Categories
Abdurrahman bin Auf

Biografi Sahabat Nabi, Abdurrahman Bin Auf : Perjalanan Hidup dan Kepribadiannya (Seri 10)

C. Perjalanan Hidup dan Kepribadiannya

7. Rasa Takutnya, Kelembutan Hatinya, Sikap Tawadhu’nya, dan Keindahan Akhlaknya

Dengan seluruh perbuatannya yang mulia, kiprahnya yang terpuji, pemberian yang begitu banyak, dan kebaikannya yang tak pernah putus, Ibnu Auf seringkali membayangkan keadaan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam serta kesempitan hidup yang beliau jalani. Ia juga melihat keadaan para saudaranya yang terdahulu, mereka yang telah lebih dahulu pergi dan harta kekayaan dunia belum pernah dibukakan untuk mereka. Ia khawatir jika termasuk kepada mereka yang disegerakan baginya nikmat, sementara saudara-saudaranya yang lain mendahuluinya dengan berbagai kenikmatan di surga. Ia merasa malu atas harta yang terus mengalir di tangannya, dan yang ia infakkan dengan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Ia takut telah melalaikan kewajibannya di hadapan agamanya, saudara-saudaranya, dan masyarakatnya, maka ia selalu memohon kepada Allah agar membebaskan nya dari noda kekikiran. Sebagaimana ia merasa khawatir jika ada sesuatu dalam dirinya ketika mendapat berbagai pujian dari manusia ketika mereka melihatnya menginfakkan banyak harta, atau ketika mereka mendengarnya mewasiatkan banyak sedekah.

Ia terus berusaha menggapai jenjang yang lebih tinggi dengan jiwanya guna mendapat keteguhan dalam jalannya, serta terus menerus meningkatkan keikhlasan kepada Allah Ta’ala. Semua itu ia lakukan dengan harapan amalnya diterima, karena hanya miliki Allah lah segala keutamaan yang telah memberinya dan meluaskan pemberian nya, dan memudahkannya untuk memberi dan berinfak dengan banyak sarana. Ibnu Auf tetaplah seorang hamba yang khawatir, takut, mengharap, dan memohon kepada Allah agar seluruh amalnya tertulis dalam catatan amalnya yang diterima, hingga ia bisa memperoleh kemenangan dan kebahagiaan.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir mereka, dan Ibnu Asakir dalam kitab Sejarah nya, dari Abu-Hayyaj Al-Asadi berkata, “Saat aku sedang melakukan thawaf di Ka’bah, aku melihat seorang laki-laki yang berkata, “Ya Allah, jagalah aku dari kekikiran jiwaku, tidak lebih dari itu.” Maka aku menanyakan itu kepadanya. Ia menjawab, “Sesungguhnya jika aku di jaga dari kekikiran jiwaku maka aku tidak akan mencuri, tidak akan berzina, dan tidak akan melakukan hal-hal buruk lainnya, dan ternyata ia adalah Abdurrahman bin Auf.”

Dan diriwayatkan oleh At-Tirmidzi yang menganggapnya hadits hasan, dari Abdurrahman bin Auf berkata, “Kita diuji dengan kesulitan pada masa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan kita mampu bersabar, kemudian kita diuji dengan kesenangan setelah beliau dan kita tidak mampu bersabar.”

Dan dirawayatkan oleh Ibnu Sa’ad, Abu Nu’aim, Ibnu Abdil Barr, dan yang lainnya, dari Naufal bin Iyas Al-Hudzali berkata, “Abdurrahman bin Auf adalah kawan duduk kami, dan ia adalah kawan duduk yang baik. Suatu hari ia mengajak kami, dan ketika telah masuk rumahnya, ia masuk dan mandi. Lalu ia keluar dan duduk bersama kami. Ia menghidangkan untuk kami mangkuk yang berisi roti dan daging. Ketika makanan itu diletakkan, Abdurrahman menangis. Aku berkata, “Wahai Abu Muhammad, apa yang membuatmu menangis?” ia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah meninggalkan dunia tanpa pernah merasa kenyang oleh roti gandum, begitu juga keluarga beliau. Andai saja kita diakhirkan untuk mendapatkan semua ini demi sesuat yang lebih baik bagi kita.”

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Ibnu Hibban, dan Al-Baihaqi dalam kitab Ad-Dala’il, dari Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf, “Bahwasanya Abdurrahman bin Auf dihidangkan makanan, dan saat itu ia sedang berpuasa, maka ia berkata, “Mush’ab bin Umair telah gugur dan ia lebih baik daripadaku, ia hanya mendapat kafan sehelai burdah, jika ditutupkan ke kepalanya maka kelihatan kakinya, dan jika ditutupkan kedua kakinya terbuka kepalanya.” Lalu aku melihatnya berkata, “Dan Hamzah juga telah gugur dan ia lebih baik daripadaku. Telah dihamparkan bagi kami dunia seluas-luasnya,” atau ia mengatakan, “Telah diberikan kepada kami dunia sebanyak-banyaknya”, Sungguh kami khawatir sekiranya pahala kebaikan kami telah didahulukan kepada kami. “Lalu ia menangis dan meninggalkan makanannya!”

Dan dalam riwayat lain, “Aku khawatir jika pahala kebaikan kami telah diberikan pada kehidupan dunia ini, lalu ia menangis.”

Adapun ucapannya, “Dan ia lebih baik daripadaku”, merupakan bukti dari sikap tawadhu’nya Radhiyallahu Anhu, dan penjelasan tentang keutamaan mereka yang syahid pada masa hidup Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, seperti Hamzah dan Mush’ab.

Kekayaan Ibnu Auf yang begitu luas, pemberiannya yang mulia, serta sedekah-sedekahnya yang berlimpah, tidak menimbulkan kesombongan walau sebesar biji zarah pun di dalam jiwanya yang takwah dan bersih. Tawadhu’ adalah akhlak orang-orang besar. Dan tidak akan menyombongkan diri kecuali orang kerdil yang tertipu dan hatinya telah terbalik. Adapun Abdurrahman, hatinya telah dibasuh dengan cahaya Al-Qur’an dan dipenuhi oleh keimanan. Jika ada orang yang tidak mengenalnya melihat berada diantara budak-budaknya maka ia akan mengira bahwa ia adalah salah satu dari mereka. Dan beginilah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan para shahabatnya dulu, beliau tidak membedakan diri dari mereka.

Sa’ad bin Al-Hasan berkata, “Abdurrahman bin Auf tidak bisa dibedakan dari budak-budaknya!”

Kita bukan hendak mengangkat para shahabat Nabi kita Shallallahu Alaihi wa Sallam ke derajat para Malaikat. Kita juga tidak menafikan bahwa mereka juga mempunyai kesalahan, atau menganggap masyarakat mereka bersih dari pertentang, perbedaan, dan perselisihan pendapat, ataupun hal-hal lainnya. Mereka sama sekali tidak terjaga dari kekhilafan, dan Islam juga tidak menghendaki mereka melepaskan sisi kemanusian mereka. Karena itu berarti menghapus kepribadian mereka dan mencabut mereka dari fitrah mereka sebagai manusia! Al-Qur’an mengangkat mereka untuk berada di atas hawa nafsu, atau dari terjerumus ke dalam jurang permusuhan. Para shahabat juga saling berbeda pendapt dan berselisih pada saat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam masih berada di tengah-tengah mereka dan Al-Qur’an masih turun di antara mereka, namun Al-Qur’an sama sekali tidak mencela mereka karena itu. Al-Qur’an turun untuk mengarahkan fitrah dan insting mereka, serta menyatukan berbagai perbedaan mereka dalam kerukunan yang tidak dinodai oleh pertentangan. Dan mendorong mereka untuk menerima perbedaan dengan lapang dada, sehingga masing-masing bisa menghargai kepribadian saudaranya, dan juga pendapat dan ijtihadnya. Semua bertujuan untuk mencapai kebenaran, dan kesanalah mereka menuju, dan dengan talinya mereka saling berpegangteguh.

Ibnu Asakir meriwayatkan dari Sa’id bin Al-Musayyib berkata, “Suatu ketika terjadi perselisihan antara Thalhah dan Abdurrahman bin Auf. Lalu Abdurrahman datang menjenguknya, maka dikatakan kepadanya, “Abu Muhammad Abdurrahman ada pintu”, ia berkata, “Apakah ia masih datang setelaah apa yang terjadi di antara kami?! Persilahkan ia masuk.” Setelah ia masuk, Thalhah berkata kepadanya, “Demi Allah, engkau lebih dariku, karena jika engkau yang saat ini sakit aku tidak akan menjengukmu.”

Dengan kemuliaan akhlak inilah mereka terdidik. Abdurrahman sama sekali tidak memutuskan hubungan dengan saudaranya walaupun di antara mereka telah terjadi perselisihan. Thalhah pun menyambut kedatangan Abdurrahman untuk menjenguknya, dan berterus terang kepadanya bahwa ia lebih baik darinya karena jika ia yang sakit, ia tidak akan menjenguknya. Ia sama sekali tidak berpura-pura atau bertele-tele karena gerak-gerik mereka telah mengatakan apa yang ada di dalam batin mereka, dan perbuatan mereka merupakan cerminan dari niat mereka, Radhiyallahu Anhum.

Dan diantara bentuk sikap bertakwa dan kesempurnaan keikhlasan seorang Abdurrahman bin Auf, serta ketulusan hijrahnya kepada Allah dan Rasul Nya, bahwa ia jika mendatangi kota Mekah, ia sama sekali tidak tinggal di rumah yang tinggalkan dulu.

Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dan Ibnu Asakir dari Sa’ad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf berkata, “Jika Abdurrahman bin Auf mendatangi kota Mekah, ia tidak ingin tinggal di rumah yang telah ia tinggalkan saat hijrah.”

8. Keringanan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam baginya untuk memakai sutera, dan sebuah kejadian diantaranya dengan Al-Faruq

Diriwayatkan oleh Ahmad, dan As-Sittah, dan yang lainnya, dari Qatadah, bahwasanya Anas menceritakan kepada mereka, “Bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengizinkan Zubair bin Awwam dan Abdurrahman bin Auf untuk memakai baju sutera karena penyakit gatal yang mereka derita.”

Dan dalam riwayat lain dari Anas, “Bahwasanya Abdurrahman bin Auf dan Zubair mengadu kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, tentang penyakit gatal yang disebabkan kutu, maka beliau memberi keringanan bagi mereka untuk memakai sutera. Dan aku melihat mereka memakainya dalam suatu peperangan.”

Dan diriwayatkan oleh Al-Musaddad dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah berkata, “Ibnu Auf mendatangi Umar dengan memakai sutera, maka Umar berkata, “Dikatakan kepadaku bahwasanya orang yang memakai sutera di dunia tidak akan dapat memakai di akhirat. Maka Abdurrahman berkata, “Sesungguhnya aku berharap dapat memakainya di dunia dan akhirat.”

Dan diriwayatkan oleh Ibnu Saa’ad dan Ahmad bin Mani’ dengan isnad yang didalamnya terdapat seorang laki-laki yang lemah, dari Abu Salamah bin Abdurrahman berkata, “Abdurrahman bin Auf mengadukan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang banyaknya kurap di tubuhnya, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau mengizinkanku untuk memakai baju dari sutera?” maka beliau mengizinkannya. Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan juga Abu Bakar wafat, dan Umar menjadi khalifah, Ibnu Auf dan putranya Abu Salamah yang memakai baju dari sutera mendatangi Umar. Maka Umar berkata, “Apa ini? Lalu ia memasukkan tangannya ke kantung baju dan merobeknya ke bawah. Maka Abdurrahman berkatanya, “Tidakkah engkai mengetahui bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menghalalkannya untukku?!” ia berkata, “Sesungguhnya beliau menghalalkannya untukmu karena engkau menderita penyakit kurap, adapun orang lain maka tidak boleh.”

9. Sejenak bersama Abdurrahman dalam berbagai sedekah dan infaknya

Islam berusaha membentuk sebuah masyarakat yang bersih, saling melengkapi, dan saling mendukung dalam naungan cinta, serta mengikat setiap individu dalam masyarakat dengan jalinan kasih sayang. Islam juga mempersaudarakan mereka dengan ikatan iman, serta menciptakan asas ukhuwah imaniyah di dalam hati mereka dengan saling mengasihi, saling mencintai, dan saling menyayangi. Dan juga menghilangkan rasa egois dari dada mereka, lalu menggantinya dengan sikap mendahulukan orang lain dengan berbagai macam bentuknya. Dengan demikian diharapkan terciptanya masayrakat yang solid, bagaikan satu tubuh yang saling menguatkan.

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah membangun masyarakat tersebut dalam bentuk yang sangat ideal, di mana rasa cinta diantara individunya mencapai tingkat di mana mereka saling berbagi rasa persaudaraan dan kasih sayang untuk saling membantu dan menguatkan satu sama lain. Sudah selayaknya rasa cinta yang ada di dalam hati setiap muslim terhadap saudaranya sebagaimana rasa cintanya kepada dirinya sendiri.

Maka beliau pun menegakkan semua perilaku yang dapat membangun sikap tersebut, dan menganjurkannya, serta menjanjikan pahala yang banyak bagi siapapun yang melakukannya, dan bahkan melipat gandakan ganjarannya. Dan sebaliknya, beliau juga memerangi segala bentuk perbuatan jelek dan akhlak yang buruk yang akan menggerogoti pondasi masyarakat tersebut, dengan meminta mereka menghindarinya dan menjanjikan balasan yang pedih bagi mereka yang melakukannya.

Di antara akhlak yang mulia tersebut adalah dengan mengeluarkan harta di jalan yang baik dan terpuji, serta membebaskan para budak dari belenggu perbudakan, dan membantu masyarakat muslim dalam megokohkan pondasinya dan membangun peradabannya.

Di dalam Ash-Shahihain (Al-Bukhari dan Muslim) dan kitab-kitab lainnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata, “Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Siapa saja yang membebaskan seorang budak muslim, maka Allah akan membebaskan setiap bagi tubuhnya dari api neraka.”

Dan dalam Ash-Shahihain dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu bersabda, “Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak boleh ada rasa iri kecuali dalam dua hal : Seorang laki-laki yang dikaruniai oleh Allah dengan harta yang banyak dan kemudian ia menghabiskannya dalam kebenaran, serta seorang laki-laki yang diberikan ilmu oleh Allah dan ia menggunakannya untuk memutuskan hokum dan mengajarkannya.”

Dan diriwayatkan oleh Muslim dan An-Nasa’i dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata, “Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Siapa yang menyumbangkan seekor kuda di jalan Allah, karena keimanan kepada Allah dan keyakinan akan janji nya, maka makanannya, minumannya, kotorannya, dan air seninya akan dimasukkan ke dalam timbangannya pada hari kiamat.”

Dan diriwayatkan oleh Muslim dan An-Nasa’I dari Abu Mas’ud Al-Badri Radhiyallahu Anhu berkata, “Seorang laki-laki datang membawa seekor unta lengkap dengan tali kekangnya, dan berkata, “Ini aku sedekahkan dijalan Allah”, maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Engkau akan mendapatkan balasan pada hari kiamat berupa tujuh ratus ekor unta, dan semuanya lengkap dengan taali kekangnya.”

Dan di dalam Ash-Shahihhain, serta kitab-kitab lainnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang bersedekah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya sendiri yang baik (halal), sedangkan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja, maka sungguh Allah akan menerima nya dengan tangan kanannya lalu mengasuhnya untuk pemiliknya sebagaimana jika seorang dari kalian mengasuh anak kudanya hingga membesar seperti gunung.”

Dan diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang menginfakkan dua jenis (berpasangan)124 dari hartanya di jalan Allah, maka dia akan dipanggil dari pintu-pintu surga ; (lalu dikatakan keoadanya), Wahai hamba Allah, inilah kebaikan (dari apa yang kamu amalkan).” Maka barangsiapa berasal dari kalangan ahli shalat maka dia akan dipanggil dari pintu shalat, dan barangsiapa dari kalangan ahli jihad maka dia akan dipanggil dari pintu jihad, dan barangsiapa dari kalangan ahli sedekah maka dia akan dipanggil dari pinti sedekah, dan barangsiapa dari kalangan ahli puasa maka dia akan dipanggil dari pintu Ar-Rayyan”. Lantas Abu Bakar Radhiyallahu Anhu bertanya, “Demi ayah dan ibuku sebagai tebusan kepadamu wahai Rasulullah, jika seseorang dipanggil dari satu pintu dari pintu-pintu yang ada, itu sebuah kepastian! Namun apakah mungkin seseorang akan di panggil dari pintu itu semua?” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, “Benar, dan aku berharap engkau termasuk di antara mereka.”

Hadits-hadits mulia yang banyak ini semua berada pada tingkat tertinggi dari derajat shahih, dan Abdurrahman Radhiyallahu Anhu telah mendapatkan kebaikan dari semuanya. Sedekahnya yang begitu banyak telah berhasil memberangkatkan banyak pasukan berkuda, dan yang tertinggi adalah kebaikannya yang tak pernah putus kepada ummahatul mukminin Radhiyallah Anhunna. Seluruh bentuk sedekah ini akan ditumbuhkan oleh Allah hingga buahnya akan seperti gunung dan bahkan lebih besar. Maka berapakah jumlah pahala dari sedekahnya yang mencapai jutaan banyaknya?!

Dengan memberangkatkan seribu kuda di jalan Allah, maka ia akan mendapatkan pahala dari makanannya, minumannya, kotorannya, air seninya, yang semuanya akan diletakkan dalam timbangan kebaikannya pada hari kiamat. Dan dari setiap kuda ia akan mendapat balasan sebanyak tujuh ratus ekor kuda dari Allah ayang akan memberikan ganjaran untuknya tanpa dihitung.

Juga dengan memerdekakan budak dan hamba-hamba sahaya, ia mendapatkan kabar gembira dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang menyampaikan dari tuhannya bahwa ia akan dijauhkan dari neraka dengan setiap budak yang dimerdekakannya. Sementara Ibnu Auf telah memerdekakan lebih dari tiga puluh ribu budak, maka pahala yang didapatnya tidak bisa digambarkan dan tak terhitung. Dan selamat atasnya untuk itu.

Ia juga telah menorehkan berbagai kiprahnya dalam berjihad di jalan Allah, di mana ia tidak pernah absen dalam setiap peperangan yang diikuti oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Begitu juga dengan shalatnya, puasanya, hajinya, ia telah mendapatkan pahala yang sangat banyak dari ibadah-ibadah tersebut.

Maka Abdurrahman akan di panggil Insya Allah dari seluruh pintu-pintu ibadah dan amalan yang telah ia lakukan.

Berbagai sisi kemuliaan yang telah kami sebutkan pada pribadi shahabat mulia ini, dan berbagai hadits shahih yang telah kami sebutkan yang menerangkan besarnya pahala bagi mereka yang mengerjakan amalan-amalan tersebut, menjadi bukti atas sabda Nabi yang benar dan sangat jelas bahwasanya Ibnu Auf akan termasuk ke dalam golongan mereka yang terdepan, yang akan melewati shirath laksana kilat yang menyambar, Insya Allah.

 

Bersambung Insya Allah . . .

Artikel http://www.SahabatNabi.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.