C. Biografi Sahabat Nabi, Abu Ubaidah : Perjalanan Hidup Abu Ubaidah, Sifat, Dan Ilmunya (Seri 4)
Sejak Abu Ubaidah mengulurkan tangan kanannya untuk menyatakan keislamannya di hadapan Nabi Shallahu Alaihi wa Sallam dan menanggalkan kejahiliyahan dengan segala pemikiran dan warisannya, dia sangat mengetahui konsekuensinya dari bai’at itu dan konsekuensi dari memasuki kendaraan dakwah yang baru. Karena dengan begitu dia telah bergabung bersama kelompok kecil yang baru tumbuh di tengah-tengah mayoritas pengikut kemusyrikan yang hatinya telah mengeras dan jiwanya telah mengering serta bersikeras untuk menupas setiap upaya yang membahayakan agama nenek moyang atau mengancam warisan para leluhur.
Abu Ubaidah dalam kondisi yang sangat siap untuk melaju ke depan di jalur yang penuh dengan rintangan dan onak duri, mengerahkan segala yang dibutuhkan oleh pilihan hidupnya berupa pengorbanan dan kesabaran. Maka dia menyerahkan masa mudanya, jiwa dan raganya serta seluruh hidupnya untuk melayani agamanya dan menolong Nabinya. Tidak peduli dengan rasa sakit dan gangguan yang meliputi jalan yang ditempuhnya, tidak ada yang dapat mengalihkannya dari jalan itu, baik berupa tawaran yang menggiurkan maupun ancaman yang menakutkan.
Dia senantiasa mengiringi Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam dari hari-hari pertama pengangkatannya sebagai Nabi dan terus berlanjut hingga detik-detik akhir kehidupan beliau yang mulia dan suci. Sungguh kedekatan yang penuh berkah selama dua puluh tiga tahun, dia tidak pernah jauh dari beliau kecuali pada saat dia hijrah ke Habasyah, dan dia pun hanya menetap sebentar disana.
Akhlak Abu Ubaidah merupakan gabungan antara perangainya yang dianugerahkan Allah kepadanya dan watak yang mengalir dalam dirinya berupa kehalusan budi pekerti, keramahan, kesopanan dalam bergaul, dan kezuhudan terhadap dunia, dengan pendidikan Nabi yang diperolehnya selama dia mengiringi beliau. Maka Abu Ubaidah menempuh jalan yang beliau tempuh, meniru akhlak beliau yang indah, sikapnya yang agung, wataknya yang mulia, dan pergaulannya yang terhormat. Dari sana terbentuklah sosok shahabat yang memiliki watak yang lebih harum dari bunga melati, perjalanan hidup yang lebih bersih dari salju pegunungan, dan hati yang lebih berharga dari emas. Bahkan ia ibarat pernata indah yang tiada duanya.
Dari sifat yang dimilikinya sejak lahir dan warisan kemuliaan yang diperolehnya dari pendidikan madrasah kenabian, muncullah sosok yang termasuk manusia pilihan di antara para shahabat Nabi Shallahu Alaihi wa Sallam dan yang sanagt dekat dengan beliau. Sebagaimana terlihat secara jelas pada masa beliau masih hidup dan masa para khalifah sesudah beliau.
Pada sosok Abu Ubaidah terdapat kesesuaian antara lahir dan batinnya, ucapannya dan perbuatannya, niat dan amalnya, tujuan dan keteguhan hatinya. Maka dia selalu berusaha untuk mewujudkan segala sesuatu yang hendak dicapainya, melaksanakan amanah yang dipercayakan padanya, sehingga dia memperoleh julukan mulia dari Nabi Shallahu Alaihi wa Sallam, bahwa dia adalah ”Kepercayaan umat”.
1. Akhalak yang baik, ketekwaan dan ketawadlu’annya
Al-Hasan Al-Bashari meriwayatkan bahwa sesungguhnya Nabi Shallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ”Tidak ada dari salah seorang shahabatku yang jika saya ingin meniru akhlaknya selain Abu Ubaidah Al-Jarrah.”
Hadits tersebut termasuk hadits mursal dan para perawinya tsiqoah (terpercaya).
Adz-Dzahabi manyitir hadits tersebut dan mengomentarinya sebagai berikut, “ Abu Ubaidah memang memiliki akhlak yang baik, santun dan rendah hati.”
Dalam hadits “ Perang Dzatus Salasil” tentang kisah Abu Ubaidah dengan Amr bin Ash yang berselisih mengenai siapa yang menjadi pemimpin, Abu Ubaidah segera menghentikan perselisihan untuk mencegah kemungkinan timbulnya fitnah, melaksanakan pesan Nabi Shallahu Alaihi wa Sallam kepadanya, “Jika engakau bertemu dengan sahabatmu bersatulah dan jangan berselisih.” Maka terwujudlah perdamaian dan persatuan di kalangan pasukan berkat kebesaran hati Abu Ubaidah dan ketaatannya kepada perintah Nabi Shallahu Alaihi wa Sallam. Hal itu berasal dari akhlak yang menghiasi dirinya. Maka para shahabat mensifatinya di dalam hadits yang sama bahwa, “Abu Ubaidah adalah sosok yang lembut dan menganggap rendah segala urusan dunia, dia segera ingat akan pesan Nabi Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam.”
Tsabit Al-Bunani berkata, “Abu Ubaidah pernah berkata saat dia menjabat sebagai gubernur Syam, “Wahai manusia, saya adalah seorang yang berasal dari Quraisy, siapapun di antara kalian, baik berkulit merah atau hitam, jika melebihkiku dalam ketakwaan , saya sangat ingin menjadikannya teladan.”
Dalam sebuah riwayat dari Abu Ubaidah, dia berkata, “Tidak ada seorang pun dari orang kulit merah atau hitam, dari kalangan budak asing atau orang Arab, yang lebih tahu dan lebih utama dariku dalam hal ketakwaannya, kecuali saya ingin untuk menjadikannya teladan.”
2. Zuhud, wara’ dan sedekahnya
Abu Ubaidah mencontoh Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam dalam hal kezuhudan terhadap dunia meskipun berada di genggamannya, meminimalisir kesenangan kesenangan dunia meski mampu untuk memilikinya, maka dia menjaga hal itu selama hidupnya bersama Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam, dan terus seperti itu hingga dia meninggalkan dunia. Ketika terjadi berbagai penaklukan, harta begitu melimpah bagi kaum muslimin, penghasilan para panglima, tentara, dan kaum muslimin pada umumnya jauh meningkat.
Sementara Abu Ubaidah termasuk salah satu penakluk negeri syam. Harta melimpah ruah di tangannnya, harta rampasan pesang berada dibawah kendalinya, bagian untuknya setara dengan bagian sejumlah orang. Meski demikian, dia tidak mengambil dari harta itu selain yang mencukupi dirinya dan keluarganya untuk membiayai hidup mereka dan menjaga kehormatan mereka. Selain dari itu, dia infakkan dan sedekahkan agar dia mendapatinya semakin bertambah di sisi Allah di akhirat nanti.
Imam ahmad dan yang lainnya meriwayatkan dari Abu Hisbah Muslim bin Ukais, pelayan Abdullah bin Amir, dari Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, dia berkata, ”Telah menceritakan orang yang menemuinya ketika dia sedang menangis. Orang itu bertanya, ”Apa yang menyebabkanmu menangis wahai Abu Ubaidah?” Dia menjawab, ”Kami menangis karena pada suatu hari Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam menyebutkan, bahwa Allah akan memenangkan kaum muslimin dan memberi mereka rampasan perang sampai beliau menyebut negeri Syam. Beliau bersabda, ”Jika ajalmu diakhirkan wahai Abu Ubaidah, maka cukuplah bagimu tiga pelayan; satu pelayan melayanimu, satu pelayan lagi yang melayani perjalananmu, dan terahir yang melayani keluargamu dan membantu mereka.
Cukuplah bagimu tiga kendaraan; satu kendaraan untuk kamu naiki, satunya untuk membawa barang-barangmu dan satunya lagi untuk budakmu.” kemudian saya melihat ke rumahku, ternyata telah penuh dengan budak laki-laki dan aku melihat ke kandang untaku, telah penuh dengan kendaraan unta dan kuda, bagaiman aku bertemu Rasulullah setelah ini, padahal beliau telah berwasiat kepada kami, ”Orang yang paling aku cintai dan paling dekat kepadaku diantara kalian adalah orang yang berjumpah denganku dalam kondisi sebagaimana ketika dia berpisah denganku.”
Namun hadits ini di anggap dha’if oleh beberapa ulama. Ibnu Asakir berkata, ”Riwayat ini terputus, yang benar adalah Abu Ubaidah hidup dengan sedikit harta.”
Tidaklah merugikan Abu Ubaidah jika rumahnya penuh dengan budak dan kandang kudanya penuh dengan kuda. Karena dia senantiasa membelanjakan hartanya di jalan Allah. Budak itu dimerdekakannya karena mengharap ridha Allah, sedangkan kuda dimilikinya untuk digunakan dalam berjihad. Jadi kepemilikannya terhadap semua itu tidaklah menafikan sifat zuhudnya dan tidak menyalahi petunjuk Nabi Shallahu Alaihi wa Sallam.
Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam hanyalah mewasiatkan kepada para shahabatnya dan umat setelahnya untuk tetap berada dalam keadaan yang beliau tinggalkan yaitu memegang teguh petunjuk beliau , mengikut sunnahnya, mendekatkan diri kepada Allah dengan amal shalih, berlomba-lomba dalam kebaikan, dan memperbanyak infak dan sedekah tidak bisa dilakukan tanpa banyaknya harta. Sedangkan menjaga diri untuk senantiasa hidup dengan sedikit harta dan bersikap zuhud terhadap dunia artinya hendaknya dunia tidak membuat seseorang sibuk dari urusan akhirat dan urusan hak kaum muslimin, yaitu ketika ketiak dunia menguasai hatinya, membuatnya lupa akan kewajibannya, sehingga dia berlomba-lomba untuk memperolehnya, inilah yang dikhawatirkan oleh Nabi Shallahu Alaihi wa Sallam ketika pintu kesenangan terbuka lebar bagi kaum muslimin lalu mereka berlomba-lomba meraihnya sebagaimana yang dilakukan orang-orang terdahulu sehingga membinasakan umat terdahulu. Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam pernah berkata kepada Amr bin Ash, ”Wahai Amr, sebaik-baik harta adalah harta yang dimiliki oleh orang shalih.”
Berdasarkan pemahaman inilah Abu Ubaidah tumbuh, di jalan inilah dia berjalan, dan dengan prinsip itulah dia berpegang. Sehingga dia senantiasa bertahan dalam kehidupan dengan sedikit harta dan zuhud terhadap dunia. Sejak masuk Islam, Abu Ubaidah bertekad untuk menyerahkan hidupnya untuk menolong agamanya dan menyibukkan diri dengan berdakwah kepadanya. Maka dia hidup pada masa risalah dan hanya mengambil yang mencukupinya dari dunia. ketika datang masa pemerintahan khulafaurasyidin, dia menjadi pemimpin pasukan penakluk sehingga dia dilingkupi oleh medan jihad, dan jiwanya begitu mudah menjalani kehidupan yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu penaklukan ke penaklukan yang lain. Bagaimana mungkin dia akan disibukkan oleh ketamakan akan dunia, bagaimana mungkin kenikmatan dunia dapat mengalihkannya dari tujuan hidupnya yang luhur atau menghalanginya untuk mencapai kedudukan mujahidin yang tertinggi.
Di tengah-tengah situasi terbukanya pintu rizki bagi kaum muslimin dan melimpahnya harta di tangan para mujahidin yang melakukan penaklukan, Umar Al-faruq ingin menarik perhatian orang-orang untuk memperhatikan akhlak para pembesar shahabat yang memperoleh pendidikan dari Nabi Shallahu Alaihi wa Sallam. Mereka bertahan dalam kondisi tersebut setelah kepergian beliau dan Umar ingin menunjukkan hal itu kepada kaum muslimin dengan mengirimi Abu Ubaidah dan yang lainnya sejumlah harta lalu memperlihatkan kepada khalayak apa yang diperbuat oleh pemuka sahabat terhadap harta tersebut.
Ath-Thabrani, Abu Nu’aim, dan yang lainnya meriwayatkan dari Malik bin Iyadh yang terkenal dengan sebutan Malikud Dar, dia adalah penjaga baitul mal pada masa Umar, ”Sesungguhnya Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu mengambil 400 dinar dan meletakkannya dalam sebuah kantong uang. Lalu dia berkata pada pelayannya, ”Bawa uang ini ke Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, lalu sibukkanlah dirimu di rumahnya sekitar satu jam agar engkau melihat apa yang dilakukannya terhadap harta itu.” Pelayan itu pun pergi membawa kantong uang itu ke rumah Abu Ubaidah.
Lalu dia berkata pada Abu Ubaidah, ”Amirul Mukminin berpesan kepadamu, ”Gunakanlah harta ini untuk keperluanmu.” Abu Ubaidah berkata, ”Semoga Allah merahmati Umar.” Lalu dia memanggil pelayan perempuannya dan berkata, ”Kemarilah hai pelayan, bawa tujuh dinar ini untuk si fulan, lima dinar ini untuk si fulan, lima dianar ini untuk si fulan, hingga uang itu habis.” Pelayan Umar pun kembali ke tempat Umar dan memberitahu apa yang terjadi. Didapatinya Umar telah menyiapkan hal yang sama untuk Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu. Maka dia berkata, ”Pergilah ke rumah Mu’adz bin Jabal dan berikan uang ini kepadanya. Sibukkanlah dirimu di rumahnya agar engkau melihat apa yang diperbuatnya terhadap harta ini.”
Pelayan itu pun pergi membawa kantong uang itu ke rumah Mu’adz. Lalu dia berkata pada Mu’adz, ”Amirul Mukminin berpesan kepadamu, ”Gunakanlah harta ini untuk keperluanmu.” Muadz berkata, ”Semoga Allah merahmati Umar.” Lalu dia memanggil pelayan perempuannya, ”Kemarilah, pergilah ke rumah fulan membawa sekian, pergilah ke rumah fulan membawa sekian, pergilah ke rumah fulan membawa sekian.” Pelayan itu berkata kepada Mu’adz, ”Demi Allah, kami orang miskin, berilah kami.” Tidak tersisa di kantong selain dua dinar, maka Mu’adz pun memberikannya pada pelayan itu. Kemudian pelayan Umar pulang menemui Umar dan memberitahukannya atas apa yang terjadi. Umar pun gembira mendengarnya. Lalu dia berkata, ”Sesungguhnya mereka adalah saling bersaudara.
Bukannya Umar meragukan para komandan pasukan dan gubernur wilayah, akan tetapi dia hanya ingin menyirakan keluruhan sifat mereka dan kemurnian jihad mereka agar umat mau meneladani mereka jdan semakin percaya terhadpa pemimpinnya. Sehingga ketaatan mereka kepada pemimpin didasarkan pada rasa percaya. Dengan demikian, umat ini kan meljelma seperti bangunan yang saling menguatkan satu dengan yang lainnya.
Umar bin Khaththab merasa kasihan terhadap Abu Ubaidah dan kelarganya ketika menyaksikan kezuhudannya dan kehidupan keras yang dijalaninya padahal dia adalah gebernue wilayah Syam dan komandan pasukan penaklukan. Umar pun menyarankan kepada Abu Ubaidah untuk mengambil sesuatu dari harta yang berlimpah di sekitarnya. Dengarlah apa yang dikatakan Abu Ubaidah!
Ibnu Al-Mubarak dan Ahmad meriwayatkan dalam kitab zuhud, begitu juga Abdurrazaq dalam kitab Al-Mushannif, dari Hisyam bin Urwah, dari Ayahnya Urwah bin Zubair, dia berkata, ”Umar datang ke Syam dan disambut oleh pembesar wilayah setempat dan komandan pasukan. Umar bertanya, ”Dimana saudaraku?” Mereka balik bertanya, ”Siapa yang kau maksud?” Umar menjawab, ”Abu Ubaidah.” Mereka berkata, ”Dia segera menemuimu.” Maka datanglah Abu Ubaidah mengendarai Unta, mengucapkan salam kepada Umar dan bertanya tentang keadaannya. Lalu Umar berkata, ”Tinggalkanlah kami berdua.” Kemudian Umar berjalan bersama Abu Ubaidah hingga sampai ke rumah Abu Ubaidah dan singgah disana. Umar hanya mendapati di rumah Abu Ubaidah sebilah pedang, baju besi, dan kendaannya. Umar berkata pada Abu Ubaidah, ”Bagaimana jika engkau mengambil beberapa barang.” Abu Ubaidah menjawab, ”Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya inni akan menyampaikan kita ke tempat peristirahatan (Akhirat)!”
Inilah perabotan rumah seorang penakluk Syam, seorang gubernur pada masa risalah nabawiyah, seorang komandan pasukan pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, yang melakukan penaklukan yang luas, memperoleh harta rampasan yang melimpah dan harta yang banyak. Lalu dia bersiap zuhud atas semua itu dan hanya mengambil sekedar seperti bekal orang yang melakukan perjalanan. Inilah sosok yang kuat dan terpercaya, yang sangat memahami arti dari tanggungjawab dan kepemimpinan, bahwa itu adalah beban bukan keuntungan, kewajiban bukan kemuliaan. Sesungguhnya jiwa seperti itu penuh dengan keimanan. Bagi orang seperti mereka dunia tidaklah bernilai. Bagaimana jika mereka dibandingkan dengan para pemimpin kita saat ini? Hendaknya para pemimpin kita mau meneladani orang-orang seperti itu.
Perhatikanlah kabar lain yang melengkapi kisah kita tentang Abu Ubaidah yang diriwayatkan oleh Amirul Mukminin Umar. Sebuah pengakuan Umar terhadap Abu Ubaidah, padahal Umar sendiri terkenal dengan berbagai kelebihannya berupa keadilan, kezuhudan, sifat wara’, dan kekuatan iman, meski demikian dia bersaksi bahwa Abu Ubaidah melebihinya dalam kezuhudan sehingga dunia merasa putus asa untuk menggodanya dengan berbagai kenikmatannya.
Imam besar, Nafi’ pelayan Ibnu Umar meriwayatkan dari Ibnu Umar, ”Sesungguhnya Umar ketika datang ke Syam berkata kepada Abu Ubaidah, ”Bawa kami ke rumahmu!” Abu Ubaidah bertanya, ”Apa yang akan kau lakukan di rumahku? Engkau hanya akan memeras air matamu dihadapanku.” Umar pun memasuki rumah Abu Ubaidah dan tidak menemukan apa-apa di dalamnya. Umar bertanya, ”Di mana barang-barangmu? Saya hanya melihat sebuah permadani, sebuah nampan, dan wadah air, padahal engkau seoranng gubernur! Apakah engkau memiliki makanan?” Abu Ubaidah berdiri menuju sebuah keranjang dan mengeluarkan potongan roti. Umar pun menangis. Abu Ubaidah berkata kepadanya, ”Saya sudah mengatakan kepadamu, engkau hanya akan memeras air matamu dihadapanku. Wahai Amirul Mukminin, cukup bagimu apa yang menyampaikanmu ke tempat peristirahatan (akhirat).” Umar berkata, ”Dunia telah merubah kami semua selain engkau wahai Abu Ubaidah!”
Imam Adz-Dzahabi berkomentar setelah menukil hadits tersebut, ”Ini merupakan zuhud yang sebenarnya. Tidak ada kezuhudan bagi orang yang miskin dan tidak punya.”
3. Rasa takut dan harapannya serta pekerjaannya sebagai penggali kubur
Abu Ubaidah sangat takut kepada Allah Ta’ala dan sangat berharap akan rahmat-Nya. Dia sangat mengetahui dengan penuh keyakinan betapa menakutkan situasi di hadapan-Nya. Kondisi ini sama dengan kondisi para shahabat yang lain Radhiyallahu Anhum yang diungkapkan dengan ucapan-ucapan yang jelas dan direalisasikan dengan perbuatan nyata.
Di antara apa yang diriwayatkan oleh Qatadah, dia mengatakan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah berkata, ”Saya berharap kalau saya adalah seekor domba, lalu pemilikku menyembelihku dan memakan dagingku.”
Perhatikan ungkapan tersebut, lalu bandingkan dengan ucapan Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu ketika suatu hari dia masuk ke dalam suatu kebun, lalu melihat seekor burung di atas dahan pohon, lalu dia menarik nafas dan berkata, ”Berbahagialah engkau wahai burung, engkau makan dari pohon, berteduh di bawah pohon, dan perjalananmu tidak akan dihisab. Andai saja Abu Bakar sepertimu!”
Dari Abu Al-Hasan Imran bin Nimran, ”Sesungguhnya Abu Ubaidah bin Al-Jarrah berjalan memeriksa pasukan, lalu dia berkata, ”Ketahuilah, banyak orang yang membersihkan pakaiannya dan mengotori agamanya! Ketahuilah, banyak yang memuliakan dirinya tapi besuk dia akan terhina! Segeralah ikuti keburukan yang lama dengan kebaikan yang baru. Jika salah seorang kalian melakukan keburukan yang memenuhi sampai ke langit, kemudian dia melakukan kebaikan, maka kebaikan itu akan melampaui keburukannya hingga mengalahkannya.”
Jika engakau mengikuti catatan perjalanan hidup Abu Ubaidah dan mencermati perinciannya, setiap lembaran dari buku tersebut akan memperlihatkan sesuatu yang membuatmu terkagum-kagum dan semakin ingin mengetahui lebih jauh tentang sifat-sifatnya. Diantara yang membuat takjub dari dirinya adalah dia kerap menggali kubur dan menguburkan mayat di tempat peristirahatannya terakhir!
Ahmad dan Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Akramah pelayan Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas, dia berkata, ”Di Madinah ada dua orang yang biasa menggali kubur, yaitu Abu Ubaidah bin Al-Jarrah yang menggali kubur untuk penduduk Mekah dan Abu Thalha yang menggali kubur untuk kaum Anshar dan membuat lubang lahat untuk mereka. Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meninggal dunia, Abbas mengutus dua orang untuk menemui keduanya seraya berdoa, ”Ya Allah pilihkanlah untuk Nabimu.” maka mereka mendapatkan Abu Thalhah dan tidak menemukan Abu Ubaidah. Dengan demikian Abu Thalhah menggali kubur Rasulullah dan membuat lubang lahatnya.
Dalam riwayat lain disebutkan, ”Ketika orang-orang berkumpul untuk memandikan jasad Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, Abbas memanggil dua orang dan berkata kepada mereka, ”Pergilah salah seorang kalian menemui Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Abu Ubaidah biasanya menggali kubur untuk penduduk Mekah. Lalu yang lain pergilah ke Abu Thalhah bin Sahal Al-Anshari, dia biasa menggali kubur untuk penduduk Madinah. Kemudian Abbas berdoa seraya melepas keduanya, ”Ya Allah, pilihkanlah untuk Rasul-Mu.” Keduanya lalu pergi dan yang diutus ke Abu Ubaidah tidak berhasil menemukan Abu Ubaidah, sedang yang diutus ke Abu Thalhah berhasil menemuinya. Maka dia membawa Abu Thalhah dan dialah yang menggali kubur Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Alangkah luar biasa Abu Ubaidah, alangkah lembut hatinya, alangkah khusus’ jiwanya ketika dia mau melakukan pekerjaan yang mulia itu!
Sesungguhnya menshalati jenazah dan menyaksikan pemakamannya termasuk syiar agama da pekerjaan yang menghasilkan pahala besar, termasuk ke dalam amal shalih yang dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan diperintahkan untuk dipelihara. Karena perbuatan itu dapat melembutkan hati, membangkitkan rasa zuhud, dan mengingatkan pada akhirat. Apalagi orang yang menggali kuburan dan menguburkan mayat, tentu dari situasi tersebut dia menemukan banyak peringatan untuk hatinya dan bukti nyata untuk akalnya bahwa ujung perjalanan berhenti di tempat tersebut! Sadarlah wahai hamba yang lupa bahwa perjalanan hidup akan berhenti di sana! Maka tetaplah menempuh jalan petunjuk, jauhilah sumber-sumber keburukan, dan bersiaplah menanti saat terakhir itu, bersiaplah untuk menempati tempat itu, bersiaplah untuk rumah terakhir!
Seakan-akan Abu Ubaidah membawa dirinya untuk semua itu, seakan-akan dia ingin mengajarkan para pembesar, meskipun mereka sebagai pemimpin, komandan, penakluk, dan semacamnya, agar tidak melupakan meski sebentarpun dari umurnya saat-saat terakhir itu dan rumah peristirahatan terakhir itu. Tidak ada seorangpun yang bisa lari dan menghindar darinya setinggi apapun kekuasaannya. Dia tidak akan bisa menghindar dari lubang itu, ditimbun tanah, meski sebelumnya dia hidup di istana atau benteng yang kokoh.
Semoga engkau diberkahi wahai sang kepercayaan umat!
Abu Ubaidah bekerja menggali kubur dan memakamkan mayat, padahal dia seorang shahabat terkemuka yang paling dahulu masuk Islam, yang ikut melakukan hijrah, ikut serta dalam perang Badar, ikut dalam bai’at di bawah pohon, kepercayaan umat, dan salah seorang komandan pilihan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan utusan beliau ke beberapa daerah, sosok terhormat pada masa Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu Anhuma, dan komandan pasukan penakluk Syam. Sosok yang memiliki berbagai kemuliaan itu bekerja di bidang yang sangat tawadhu’, yaitu sebagai penggali makam!
Jiwa seperti apa yang dimiliki orang yang satu ini. Bukankah dia berhak memperoleh sifat mulia dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa dia adalah kepercayaan umat ini!
4. Ilmunya dan periwayatan hadits darinya
Abu Ubaidah senantiasa menyertai Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, menghadiri majlis beliau, mengikuti berbagai peristiwa bersama beliau, mendengar banyak perkataan beliau, menyaksikan langsung sikap beliau, menghafal Al-Qur’an, dan salah seorang ahli fikih dan pemberi fatwa.
Bukti yang paling jelas atas keluasan ilmunya adalah ketika penduduk Yaman datang meminta kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam agar mengutus bersama mereka seseorang yang membacakan kepada mereka Al-Qur’an dan mengajarkan kepada mereka tentang Islam dan As-Sunnah, beliau mempercayakan Abu Ubaidah untuk tugas yang mulia tersebut.
Begitu juga sikapnya di berbagai peperangan dan penaklukan yang membutuhkan pengetahuan yang mempuni terkait persoalan jihad, pergaulan dengan ahli dzimmah, ketentuan harta rampasan perang, pembuatan kesepakatan dan perjanjian, perlakuan terhadap rakyat yang berada di bawah kekuasaan Islam, dan pengurusan kebutuhan mereka.
Akan tetapi kitab-kitab Sunnah tidak banyak meriwayatkan hadits darinya. Jumlah hadits yang diriwayatkan darinya dalam kitab-kitab tersebut hanya 15 hadits saja.
Sebabnya adalah karena Abu Ubaidah sepeninggal Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyibukkan diri dengan urusan jihad dan penaklukan dalam rangkah menyebarkan dakwah dan menancapkan pilar-pilarnya di berbagai belahan dunia. Sehingga dia tidak memiliki banyak kesempatan untuk dunia pengajaran. Sementara periwayatan hadits biasanya dilakukan di majlis-majlis ilmu.
Di samping itu, Abu Ubaidah pun termasuk yang meninggal dunia lebih awal. Dia wafat tujuh tahun setelah wafatnya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Hal serupa juga terjadi pada shahabat yang lain yang disibukka oleh jihad, penaklukan, dan urusan umat, seperti Abu Bakar, Utsman, Thalhah, Zubair, Syurahbil bin Hasanah, Khalid bin Walid, dan yang seumpama mereka.
Ucapan Al-Waqidi menyinggung hal tersebut, ”Para pemuka shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lebih sedikit meriwayatkan hadits dibandingkan yang lain. Di antara mereka Abu Bakar, Utsman, Thalhah, Zubair, Sa’ad bin Waqqash, Abdurrahman bin Auf, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, Sa’id bin Zaid, dan seumpama mereka. Dari mereka tidak diriwayatkan banyak hadits seperti yang diriwayatkan dari para shahabat Rasulullah yang datang kemudian.”
Adz-Dzahabi berkata, ”Abu Ubaidah termasuk yang mengumpulkan Al-Qur’an.” Maksudnya yang menghafalnya.
Abu Ubaidah pun meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Di antara yang meriwayatkan hadits darinya adalah Jabir bin Abdullah, Samurah bin Jundub, Abu Umamah Shuday bin Ajlan Al-Bahili, Al-Irbadh bin Sariyah, Abu Tsa’labah Al-Khusyani, semua dari kalangan shahabat.
Sementara dari kalangan tabi’in adalah Aslam pelayan Umar, Abdurrahman bin Ghanam Al-Asy’ari, Iyadh bin Ghuthaif, Qais bin Abi Hazim, Nasyirah bin Sumay, dan yang lainnya.
Bersambung Insya Allah . . .
Artikel http://www.SahabatNabi.com