Categories
Abu Ubaidah

Biografi Sahabat Nabi, Abu Ubaidah : Menyertai Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam (Seri 3)

Biografi Sahabat Nabi, Abu Ubaidah : Menyertai Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam (Seri 3)

7. Pada perang Uhud

Pasukan Quraisy keluar untuk menuntut balas bagi anggota mereka yang terbunuh di perang Badar, yaitu pada perang Uhud yang berlangsung pada pertengahan Syawal tahun 3 H. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabat pun menghadapi pasuka Quraisy. Beliau memakai beberapa perlengkapan perang seperti dua baju besi, baju besi berantai, dan topi baja. Beliau menjadikan gunung Uhud dibelakangnya dan menempatkan pasukan pemanah di gunung Ainain (Disebut juga Jabal Rumah yang terletak disamping gunung Uhud) sebanyak 50 orang di bawah pimpinan Abdullah bin Jubair dan berpesan kepada mereka agar waspada dan member tahu jika ada bahaya. Beliau juga berpesan kepada mereka,

“Tetaplah di tempat kalian ini jagalah bagian belakang kami. Jika kalian lihat kami menang, jangan bergabung bersama kami. Jika kalian lihat kami kalah, tidak perlu kalian tolong kami.”

Dalam kitab Shahih Bukhari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika kalian melihat kami disambar burung, maka janganlah kalian meninggalkan tempat kalian ini hingga aku mengirim utusan untuk member tahu. Dan jika kalian melihat kami mengalahkan musuh dan meluluh lantakkan mereka, maka janganlah kalian meninggalkan tempat kalian hingga aku mengirim utusan.”

Perang pun berkecamuk, kaum muslimin hampir memenangkan pertempuran dan pasukan kafir berhasil dipukul mundur. Melihat hal tersebut pasukan pemanah meresa yakin bahwa kaum musyrikin telah kalah. Mereka pun berselisih, apakah mereka terus bertahan di tempat mereka sebagaimana diperintahkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam atau menuruni bukit untuk bergabung bersama pasukan kaum muslimin dan mengumpulkan harta rampasan perang? Kebanyakan mereka memilih unutk turun dari bukit. Maka mereka melanggar perintah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan membangkang terhadap pemimpin mereka Abdullah bin Jubair yang bertahan di tempatnya dan berusaha mengingatkan mereka tentang perintah dan wasiat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Akan tetapi mereka membantahnya dan merubah maksud perintah Rasulullah seraya mengatakan, “Rasulullah tidak bermaksud begitu. Kaum musyrikin telah kalah, apa gunanya kita tetap bertahan di sini?” Mereka pun turun ke gelanggang untuk ikut serta mengumpulkan harta rampasan perang.

Melihat arah belakang kaum muslimin terbuka, Khalid bin Walid segera memanfaatkan kesempatan tersebut. Dia segera membawa pasukan berkuda memutari bukit dan menyerang kaum muslimin dari arah yang tidak diduga oleh kaum muslimin. Timbangan pertempuran pun berbalik.

Pelanggaran pasukan pemanah atas perintah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjadi sebab tercerai berainya barisan kaum muslimin. Mereka mulai dipukul mundur dan mencium aroma kekalahan setelah sebelumnya hampir memperoleh kemenangan. Kondisi mereka manjadi kacau karena di serang dari arah depan dan belakang. Mereka terjebak dalam situasi yang amat sulit dan sebagian besar dari mereka melarikan diri.

Sementara Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam terus bertahan dan tidak beranjak dari posisinya. Beliau melempari musuh dengan bebatuan setelah busurnya patah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Miqdad bin Amr, dia berkata, “Demi Dzat yang mengutusnya dengan kebenaran, kakinya tidak beranjak sedikitpun. Beliau berhadapan langsung dengan musuh. Terkadang sekelompok shahabat datang melindungi beliau, pada kesempatan lain mereka berpisah dari beliau. Seringkali saya meliaht beliau melempari mereka dengan busurnya, lalu melempari mereka dengan batu hingga mereka menyingkir dari beliau.”

Beberapa shahabat tetap bertahan bersama beliau, melindungi beliau dengan diri mereka dan berperang dengan gagah berani. Di antara mereka adalah Abu Bakar, Umar, Ali, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, Hubab bin Mundzir, Abu Dujanah, Ashim bin Tsabit, Al-Harits bin Ash-Shimmah, Sahal bin Hunaif, Sa’ad bin Mu’adz, dan Muhammad bin Maslamah.

Dalam seranga tersebut kaum musyrikin berhasil mendekati Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sehingga mereka terkena serangan mereka. Wajahnya terluka, empat gigi depannya patah, topi bajanya pecah, dan dua buah mata rantai baju besi penutup kepalanya menancap ke kedua pipinya.

Dalam situasi sulit tersebut kiata dapati Abu Ubaidah terus bertempur melawan musuh, sementara ujung matanya tidak lepas dari posisi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, senantiasa mengawasi beliau seperti mata elang. Ketika melihat ada yang akan membahayakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dia segera melompat menerkam musuh-musuh Allah dan menghalau mereka ke belakang lalu melindunngi Rasulullah sebelum mereka sempat mencelakakannya. Tiba-tiba di dapatinya darah beliau yang suci mengalir dari mukanya dan dilihatnya Rasulullah Al-Amin menghapus darah dengan tangan kanannya sambil bersabda “Bagaimana mungkin berbahagia suatu kaum yang melukai wajah Nabi mereka padahal ia menyuru mereka kepada Tuahn mereka.” Abu Ubaidah melihat dua buah mata rantai besi penutup kepala Rasulullah menancap di kedua belah pipinya. Abu Ubaidah tak dapat menahan hatinya lagi untuk segera mencabut mata rantai itu dengan giginya. Semua itu didorong oleh keberaniannya dan rasa cintanya terhadap pemilik risalah.

Baiklah kita serahkan kepada saksi mata untuk menggambarkan situasi tersebut, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq., “saya termasuk yang bertahan.

Ath-Thayalisi meriwayatkan dari Ibnu Sa’ad, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Ibnu Asakir, dan yang lain, dari Ishaq bin Yahya bin Thalhah, dari Isa bin Thalhah, dari Aisyah Radiyallahu anha. Dia berkata, “Apabila Abu Bakar bercerita tentang perang Uhud, dia berkata, “Hari itu milik Thalhah. Lalu dia bercerita, “Saya termasuk yang bertahan bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada perang Uhud. Saya melihat seseorang berperang melindungi Rasulullah. Saya kira dia adalah Thalhah. Saya lebih suka jika orang tersebut berasal dari kaum saya (Abu Bakar Dan Thalhah sama-sama berasal dari Bani Taim). Di antara saya dan Rasulullah ada seseorang yang tidak saya kenali, posisi saya lebih dekat kepada Rasulullah dari padanya. Lalu dia melompat ke arah Rasulullah dengan cepat, ternyata dia adalah Abu Ubaidah Al-Jarrah. Saya pun sampai ke tempat Rasulullah. Saya dapati gigi depan beliau telah patah, wajahnya terluka, dua mata rantai penutup kepalanya menancap di pipinya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, “Tolonglah saudara kalian!” maksudnya Thalhah, dia telah berlumuran darah maka kami tinggalkan dia. Saya bermaksud ingin mencabut mata rantai yang menancap di wajah Rasulullah, namun Abu Ubaidah berkata, “Saya bersumpah, biar saya yang melakukannya.” Maka saya pun membiarkannya melakukannya. Abu Ubaidah tidak mau mencabutnya dengan tangan khawatir akan menyakiti Rasulullah. Maka dia pun menggigit mata rantai dan berhasil mencabutnya, seiring dengan itu gigi serinya pun lepas. Saya ingin melakukan hal yang sama, namun Abu Ubaidah kembali berkata, “Saya bersumpah, biar saya saja yang melakukannya.” Dia kembali melakukan hal yang sama, hingga terlepas satu gigi seri lagi.

Abu Ubaidah adalah orang yang paling baik dalam hal kehilangan gigi seri. Kami pun segera merawat luka Rasulullah. Kemudian kami mendatangi Thalhah, ternyata di tubuhnya terdapat tujuh puluh lebih luka akibat tusukan tombak, pukulan pedang, dan tancapan anak panah, dan salah satu jarinya putus. Maka kami segera merawatnya.”

Dalam riwayat Ibnu Asakir disebutkan, “Abu Ubaidah menelungkup di atas Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu dia mencabut mata rantai yang menancap di wajah beliau. Dia tidak mau menggoyang-goyangkan mata rantai itu khawatir Rasulullah akan merasa sakit, maka dia menggigitnya lalu mencabutnya. Giginya lalu bergeser dan langsung dicabutnya.”

Demikianlah hendaknya rasa cinta itu, begitulah hendaknya sebuah pengorbanan. Sejarah tidak pernah mencatat situasi luar biasa seperti itu kecuali yang terjadi pada para shahabat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, tidak ada yang menyamai kecintaan mereka terhadap beliau. Mereka tidak mendahulukan kecintaan terhadap diri, anak, keluarga, dan harta mereka di atas kecintaan terhadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

8. Pada perang Dzatus Salasil

Pada bulan Jumadil Akhir tahun 8 Hijriyah sampai berita kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa gabungan pasukan Qudha’ah berkumpul di pemukiman mereka untuk menyerang Madinah. Maka beliau mempersiapkan pasukan yang terdiri dari 300 orang pilihan dari kaum muslimin dan menyerahkan panji kepada Amr bin Ash serta mengangkatnya sebagai pemimpin pasukan. Beliau memerintahkan kepada Amr bin Ash untuk membeli pelajaran kepada kabilah-kabilah tersebut. Sesampainya di sana, Amr mendapati jumlah pasukan musuh sangat banyak, maka dia meminta tambahan pasukan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Beliau pun mengirim tambahan pasukan di bawah pimpinan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah dan memerintahkan kepadanya untuk bergabung dengan Amr dan tidak bergerak secara terpisah.

Musa bin Uqbah, Ibnu Sa’ad, dan Ibnu Ishaq meriwayatkan, “Sampai berita kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa gabungan pasukan dari Qudha’ah telah berkumpul untuk melakukan penyerangan terhadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Maka beliau memanggil Amr bin Ash dan menyerahkan kepdanya panji berwarna putih, lalu mengikutsertakan benderah berwarna hitam. Beliau mengutusnya bersama 300 pasukan pejalan kaki dari kaum Muhajirin dan Anshar, ikut bersama mereka 30 pasukan berkuda. Beliau juga memerintahkannya untuk meminta bantuan kepada kabilah yang dilewati pasukan, yaitu dari kabilah Bali, Udzrah, dan Balqain. Pasukan ini bergerak pada malam hari dan beristirahat pada siang hari. Ketika pasukan hamper sampai ke tempat musuh, di ketahui jumlah pasukan musuh sangat banyak. Maka Amr mengutus Rafi’ bin Makits Al-Juhani kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meminta tambahan pasukan. Maka beliau mengutus Abu Ubaidah bin Al-Jarrah dan menyerahkan kepadanya panji, ikut bersamanya 200 pasukan pejalan kaki dari kaum Muhajirin dan Anshar, termasuk di antaranya Abu Bakar dan Umar. Beliau memerintahkannya untuk menyusul Amr dan hendaknya mereka bergabung menjadi satu pasukan dan tidak berselisih. Pasukan Abu Ubaidah pun berhasil menyusul pasukan Amr. Suatu saat Abu Ubaidah hendak mengimami shalat, lalu Amr berkata padanya, “Engkau dikirim ke sini sebagai bantuan pasukan, sedangkan saya pemimpin pasukan secara keseluruhan.” Maka Abu Ubaidah mentaati Amr dan sejak itu Amr yang menjadi imam Sholat. Pasukan kaum muslimin melanjutkan perjalanan hingga memasuki negeri Bali dan menundukkannya, hingga mereka sampai ke ujung negeri dan memasuki negeri Udzrah dan Balqain. Terakhir mereka menghadapi pasukan gabungan, maka pasukan kaum muslimin pun menyerbu mereka hingga mereka lari dan tercerai-berai. Perang pun usai dan pasukan kaum muslimin kembali ke Madinah. Amr segera mengutus Auf bin Malik Al-Asyja’I untuk mengirim berita kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memberitahu beliau bahwa mereka dalam perjalanan pulang dengan selamat serta menginformasikan tentang pertempuran yang terjadi.”

Dalam riwayat lain disebutkan, “Ketika Abu Ubaidah meliahat adanya perselisihan, sementara Abu Ubaidah adalah sosok yang lembut dan menganggap rendah segala urusan dunia, dia segera ingat akan pesan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Maka dia berkata kepada Amr, “Wahai Amr, ketahuilah bahwa pesan terakhir yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepadaku saat akan berangkat adalah, “Jika engkau bertemu dengan shahabatmu, bersatulah dan jangan berselisih.” Demi Allah, jika engkau menolak untuk taat kepadaku maka saya akan tetap taat kepadamu!” Maka Abu Ubaidah pun mematuhi Amr, lalu Amr menjadi imam shalat. Amr berkata, “Saya pemimpinmu dan engakau hanyalah pasuka tambahan untuk membantuku.” Abu Ubaidah menjawab, “Silakan.”

Dengan sikapnya itu Abu Ubaidah menjadi contoh teladan bagi pemimpin dan anggota pasukan dalam hal mentaati Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan menjaga persatuan kaum muslimin agar mereka tetap berada dalam satu barisan yang kuat dalam menghadapi musuh. Dia tidak berkeras hati menganggap dirinya sebagai pemimpin pasukan yang di antaranya terdapat Abu Bakar dan Umar. Jiwanya lebih terpaut pada tujuan yang lebih mulia yaitu jihad fi sabilillah. Di hatinya tersimpan niat yang ikhlas tanpa dicampuri oleh keinginan hawa nafsu atau bisikan setan.

Akhlak seperti ini dimiliki oleh Abu Ubaidah, lalu semakin tumbuh dan berkembang saat dia hidup dalam naungan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan mengikuti petunjuk beliau. Sikap Abu Ubaidah ini akan terulang saat dia menjadi pemimpin pada berbagai penaklukan selanjutnya.

9. Pada Fathul Makkah

Memasuki bulan Ramadhan tahun 8 Hijriah, berangkatlah pasukan kebaikan di abwah pimpinan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menuju Mekah untuk penaklukannya dan mengenyahkan berhala-berhala dari lingkungan Ka’bah. Dikibarkanlah panji tauhid melalui lisan muadzin Rasul, Bilal bin Rabah yang meneriakkan kalimat, “Allahu Akbar, La ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah.”

Tidak mungkin Abu Ubaidah absen dari peristiwa besar ini, sementara dia tidak pernah ketinggalan dalam berbagai peristiwa yang lebih kecil dari itu. Bagaimana mungkin dia melewatkan kesempatan untuk menyaksikan kemenangan besar? Bagaimana mungkin dia tidak ikut serta berangkat bersama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk menaklukkan Mekah di mana dia pernah terusir dari sana. Kota tempat dia dilahirkan dan melewati masa kecilnya, tempat tinggal keluarganya, tempat dia meletakkan kakinya untuk pertama kali di jalan kebenaran saat menyatakan keislamannya! Dia pun sempat hidup di sana selama 13 tahun di bawah naungan kenabian. Bahkan tempat itu selalu menjadi tambatan hatinya dan kiblat shalatnya.

Abu Ubaidah tidak akan melewatkan semua itu dalam catatan kenangan. Telah terbuka kesempatan untuk mengulangi kembali saat-saat indah, lalu menyambung cerita masa lalu dengan masa sekarang di atas jempatan kehidupan yang mulia dan keimanan yang tulus di kota Iman, Madinah Munawwarah.

Memang benar, Abu Ubaidah ikut berangkat di bawah panji Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan kepemimpinannya yang bijaksana. Dia bukanlah seorang tentara biasa, akan tetapi kedudukannya berada di kalangan shahabat terkemuka sejak masa awal dakwah. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sangat mengetahui kedudukan para shahabatnya dan sangat baik terhadap mereka serta sangat menghargai kedudukan mereka. Maka beliau mengedepankan Abu Ubaidah dan menjadikannya salah satu pemimpin pasukan besar ini.

Ath-Thayalisi, Ahmad, Muslim, Abu Daud, An-Nasa’i, dan yang lain meriwayatkan dari Tsabit Al-Bunani, dia berkata, “Abdullah bin Rabah Al-Ansharimenceritakan kepada kami, Abu Hurairah berkata, “Tidakkah saya beritahukan kepada kalian tentang suatu hadits dari hadits kalian wahai jamaah Anshar?” Maka Abu Hurairah menyebut Fathu Makkah. Dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam datang dan memasuki kota Mekah. Beliau mengutus Zubair sebagai pemimpin salah satu dari dua sayap pasukan dan mengutus Khalid sebagai pemimpin sayap pasukan lainnya. Lalu beliau mengutus Abu Ubaidah sebagai pemimpin pasukan yang tidak menggenakan baju besi, sementara Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memimpin pasukan berkuda.

Pada kesempatan itu dia menyaksikan satu momen terindah sepanjang hidupnya, yaitu ketika menyaksikan Mekah membentangkan lengan menyambut kedatangan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya lalu menyaksikan gerakan pembersih Ka’bah dari kotoran berhala. Kenikmatan yang diperolehnya semakin sempurna dengan terbukanya kesempatan untuk melakukan thawaf, sa’I, dan shalat di maqam Ibrahim.

10. Pemimpin pasukan Ke Dzil Qashshah

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam  tidak merasa cukup dengan pengerahan pasukan dan keikutsertaan beliau bersama para shahabat dalam berbagai peperangan dalam rangka menegakkan panji jihad fi sabilillah, menyampaikan risalah, dan member pelajaran bagi para musuh, serta menyingkirkan berbagai halangan yang merintangi jalan dakwah ke seluruh alam. Akan tetapi beliau kerap mengirim pasukan bersenjata menyusuri padang pasir di sekitar Madinah untuk memperlihatkan kepada kaum musyrikin jazirah Arab, orang Yahudi, kaum munafik, serat Arab badui yang menetap di sekitarnya bahwa kaum muslimin telah menjelma sebagai pasukan yang kuat dan tidak lemah lagi seperti dahulu. Di samping itu agar menimbulkan rasa takut pada mereka yang memendam keinginan untuk memberontak terhadap pusat pemerintahan Negara Islam atau menyerang wilayah-wilayah di perbatasannya atau menimbulkan kekacauan di sana (Lihat: Fiqh As-Sirah karya Syaikh Muhammad Al-Ghazali, hlm.213-214). Hal ini didasarkan pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Anfal [8]: 60).

Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memepersiapkan panji untuk pasukan dalam jumlah kecil maupun besar dan mengangkat pemimpin untuk pasukan tersebut dari orang-orang terpilih diantara para shahabat beliau yang memilki kapasitas dan keahlian dalam hal perang dan sifat yang luhur sebagai pemimpin. Abu Ubaidah adalah salah satu yang dipilih oleh Rasulullah untuk memimpin pasukan jihad. Maka beliau mengutusnya pada tahun ke enam Hijriyah memimpin 40 orang ke Dzail Qashshah.

Ibnu Sa’ad menceritakan bahwa pasukan ini berangkat pada bulan Rabiul Akhir tahun keenam Hijriyah. Penyebabnya adalah Bani Muharib, Tsa’labah, dan Anmar bergabung untuk menyerang peternakan Madinah yang digembalakan di Buhaifa’, sebuah tempat yang berjarak 7 mil dari Madinah. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengutus Abu Ubaidah bin Al-Jarrah bersama 40 orang kaum muslimin. Mereka berangkat selepas Maghrib dan sampai ke Dzaul Qashshah menjelang Subuh. Maka mereka menyerbu para penyerang hingga melemahkan mereka dan melarikan diri ke pegunungan. Kaum muslimin berhasil menangkap salah seorang dari penyerang, lalu orang itu masuk Islam maka dilepaskan. Abu Ubaidah lalu mengambil ternak para penyerang dan yang tertinggal dari harta benda mereka untuk di bawah ke Madinah. Maka Rasulullah mengambil seperlima dan membagikan sisanya kepada pasukan tersebut.

11. Pemimpin pasukan Al-Khabath (Pasukan Siful Bahr)

Begitu juga, Rasulullah menetapkan Abu Ubaidah sebagai pemimpin pasukan yang berjumlah 300 orang dari kalangan shahabat untuk mengintai kafilah dagang kaum Quraisy dan diberangkatkan ke Siful Bahr, daerah pesisir laut merah dari arah Yanbu’ berjarak 180 Km dari Madinah Munawwarah.

Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah Radiyallahu Anhuma, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah mengirim kami dengan Abu Ubaidah sebagai komandannya, untuk menghadang kafilah dagang Quraisy. Kami hanya dibekali dengan sekarung kurma, dan tidak ada lagi selain itu. Karena itu, Abu Ubaidah membagi-bagikannya kepada kami sebuah demi sebuah.” Abu Az-Zubair berkata, “Lantas saya berkata, “ Apa yang dapat kalian perbuat dengan sebuah kurma itu” Jubair menjawab, “Kami menghisap-hisapnya seperti bayi. Kemudian kami meminum air. Hal itu sudah cukup bagi kami untuk sehari sampai malam. Pernah juga kami menumbuk dedaunan dengan tongkat, kemudian kami siram dengan air lalu kami memakannya. Setelah itu kami samapai di pantai, kami dihadapkan dengan suatu pemandangan yang tampaknya seperti gundukan pasir, ketika kami hampiri ternyata itu adalah hewan laut yang disebut anbar (Ikan Paus).”

Jabir berkata, “Lalu Abu Ubaidah berkata, “Itu adalah bangkai.” Kemudian dia melanjutkan, “Namun tidak mengapa, kita adalah utusan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang mengemban tugas fi sabilillah dan kalian dalam keadaan terpaksa, karena itu kalian boleh memakannya.” Jabir berkata, “Kami menetap di tempat itu selama sebulan, dan jumlah kami semuanya ada tiga ratus orang, dan kami menjadi gemuk semuanya (karena makan daging itu).” Jabir melanjutkan, “Sungguh kami telah mengetahui, saat itu kami mengambil minyaknya dari rongga matanya dan menampungnya dengan tempayan besar. Kemudian kami potong-potong dagingnya seperti memotong seekor lembu. Kemudian Abu Ubaidah memanggil tiga belas prajurit untuk masuk ke rongga mata ikan, lalu mereka mengambil kerangkanya dan menegakkannya, kemudian unta kami yang paling besar dituntun  berjalan di bawah kerangka ikan tersebut. Lalu kami mengambil daging ikan itu sebagai perbekalan kami untuk kami masak. Setelah itu kami tiba di Madinah, kami menemuhi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan memberi tahukan hal itu kepada beliau, maka beliau bersabda, “Iitu adalah rizki yang diberikan Allah kepada kalian, apakah kalian membawa sedikit dagingnya untuk kami makan?” Jabir berkata, “Lantas kami kirimkan daging tersebut kepada Rasulullah dan beliau memakannya.”

Dalam riwayat lain Jabir berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengirim pasukan kea rah pantai dan mengangkat Abu Ubaidah sebagai pemimpinnya. Jumlah mereka 300 orang. Maka kami berangkat dan di tengah perjalanan perbekalan habis. Abu Ubaidah memerintahkan untuk mengumpulkan yang tersisah dari bekal seluruh pasukan. Terkumpullah dua kantung kurma. Abu Ubaidah mengatur pembagian bekal sedikit demi sedikit sampai habis. Masing-masing kami hanya mendapatkan satu biji kurma. Saya bertanya, “Apakah cukup bagi kalian satu biji kurma?” Dia menjawab, “Kami mendapatkan ganti ketika perbekalan itu habis.”

Begitulah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mendidik para shahabat beliau sesuai dengan hati beliau yang mulia dan kehidupan beliau yang luhur, tentang keyakinan kepada Allah dan kepasrahan terhadap ketinggian hikmah, dekatnya jalan keluar dan keluasaan nikmat yang disertai dengan kesabaran dan kezuhudan. Semua itu nampak dalam kepercayaan penuh pada diri mereka bahwa kemenangan itu harsu disertai dengan kesabaran, bahwa ada jalan keluar bagi setiap kesempitan dan bersama kesulitan terdapat kemudahan.

Mungkin mudah bagi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk mengumpulkan bekal yang cukup bagi mereka dalam melakukan perjalanan jihad, betapa banyak shahabat yang kaya dan dermawan! Atau bias saja beliau berdoa kepada Allah agar bumi menumbuhkan tanaman untuk mereka, atau laut yang mereka tuju mengeluarkan makanan yang baik untuk mereka konsumsi, atau jejak kaki kuda salah seorang dari mereka memancarkan air tawr yang melimpah untuk mereka. Semua itu sangat memungkinkan bagi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, karena langit terbuka untuk doa beliau yang penuh berkah. Akan tetapi, beliau tidak ingin membuat mereka berpangku tangan terhadap semua itu, beliau ingin menanamkan pada diri mereka akhlak terbaik dan ingin menghidupkan dalam hati mereka cahaya iman serta menanam di hati mereka sumber-sumber keyakinan. Sehingga setiap mereka menjelma sebagai sosok yang mampu mengatasi berbagai bentuk kesulitan untuk menggapai tujuan yang luhur. Pemilihan Abu Ubaidah sang pemberani dan terpercaya sebagai pemimpin merupakan keputusan yang mendapat taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Pasukan tersebut terus berjalan menempuh jarak yang sangat jauh. Masing-masing dari mereka berbekal sejumlah kurma. Ketika perbekalan menipis, masing-masing hanya memiliki satu buah kurma yang hanya diisap-isap seperti seorang bayi mengisap susu ibunya. Pada hal mereka dalam perjalanan dan kesulitan karena mengarungi padang pasir. Ketika kurma itu habis, mereka beralih pada pepohonan, memetik daun-daunnya, lalu membukanya dan memakannya. Mereka terus berjalan tanpa mempedulikan rasa lapar dan kesulitan perbekalan.

Situasi tersebut tidak berlangsung lama, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan mereka dengan rizki yang luar biasa. Maka seorang mukmin itu jika bergantung kepada Allah, ikhlas kepada-Nya, hanya mengharapkan ridha-Nya, dan mengerahkan segala sesuatu untuk melayani agama-Nya, dunia akan mendatanginya. Maka laut itu ditundukkan untuk mereka dan melayani mereka untuk menghilangkan rasa lapar mereka dengan izin Allah. Laut itu lalu mendamparkan untuk mereka daging yang layak dimakan. Mereka memakannya, mengambil minyaknya, dan berbekal dengannya hingga kembali ke Madinah. Kemuliaan yang diberika Allah untuk mereka semakin bertambah ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memberitahu mereka bahwa ikan tersebut bukanlah bangkai akan tetapi rizki yang halal dan baik. Bahkan beliau ikut makan daging ikan tersebut untuk menyenangkan hati mereka.

12. Sikap Nabi yang mengangkat kedudukan Abu Ubaidah dan perolehan julukan “Kepercayaan Umat”

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam paling mengenal para shahabatnya. Beliau telah mendidik mereka secara langsung dengan ayat-ayat wahyu yang turun secara berturut-turut kepada beliau, juga dengan hikmah yang dikeluarkan oleh Allah dari hatinya yang bercahaya menuju lisannya yang mulia. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala member beliau kekhususan berupa kemampuan untuk melihat hakikat seseorang dan menimbang mereka dengan sifat-sifat mereka secara jelas seperti judul sebuah buku. Tidak ada orang dengan penglihatan yang dapat menembus hijab. Dengan kemampuan tersebut beliau kerap member kepada beberapa shahabat belaiu julukan yang indah. Lalu berbagai peristiwa membuktikan bahwa julukan itu memang tepat disandangkan padanya. Seperti saat beliau menjuluki Abu Bakar sebagai orang yang paling penyayang kepada umat Islam, Utsman sebagai sosok pemalu, Khalid sebagai pedang Allah, dan Abu Ubaidah sebagai kepercayaan umat.

Utusan penduduk Najran pernah datang ke Madinah Munawwarah dan pemimpin mereka meminta kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk mengutus bersama mereka seorang shahabat beliau yang terpercaya. Maka beliau mengambil tangan kanan Abu Ubaidah dan memberinya sebuah julukan di depan khalayak ramai, sebuah julukan yang kemudian hari menjadi cirri tersendiri baginya dan senantiasa menempel erat dengan dirinya sepanjang hidupnya dan selalu disebut-sebut bersama namanya dalam catatan sejarah. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, “Ini adalah kepercayaan umat ini.”

Imam Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’I, Ibnu Sa’ad, dan yang lain meriwayatkan dari Hudzaifah bin Yaman Radiyallahu Anhuma, dia berkata, “Seorang tuan dan budak dari Najran mendatangi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan hendak melaknat beliau. Salah seorang dari mereka berkata, “Jangan lakukan, demi Allah jika dia benar seorang Nabi lalu dia melaknat kita, kita tidak akan beruntung, tidak juga orang yang datang setelah kita!” Lalu keduanya berkata, “Sesungguhnya kami akan member apa yang engkau minta kepada kami. Utuslah bersama kami seorang laki-laki terpercaya. Jangan engkau utus kecuali orang terpercaya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, “Sungguh saya akan mengutus bersama kalian seorang laki-laki terpercaya, sangat terpercaya.” Para shahabat berharap mendapat kehormatan tersebut, lalu beliau berkata, “Berdirilah wahai Abu Ubaidah bin Al-Jarrah!” Ketika Abu Ubaidah berdiri, beliau berkata, “Orang ini adalah kepercayaan umat ini.”

Dalam riwayat Ibnu Sa’ad disebutkan, “Mereka berkata, “Utuslah bersama kami seorang laki-laki terpercaya.” Beliau berkata, “Sungguh saya akan mengutus bersama kalian seorang laki-laki terpercaya, sangat terpercaya,sangat terpercaya, sangat terpercaya.” Beliau menyebutkannya sampai tiga kali. Para shahabat Rasulullah berharap memperoleh kehormatan tersebut, lalu beliau mengutus Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.

Abu Ubaidah adalah seorang terpercaya dan memiliki sifat amanah yang sebenar-benarnya. Dia orang yang memegang anamah agamanya, penyampaian risalahnya, amanah terhadap prinsip-prinsipnya, amanah dalam menjaga berbagai arahan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, amanah terhadap semua orang yang dipimpinnya baik dari kalangan yang kuat maupun yang lemah sehingga dia bersikap adil kepada mereka semua, amanah dalam memperlakukan musuhnya meskipun berbeda agama, amanah dalam menjaga persatuan kaum muslimin, amanah dalam menjaga harta milik umat, dan amanah dalam banyak hal lainnya. “Seorang terpercaya yang sangat terpercaya” sebagaimana dikatakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Mengingat sifat tersebut sanagt mulia dan diberikan oleh sosok yang tidak berbicara dari hawa nafsunya, para shahabat yang lain pun berharap untuk memperoleh kemuliaan tersebut. Karena mereka melihat dalam sifat tersebut berbagai keutamaan dan kemuliaan. Maka mereka sangat menginginkan julukan kehormatan itu, bukan karena mereka menyukai penjulukannya, tapi karena mereka ingin agar mereka pun dapat menjaga amanah dalam diri mereka.

Tidak berarti bahwa Abu Ubaidah Radiyallahu Anhu sendiri yang memiliki sifat ini diantara para shahabat, tidak berarti pula bahwa dia melampaui dua sosok terbaik, Abu Bakar dan Umar atau melampaui Utsman dan sejumlah pemuka shahabat dengan sifat tersebut, hanya saja waktu itu Abu Ubaidah adalah orang yang paling tepat untuk utusan itu. Dialah yang cocok dengan situasi dakwah dan kondisi objek dakwah. Maka dia pun beruntung memperoleh sifat yang sangat mahal tersebut. Sebagaimana halnya Ali yang beruntung memperoleh kesempatan melakukan pengorbanan pada saat hijrah Nabi, Abu Bakar beruntung memperoleh kesempatan menyertai beliau di dalam gua, kemudian dalam perjalanan hijrah beliau, Umar mendapat jelar Al-Faruq (Sang pembeda antara yang hak dan batil), Utsman mendapat kehormatan sebagai utusan pada peristiwa Hudaibiyah, Hudzaifah disebut sebagai penjaga rahasia, Khalid sebagai pedang Allah, Zubair sebagai penolong Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, Abu Dzar sebagai orang yang paling benar logatnya, Mu’adz sebagai orang yang paling mengerti persoalan halal dan haram, Ubay sebagai orang yang paling baik bacaan Al-Qur’annya, dan berbagai julukan lain yang disematkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada sosok tertentu dari shahabatnya.

Abu Ubaidah pergi bersama utusan tersebut untuk mengambil jizyah(upeti) yang telah disepakati. Maka berkata kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Kami akan memberikan kepadamu apa yang engkau minta kepada kami” seperti tertera dalam riwayat shahih Al-Bukhari. Yunus bin Bukair menyebutkan dalam riwayatnya di dalam kitab “Al-Maghazi”, Bahwa sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membuat kesepakatan damai dengan mereka dengan bayaran jizyah berupa 2000 senjata. Seribu diserahkan bulan Rajab dan seribu lagi pada bulan Shafar. Bersama setiap senjata dilengkapi dengan tameng. Maka Abu Ubaidah pergi mengambil harta kesepakatan damai itu dan kembali pulang.”

Penduduk Yaman pernah datang menemui Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam  dan meminta beliau untuk mengutus bersama mereka seorang yang dapat mengajarkan mereka Islam, Al-Qur’an, dan As-Sunnah. Beliau memenuhi permintaan mereka dan memuliakan mereka. Lalu untuk kedua kalinya Abu Ubaidah mendapat kehormatan yang agung ini.

Imam Muslim, Ibnu Sa’ad, Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawi, Al-Hakim, dan yang lainnya meriwayatkan dari Anas bin Malik Radiyallahu Anhu, “Sesungguhnya penduduk Yaman datang menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan berkata kepada beliau, “Utuslah bersama kami seseorang yang dapat mengajarkan kami As-Sunnah dan Islam.” Maka beliau mengambil tangan Abu Ubaidah seraya berkata, “Orang ini adalah kepercayaan umat ini.”

Namun Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari berpendapat bahwa kedua hadits tersebut terkait dengan satu peristiwa yaitu peristiwa penduduk Najran dan perawi hadits melebihkan ketika menyambut penduduk Najran dengan penduduk Yaman. Namun kami lebih memilih pendapat bahwa kedua hadits tersebut menerangkan dua peristiwa yang berbeda. Pada hadits pertama disebutkan bahwa Abu Ubaidah pergi bersama utusan untuk mengambil jizyah, karena mereka belum masuk Islam. Sedangkan pada hadits kedua secara jelas disebutkan bahwa mereka yang datang telah masuk Islam dan meminta kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk mengutus bersama mereka orang yang dapat mengajarkan mereka Islam, Al-Qur’an, dan As-Sunnah. Maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengutus Abu Ubaidah.

Berikut ini adalah situasi lain yang memperlihatkan sisi yang baru dari pengertian amanah pada sosok Abu Ubaidah. Di sebuah desa yang berada di abwah pemerintahan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, datang penduduknya kepada Nabi mengadukan pemimpin mereka. Maka beliau mengabulkan permohonan mereka agar tidak terbuka kesempatan bagi setan untuk menimbulkan fitnah dikalangan mereka dan untuk meletakkan sebuah aturan yang harus dipedomani oleh siapa pun yang memerintah setelahnya untuk mengingatkan para pemimpin agar bersikap adil terhadap rakyatnya. Maka beliau mengutus Abu Ubaidah sebagai pengganti pemimpin mereka untuk mengobati luka yang mereka keluhkan dengan obat amanah dan kelembutan akhlak.

Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawi dan Ibnu Asakir meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Salim bin Abdullah bin Umar, dari Abdullah bin Umar, dia berkata, Umar berkata, “Saya tidak pernah mengajukan diri untuk menjadi pemimpin kecuali satu kali di mana saya sanagt ingin diangkat sebagai pemimpinnya. Sekelompok orang datang menemui Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengeluhkan pemimpin mereka. Maka beliau berkata, “Sungguh saya akan mengutus kepada kalian seorang terpercaya, sangat terpercaya.” Umar berkata, “Maka saya menawarkan diri agar saya memperoleh doa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, namun beliau mengangkat Abu Ubaidah dan meninggalkan saya.”

Penduduk Bahrain (Mayoritas penduduk Bahrain di kala itu memeluk agama Majusi) pun mengajukan kesepakatan damai kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka beliau mengutus orang kepercayaannya, Abu Ubaidah kepada mereka untuk mengambil jizyah.

Imam Ahmad, Al-Bukahri, Muslim, An-Nasa’I, dan yang lainnya meriwayatkan dari Amr bin Auf Radiyallahu Anhu, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengutus Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ke Bahrain untuk mengambil jizyah. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menerima kesepakatan damai dengan penduduk Bahrain dan mengangkat Ala’ bin Hadhrami sebagai gubernur di sana. Datanglah Abu Ubaidah membawa harta dari Bahrain dan kaum Anshar mendengar kabar kedatangan Abu Ubaidah tersebut. Kejadian itu bertepatan denagn waktu shalat Subuh bersama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Setelah selesai mengimami shalat Subuh, Nabi langsung pergi. Mereka pun mendatangi Nabi. Melihat kedatangan mereka beliau tersenyum dan berkata, “Saya kira kalian telah mendenagr bahwa Abu Ubaidah datang membawa sesuatu.” Mereka menjawab, “Benar wahai Rasulullah.” Beliau berkata, “Maka gembiralah dan berharaplah sesuatu yang menyenangkan kalian. Demi Allah, bukan kefakiran yang saya takutkan atas kalian, akan tetapi seya takut kalian memperoleh kesenangan dunia seperti orang-orang sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba seperti halnya mereka berlomba-lomba mendapatkannya, lalu dunia itu membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka.”

Bersambung Insya Allah . . .

Artikel http://www.SahabatNabi.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.