QS. Al-Fath [48]: 29).”

Bersambung Insya Allah . . .

Artikel http://www.SahabatNabi.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.