Categories
Abu Ubaidah

Biografi Sahabat Nabi, Abu Ubaidah : Mujahid Terpercaya, Penakluk Wilayah Syam (Seri 15)

F. Mujahid Terpercaya, Penakluk Wilayah Syam

10. Penaklukan Baitul Maqdis

Setelah berbagai penaklukan yang dipimpin oleh Abu Ubaidah beserta para komandan besar dan tokoh-tokoh mujahidin lainnya, dimana Islam mampu melebarkan sayapnya hingga menutupi keseluruhan wilayah Syria, Abu Ubaidah pun bergerak menuju Palestina. Saat itu Amru tengah mengepung Baitul Maqdis, maka Abu Ubaidah mengirim sebuah surat kepada penduduk Iliyah yang berbunyi.

“Keluarlah kepadaku maka aku akan menjamin keamanan bagi diri dan harta kalian, dan kami akan menempati janji kami sebagaimana kami telah menepatinya kepada orang-orang selain kalian.” Namun mereka merasa keberatan dan tetap enggan. Maka Abu Ubaidah kembali mengirim surat kepada mereka yang isinya, “Bismillahirrahmanirrahim, dari Abu Ubaidah bin Al-Jarrah kepada para pemimpin dan penduduk Iliya. Keselamatan bagi mereka yang mengikuti petunjuk, dan beriman kepada Allah yang Maha Agung dan juga kepada Rasul-Nya. Amma ba’du, sesungguhnya kami menyeru kalian kepada syahadat La Ilaha Illallah wa Anna Muhammadan Abduhu wa Rasuluhu. Dan bahwasannya hari kiamat pasti datang tiada keraguan padanya, dan bahwasannya Allah akan membangkitkan mereka yang ada di dalam kubur. Jika kalian bersaksi atas itu semua, maka darah dan harta kalian haram bagi kami, dan kalian menjadi saudara kami seagama. Namun jika kalian menolak maka kalian harus membayar jizyah kepada kami dan kalian menjadi hina. Dan jika kalian juga menolak niscaya aku akan membawa kepada kalian pasukan yang lebih mencintai kematian daripada kalian yang lebih mencintai hidup, minuman keras, dan makan daging babi. Dan dengan izin Allah aku tidak akan mundur sebelum membunuh para pejuang kalian dan mengambil anak keturunan kalian sebagai tawanan.”

Maka mereka pun menerima perdamaian dengan syarat Amirul mukminin sendiri yang mendatangani surat perjanjian damai tersebut. Maka Abu Ubaidah mengirim surat kepada Umar memberitahunya tentang hal tersebut.

Setelah menerima surat tersebut, Umar bermusyawarah dengan para shahabat. Utsman bin Affan berpendapat agar ia tidak berangkat ke sana karena itu akan membuat mereka lebih terhina dan menjadi pelajaran bagi merek. Namun Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa sebaiknya Umar berangkat menemui mereka, karena itu lebih meringankan bagi kaum muslimin yang telah lama mengadakan pengepungan. Umar pun lebih condong kepada pendapat Ali, dan kurang setuju dengan pendapat Ustman.

Umar datang dengan mengendarai sebuah unta coklat, cahaya matahari memancar dari kepalanya yang mulai botak. Ia tidak memakai topi ataupun sorban di kepalanya. Kedua kakinya berdepak di kedua sisi tubuh untanya yang tanpa pelana, kakinya bertelekan pada sebuah kain yang terbuat dari wol. Itulah tatakan kainya jika ia hendak menaiki untanya, dan menjadi alas tidurnya jika ia beristirahat. Tasnya hanyalah sebuah kain lebar yang dilipat sedemikian rupa, yang berguna sebagai tasnya saat ia bepergian, dan menjadi bantalnya saat beristirahat. Ia memakai baju yang terbuat dari kapas putih di mana jahitannya telah terlihat menipis dan sebagiannya telah robek.

Ketika di Syam, ia disambut oleh Abu Ubaidah dan para komandan lainya seperti Khalid bin Walid dan Yazid bin Abu Sufyan. Mereka memintanya untuk mengganti kendaraannya. Mereka memberinya sebuah kuda Turki tanpa pelana maupun perbekalan yang memberatkan. Ketika mulai berjalan, kuda tersebut menggoyangkan tubuhnya dengan angkuh. Maka Umar berkata kepada orang-orang bersamanya, “Berhenti! Aki tidak mengira seorang manusia bias mengendarai setan, kembalikan untaku.” Kemudian ia turun dan kembali mengendarai untanya, dan setelah itu tak sekalipun ia pernah mengendarai kuda Turki itu lagi!

Dalam perjalanan ia harus melewati sebuah sungai kecil. Maka ia turun dari untanya, melepas sepatunya dan meletakkannya di bahunya, lalu ia memegang tali kekang untanya dan berjalan menyebrangi sungai kecil tersebut.

Melihat itu Abu Ubaidah berkata, “Wahai Amirul mukminin, engkau melakukan itu? Engkau melepas sepatumu, meletakkannya di bahumu, memegang tali kekang untamu, dan kemudian berjalan menyebrangi sungai ini! Sungguh aku tidak ingin penduduk disini menyaksikanmu melakukan itu,”

Maka Umar berkata,”Aduh!! Jika saja orang lain mengatakan itu niscaya aku telah menjadikan contoh bagi umat Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Sesungguhnya dulu kita adalah kaum yang paling hina, lalu Allah memuliakan kita dengan Islam. Jika kita mencari kemuliaan diluar apa yang telah diberikan oleh Allah kepada kita, niscaya Allah pasti akan menghinakan kita!!”

Kemudian ia melanjutkan perjalanan hingga tiba di Al-Quds. Ia membuat perjanjian damai dengan kaum nashrani yang ada di Baitul Maqdis, dan member syarat kepada mereka untuk mengusir pasukan Romawi. Lalu ia memasuki masjid dari pintu yang dulu dimasuki oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada malam Isra’. Ia melaksanakan shalat tahiyyatul masjid di mihrab Dawud Alaihissalam, dan kemudian mengimami kaum muslimin pada shalat subuh di hari berikutnya. Pada rakaat pertama ia membaca surat Shad dan melakukan sujud tilawah yang diikuti oleh kaum muslimin, dan pada rakaat kedua ia membaca surat Isra’. Lalu ia mengambil tanah dari Ash-Shakhrah dengan ujung selendangnya, dan diikuti juga oleh kaum muslimin.

11. Abu Ubaidah di Himsh untuk kedua kalinya, Persekongkolan Romawi atasnya, dan kekalahanyang meyesakkan atas mereka

Setelah penaklukan Baitul Maqdis, Abu Ubaidah kemabali ke Himsh. Ia diikuti oleh pasukan Roamwi yang telah membuat perjanjian dengan penduduk Jazirah Arab, dan mereka bersepakat untuk menghancurkan Abu Ubaidah dan kaum muslimin di Himsh. Maka Abu Ubaidah mengumpulkan pasukan bersenjata yang tersebar dan bertugas menjaga wilayah dan kemudian membuat perkemahan diluar kota Himsh. Lalu Khalid juga datang dari Guensrin dan bergabung dengan pasukan bersenjata yang telah lebih dahulu bergabung. Abu Ubaidah bermusyawarah dengan mereka untuk memutuskan apakah mereka akan melakukan serangan atau mempertahankan diri sampai datangnya bantuan. Khalid meyarankan untuk memulai serangan, sementara yang lain berpendapat untuk mempertahankan diri dan menulis surat kepada Amirul mukminin. Abu Ubaidah mengambil pendapat mereka dan mengabaikan pendapat Khalid. Ia menulis surat kepada Umar mengabarkan tentang pasukan Romawi yang telah siap menghadapinya.

Amirul mukminin Umar telah mempersiapkan di kota-kota besar Islam pasukan cadangan yang terdiri dari pasukan berkuda dan siap bergerak cepat. Di Kufah saja terdapat empat ribu pasukan berkuda, dan tugas mereka adalah memberikan bantuan kepada kaum muslimin dan menyokong mereka mendapat ancaman. Ketika surat dari Abu Ubaidah sampai ke tangan Umar, ia menulis surat kepada Sa’ad bin Abi Waqqash di Irak, “Kirimlah pasukan dibawah pimpinan Qa’qa’ bin Amru, dan kirimlah mereka segera ke Himsh pada hari surat ini engkau terima, sesungguhnya Abu Ubaidah telah terkepung disana, bergeraklah kesana dengan segera.” Ia juga menulis kepadanya, “Untuk mengutus Suhail bin Adi ke Ar-Raqqah karena penduduk Jazirah lah yang membantu pasukan Romawi menghadapi penduduk Himsh. Ia juga memerintahkannya untuk mengirim Abdullah bin Abdullah bin Itban ke Nashibin, kemudian menuju harran dan Ar-Ruha. Lalu ia juga meminta untuk mengirim Al-Walid bin Uqbah kepada kabilah arab yang ada di jazirah yaitu kabilah Rabi’ah dan Tanukh. Juga agar ia megirim Iyadh bin Ghanim, dan jika terjadi perang maka Iyadh lah yang akan memimpin mereka.”

Pada hari itu juga Qa’qa’ berangkat memimpin empat ribu pasukan berkuda menuju Himsh. Begitu juga dengan Iyadh yang berangkat menuju Jazirah bersama komandan pasukan lainnya, mereka memilih jalan Jazirah, dan kemudian setiap komandan berpisah menuju wilayah yang ditugaskan kepadanya. Umar bin Khaththab sendiri juga bergerak dan tiba di Sargh atau Al-Jabiyyah dalam perjalanannya menuju Himsh untuk membantu Abu Ubaidah.

Ketika penduduk Jazirah yang membantu pasukan Romawi melawan penduduk Himsh mengetahui bahwa sebuah pasukan telah bergerak menuju kota mereka, mereka segera berpencar malarikan diri ke kampung-kampung dan saudara-saudara mereka, dan meninggalkan pasukan Romawi. Pasukan Romawi yang mendengar kedatangan Amirul mukminin Umar untuk membantu Abu Ubaidah menjadi jerih dan merasa bahwa mereka telah terkepung. Khalid mengusulkan kepada Abu Ubaidah untuk memulai serangan, dan Abu Ubaidah melaksanakan ide tersebut. Allah Ta’ala membukakan kemenangan bagi mereka dan pasukan Roamwi mendapat kekalahan yang menyesakkan. Itu terjadi sebelum kedatangan Umar, dan tiga malam sebelum kedatangan pasukan bantuan yang dikirim untuk mereka. Abu Ubaidah segera mengirim surat kepada Umar mengabarkannya tentang kemenangan yang telah diraih, dan bahwasannya bala bantuan sampai tiga malam setelahnya. Lalu ia bertanya kepada Umar, “Apakah ia harus memasukkan pasukan bantuan tersebut dalam pembagian fai’?” Umar menulis surat balasan yang memintanya untuk memasukkan mereka dalam pembagian harta rampasan perang, karena musuh menjadi lemah, dan melarikan diri, serta bala bantuan dari Romawi terputus karena mereka takut akan bala bantuan dari kaum muslimin. Maka Abu Ubaidah pun mengikutkan mereka dalam pembagian.

Umar berkata, “Semoga Allah membalas penduduk Kufah dengan kebaikan. Mereka mampu mengamankan wilayah mereka, dan memantu penduduk wilayah lainnya.”

Dengan usaha yang luar biasa ini, dna jihad yang tak pernah putus, serta berbagai penaklukan yang terus-menerus, Abu Ubaidah dengan seluruh komandan perang yang bersamanya: Khalid bin Walid, Syurahbil, Amr, Muadz, Iyadh, dan yang lainnya, akhirnya mampu menghamparkan kekuasaan Islam di atas seluruh wilayah Syam mulai dari sungai Eufrat hingga Al-Arisy yang berbatasan dengan Mesir, wilayah tersebut meliputi: Syria, Libanon, Yordania, dan Palestina.

Pada seluruh penaklukan tersebut, Abu Ubaidah merupakan panglima tertinggi yang memimpin pasukan yang menaklukkan Syam, sejak awal penaklukan pada masa Abu Bakar hingga ia wafat pada masa pemerintahan Umar, selain perang Yarmuk dimana panglima tertinggi dipegang oleh Khalid bin Walid.

Untuk arwah para panglima besar tersebut, dan para shahabat dan penakluk teladan kita, yang telah menorehkan bintang mereka di lembaran sejarah, dan mengukir nama mereka dengan cahaya. Dan juga untuk mereka yang hidup di bawah naungan cahaya para tokoh besar tersebut, yang mana mereka tidak tercatat dalam sejarah, dan kisah kepahlawanan mereka tidak pernah disebutkan oleh para sejarawan, untuk mereka semua saya mengungkapkan penghargaan, pujian tertinggi, dan penghormatan terbesar yang bias diberikan oleh seorang manusia. Dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengetahui apa yang mereka persembahkan, memberi mereka pahala yang besar yang akan terus mereka terima hingga akhir kelak. Dan semoga mereka mendapatkan pahala seperti pahala mereka yang mengikuti petunjuk cahaya dari kitab yang mereka bawa dan agama mereka sebarkan. Dan itu tentunya tidak bias dihitung oleh Malaikat rahmat dan tidak ada yang sanggup menghitungnya selain Allah.

Abu Ubaidah telah mengukirkan namanya di gunung-gunung dan sungai-sungai di negeri Syam. Juga di kota-kota dan desanya. Ia mengukirkan di memori penduduknya sejak zamannya hingga saat ini dan hingga waktu yang dikehendaki oleh Allah, sebuah kisah kepahlawanan dan keimanan, kisah rahmat dan hidayah, sifat zuhud dan kehormatan diri, pengorbanan dan keteguhan, kebijaksanaan dan kejituan, keberanian dan kegigihan, serta kepatuhan dan ketaantan. Ia adalah seorang panglima dalam pakaian seorang prajurit biasa, dan seorang prajurit biasa dalam pakaian seorang panglima. Allah mengumpulkan pada dirinya sifat-sifat kepemimpinan, kesabaran, dan keberanian, keikhlasan dan ketakwaan, wara’ dan zuhud, dan sikap tawadhu’ yang biasanya tersebar di banyak orang. Dan bergabunglah di bawah panjinya, dan dibawah kepemimpinannya tokoh-tokoh seperti panglima jenius Khalid bin Walid, tokoh Quraisy yang cerdas Amr bin Ash, pemimpin Bani Umayyah Yazid, dan tokoh-tokoh besar ulama shahabat seperti Abu Hurairah dan Jabir, serta tokoh-tokoh Quraisy dan kaum Anshar lainnya.

Dengan bakat dan seluruh kelebihan yang dimilikinya Abu Ubaidah mampu menyatukan seluruh potensi tersebut dan memimpin mereka dengan sebaik-baiknya, dan meraih hasil teragung yang dapat mereka peroleh. Lalu untuk apa keterangan yang begitu panjang tentang kelebihan dan keistimewaan yang dimiliki oleh Abu Ubaidah ini? Bukankah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang tidak mengatakan apapun dari hawa nafsunya telah berkata, “Orang yang paling terpercaya dari umat ini adalah Abu Ubaidah!!” ini merupakan sebuah ucapan yang singkat dan padat dari Nabi yang mulia yang mampu mencakup seluruh keistimewaan dan kelebihan yang dimiliki oleh Abu Ubaidah.

Dengan penaklukan-penaklukan tersebut, Abu Ubaidah dengan saudara-saudaranya telah berhasil menorehkan baris terakhir dari keberanian kerajaan Romawi di wilayah Syam. Dan ketetapan Allah terhadap Romawi pun berlaku dimana mereka diharamkan untuk menguasai seluruh wilayah Syam hingga kiamat kelak. Ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dalam Ash-Shahihain dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika Kisra telah hancur maka tidak aka nada lagi Kisrah lain setelahnya, dan jika Kaisar telah hancur maka tidak aka nada lagi Kaisar setelahnya. Demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh harta-harta karun mereka akan dibelanjakan di jalan Allah.”

Heraklius berhasil dikalahkan dari satu pertempuran ke pertempuran lainnya. Kerajaannya musnah, dan ia pun melarikan diri kea rah wilayah Romawi. Dan ketika dia sampai di Syamsyath –wilayah Selatan Turki- ia menaiki sebuah bukit dan menoleh ke raha Syam dan berkata, “Aku pernah memberikan salam bagaimana salam seorang musafir kepadamu, namun hari ini bagimu salam wahai Syria, sebuah salam yang tidak akan diikuti dengan pertemuan lagi setelahnya!” lalu ia melanjutkan perjalanan hingga sampai di Konstatinopel.

12. Abu Ubaidah dan penyakit Tha’un di Amawas (Daerah yang berada di Pelstina, terletak disebelah tenggara Ramlah, dan berada antara Ramallah dan Gaza. Jarak kota ini dengan Al-Quds adalah 30 Km) 

Para sejarawan menyebutkan bahwa penyakit Tha’un menyebar di Amawas pada tahun 18 Hijriyah, dan kemudian segera menyebar di dataran rendah Yordania, dan virusnya terus menyebar di antara pasukan kaum muslimin dimana sebagian besar dari mereka berada di sana. Di antara mereka terdapat Abu Ubaidah –yang merupakan pemimpin mereka-, Muadz bin Jabal, Syurahbil bin Hasanah, dan sekelompok tokoh besar shahabat lainnya.

Diriwayatkan oleh Malik, Ahmad, Asy-Syaikhani, dan yang lainnya, dari Ibnu Abbas, “Bahwasannya Umar bin Khaththab berangkat menuju Syam. Ketika sampai di Sargh ia ditemui oleh para panglimanya –Abu Ubaidah bin Al-Jarrah beserta para shahabat- dan mereka memberitahunya bahwa sebuah wabah penyakit tengah menyebar di negeri Syam. Ibnu Abbas berkata, Maka Umar berkata, “Panglima untukku kelompok Muhajirin yang pertama”, mereka pun datang dan Umar bermusyawarah dengan mereka. Ia mengabarkan bahwa wabah penyakit tengah menyebar di negeri Syam, maka mereka pun berselisih pendapat : sebagian berkata, “Kita telah memutuskan berangkat untuk suatu urusan, dan kami tidak berpendapat engkau harus membatalkan misimu.” Dan sebagian lainnya berkata, “Engkau membawa shahabat-shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang masih hidup, dan kami tidak berpendapat engkau harus membawa mereka ke dalam wabah penyakit tersebut.” Lalu Umar berkata, “Tinggalkanlah aku, kemudian ia berkata, “Panggillah para shahabat Anshar untukku.” Maka aku memanggil mereka dan Umar bermusyawarah dengan mereka. Mereka mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh kaum Muhajirin dan berselisih pendapat. Sebagaimana Muhajirin Umar pun berkata, “Tinggalkanlah aku.” Kemudian ia berkata, “Panggilkanlah untuk ku tokoh-tokoh Quraisy yang hijrah saat penaklukan Mekah.” Maka aku pun memanggil mereka. Dan tidak ada dari mereka berselisih pendapat dalam maslah tersebut. Mereka berkata, “Kami berpendapat bahwa engkau harus kembali dan jangan membawa orang-orangmu ked lam wabah tersebut.” Maka Umar mengumumkan di hadapan pasukan, “Sesungguhnya aku akan berangkat besuk pagi, maka berangkatlah bersamaku.” Maka Abu Ubaidah bin Al-Jarrah berkata, “Apakah engkau melarikan diri dari takdir Allah?” Umar menjawab, “Jika saja bukan engkau yang mengatakan itu wahai Abu Ubaidah! Ya betul, kami lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain. Bagaimana pendapatmu jika engkau memiliki unta yang turun di sebuah lembah yang memiliki dua sisi, yang satu hijau dan satunya kering, bukankah jika engkau mengembalakan untamu di tempat yang hijau berarti engkau mengembalakannya dengan takdir Allah, dan jika engkau mengembalakannya di tempat yang kering berarti engkau juga mengembalakan dengan takdir Allah?! Lalu datanglah Abdurrahman bin Auf –ia sempat tidak hadir karena suatu keperluan- kemudian ia berkata, “Aku memiliki sebuah ilmu dalam hal ini. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika engkau mendengar suatu wabah di sebuah negeri maka janganlah kalian memasukinya, namun jika itu terjadi di sebuah negeri dan kalian telah berada di dalamnya, maka janganlah melarikan diri darinya.” Maka Umar memuji Allah dan berlalu.

Umar kembali ke Madinah dengan orang-orang yang bersamanya, sedangkan Abu Ubaidah dengan para komandannya dan orang-orang yang bersama mereka kembali ke dataran rendah Yordania. Sementara itu wabah Tha’un masih terus menyebar dan menyebabkan banyak nyawa melayang. Umar sangat mengkhawatirkan keselamatan pasukannya dari wabah penyakit tersebut, dan ingin menyelamatkan mereka dari keganasan virusnya. Maka ia mengirim perintah dan arahannya kepada Abu Ubaidah yang memintanya membawa keluar kaum muslimin dari dataran rendah yang dikelilingi tanah rawah dan udara tidak sehat tersebut, dan membawa mereka ke dataran tinggi yang lebih luas dan mempunyai udara yang lebih bersih dan jauh dari pusat penyakit. Ia juga memintanya untuk mendatanginya di Madinah untuk suatu keperluan. Namun Abu Ubaidah mengira bahwa Umar hanya ingin menyelamatkannya tanpa pasukannya yang lain, maka ia pun minta maaf kepada Umar karena tidak bias melaksanakan perintah tersebut.

Amirul mukminin Umar sendiri menafsirkan hadits yang diriwayatkan Abdurrahman bin Auf tadi bahwasanya larangan untuk keluar dari daerah Tha’un itu adalah bagi mereka yang bermaksud melarikan diri dari wabah dan lari dari takdir Allah, dengan meyakini bahwa kepergiannya bias menyelamatkannya dari kematian. Dan bukan bagi mereka yang keluar dengan maksud berobat atau mencari tempat yang lebih luas dan mempunyai udara yang lebih segar, menurutnya itu adalah dibolehkan.

Pendapat Umar ini diikuti oleh sekelompok shahabat lainnya. Adapun Abu Ubaidah tetap berpegang kepada zhahir hadits, dan tidak ingin memisahkan dirinya dari pasukan kaum muslimin. Ia akan menerima apa yang mereka terima, dan ia dengan setia menunggu datangnya mati syahid.

Dari Thariq bin Syihab, dari Abu Musa Al-Asy’ari berkata, “Sesungguhnya Amirul mukminin menulis surat kepada Abu Ubaidah ketika mendengar tentang wabah penyakit yang merenggut banyak nyawa di Syam, “Sesungguhnya aku memilih keperluan kepadamu, dan aku harus menyampaikannya kepadamu. Jika surat ini sampai ke tanganmu pada waktu malam, maka aku minta engkau segera berangkat menemuiku pada pagi harinya. Dan jika sampai di tanganmu pada waktu siang, maka aku ingin engkau segera berangkat pada sore harinya. Maka Abu Ubaidah berkata, “Aku telah memahami kebutuhan yang dimaksudkan oleh Amirul mukminin, dan bahwasanya ia menginginkan untuk mempertahankan seseorang yang tidak akan kekal!” Lalu ia membalas suratnya, “Saat ini aku berada di tengah pasukan kaum muslimin dan aku tidak akan mementingkan diriku dari mereka. Sesungguhnya aku telah memahami kebutuhan yang engkau maksud dari permintaanmu, dan bahwa engkau ingin mempertahankan seorang yang tidak akan kekal. Maka jika suratku ini sampai ke tangnmu maka bebaskanlah aku dari perintahmu dan izinkanlah aku untuk menetap disini.”

Ketika Umar membaca surat tersebut air matanya mengambang dan ia menangis. Orang-orang yang bersamanya bertanya, “Wahai Amirul mukminin, apakah Abu Ubaidah telah meninggal? Ia menjawab, “Belum, namun seakan-akan ia sudah meninggal.”

Lalu Umar kembali menulis surat kepadanya, “Sesungguhnya Yordania adalah tanah yang dipenuhi oleh rawa, dan Al-Jabiyah adalah tanah yang bersih dan jauh dari wabah penyakit. Maka bawalah kaum muslimin ke Al-Jabiyah.” Ketika membaca surat tersebut Abu Ubaidah berkata, “Kalau ini maka kami akan mendengar perintah Amirul mukminin dan mentaatinya.” Abu Musa berkata, “Lalu ia menyuruhku untuk mempersiapkan keberangkatan pasukan. Namun kemudian istriku terkena wabah tersebut, maka aku mendatangi Abu Ubaidah dan berkata, “Sesuatu hal di keluargaku telah menyibukkanku dari apa yang telah engkau perintahkan.” Ia berkata, “Apakah istrimu terkena wabah itu?” aku menjawab, “Betul”, maka ia sendirilah yang kemudian pergi dan mempersiapkan pasukan untuk berangkat, lalu ia menyuruhku untuk memberangkatkan mereka setelahnya.

Ia berkata, “Kemudian Abu Ubaidah pun terkena wabah tersebut, dan ia berkata, “Aku melihat sebuah luka di kakiku, aku tidak tahu apakah wabah ini mungkin telah mengenaiku!” Lalu Abu Ubaidah tetap berangkat mempersiapkan pasukannya, dan kemudian mereka berangkat mengikutinya, sat itu wabah telah mulai menghilang, dan Abu Ubaidah akhirnya meninggal karena wabah penyakit tersebut.

Inilah sebuah bentuk kepemimpinan yang amanah yang telah ditanamkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam jiwa para shahabatnya. Yang direguk dari sebuah akidah yang tak gentar menghadapi mati ketika ia datang. Dan ini tergambar dalm bentuknya yang paling mulia dalam sikap yang diambil oleh seorang panglima yang telah disebut oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa ia adalah orang yang terpercaya dari umat ini. Ia terpercaya dalam agama yang dibawanya, terpercaya dalam prinsip-prinsip yang ia serukan, dalam umat yang ia wakili, dan pasukan yang dipimpinnya. Dan Ia telah berkata kepada Umar –dan kita telah mengetahui keimanan yang dimiliki Umar, juga ketakwaannya, kesabarannya, kebijaksanaannya, sifat wara’nya, dan kepeduliannya terhadap hidup kaum muslimin-, “Aku berada ditengah pasukan kaum muslimin dan aku tidak akan mementingkan diriku dari mereka.” Dan ia menulis kepadanya, “Aku tidak akan berpisah dengan mereka hingga menetapkan ketetapannya atasku dan atas mereka. Maka bebaskanlah aku dari perintahmu wahai Amirul mukminin, dan biarkan aku tetap berada dalam pasukannku.”

Inilah sebuah bentuk kepemimpinan yang baik, penuh ketakwaan dan kemurnian. Sebuah keberanian dalam menghadapi musuh, keberanian dalam menghadapi masalah, keberanian dalam menghadapi takdir, keberanian dalam mempertanggungjawabkan perkataan dan membuktikannya dengan perbuatan dalam berbagai peristiwa dan kejadian yang dihadapi. Ia tidak ingin mengistimewakan dirinya di atas pasukannya, karena jika seorang pemimpin telah mementingkan dirinya sendiri, dan melarikan diri ketiak menghadapi kesulitan, dengan menyelamatkan jiwanya tanpa mempedulikan jiwa mereka yang dipimpinnya, maka kepada siapa lagi ia mempercayakan mereka, dan siapa lagi yang bias mereka ikuti, siapa lagi yang akan mereka dengar dan taati jika mereka menyaksikan pemimpin mereka lari dari wabah penyakit atau bahaya yang mengancam?! Dan bagaimana mereka bias berjuang dengan kegigihan dalam pertempuran-pertempuran berikutnya, dan bagaimana mereka bias bertahan di hadapan musuh, jika tokoh-tokoh besar telah melarikan diri dari medan kehormatan?! Kepemimpinan adalah bagaimana memberikan teladan. Dan ketika menghadapi kesulitan terlihat nilai murni dari seorang laki-laki dan orang-orang yang mempunyai prinsip serta mereka yang mengemban risalah.

Selain Abu Ubaidah juga telah memimpin banyak pertempuran dalma tahun-tahun yang panjang, dan ia telah sangat mendambakan syahid, dan berjuang untuk mendapatkannya. Sampai saat itu ia belum berhasil memperolehnya. Maka apakah ia akan menghindarinya ketika kesempatan itu datang?!

Di dalam Shahih Bukhari dari Anas bin Malik Radiyallahu Anhu berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Penyakit Tha’un dapat mengantarkan kesyahidan bagi setiap muslim.”

Dan Aisyah juga meriwayatkan dalam kitab yang sama, “Bahwasannya ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang penyakit tha’un, maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memberitahunya bahwa itu adalah azab yang dikirim Allah kepada siapa yang dikehendaki-Nya, namun Allah menjadikannya rahmat bagi orang-orang mukmin. Tidak ada seorang hamba pun yang ditimpa oleh penyakit tha’un lalu ia bertahan dinegerinya dengan sabar, dan menyadari bahwa tidak akan ada yang menimpanya kecuali apa yang telah ditetapkan Allah kepadanya, kecuali ia akan mendapat pahala seorang syahid.”

Maka Abu Ubaidah memilih untuk bersabar bersama pasukannya dalam menghadapi wabah tersebut, dengan harapan ia akan mendapatkan syahid! Niat dan keinginannya begitu ikhlas dan kuat. Maka ia pun mendapat akhir yang mulia dari hidupnya ketika ia meninggal karena penyakit tersebut dalam medan jihad. Semoga Allah meridhainya.

Bersambung Insya Allah . . .

Artikel http://www.SahabatNabi.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.