Categories
Ali Bin Abi Thalib

Biografi Sahabat Nabi Ali Bin Abi Thalib : Akhlak Mulia Ali (Seri 3)

C. AKHLAK, SIFAT, ILMU, DAN KEDUDUKAN ALI

1. Akhlak Ali bin Abi Thalib
Akhlak Ali Radiyallahu ‘Anhu merupakan pantulan dari cahaya akhlak Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam, karena Ali tumbuh besar di rumah Nabi, hidup di taman akhlak yang mulia, ditambah lagi dia pun menjadi menantu Rasulullah, di mana Rasulullah senantiasa membimbingnya dan Fathimah dengan berbagai nasihat yang luhur dan adab yang mulia.

Ali merupakan sosok pemalu, sifat malunya para ksatria pemberani. Pada perang Uhud, ketika bertarung melawan Abu Sa’ad bin Abi Thalhah dan berhasil menjatuhkannya ke tanah, pada saat Ali akan menghabisinya tiba-tiba Ali berbalik dan pergi meninggalkannya. Ketika para shahabat bertanya kenapa dia tidak jadi menghabisinya, Ali menjawab, “Dia menghadapiku dengan menampakkan auratnya, maka saya merasa iba padanya, saya tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membinasakannya.” Perbuatan itu terulang kembali pada perang Khandaq ketika bertarung melawan Amr bin Abdi Wud. Ali menceritakan, “Saya memukulnya dengan pedang, lalu dia melindungi dirinya dengan menampakkan auratnya, maka saya merasa malu untuk menghabisinya.”

Kemuliaan seorang pejuang merupakan akhlak yang tidak pernah dilupakan oleh Ali pada saat memperoleh berbagai kemenangan. Sesungguhnya para pejuang sejati seperti Ali menggapai kemenangan dengan cara yang mulia dan adil. Sikap ini hanya akan muncul dari akhlak yang tumbuh di rumah para Nabi dan tidak memilikinya kecuali orang-orang pilihan.

Ali juga dikenal jujur dan apa adanya. Dia menolak sikap berpura-pura untuk menyelamatkan diri meski dalam situasi sulit sekalipun. Dia pernah berkata, “Tanda keimanan adalah engkau lebih mengutamakan kejujuran meskipun merugikanmu atas kebohongan meski memberi manfaat bagimu, hendaklah dalam pembicaraanmu tidak melebihi ilmumu dan bertaqwalah kepada Allah dalam berbicara dengan orang lain.”

Dalam menjaga hubungan kekerabatan Ali dikenal sangat gigih. Dia bersaing dengan beberapa shahabat dalam memperoleh hak asuh Amarah putri pamannya Hamzah bin Abdul Muththalib Radiyallahu ‘Anhu, dan tidak bisa memberi ketetapan antara dia, Ja’far, dan Zaid bin Haritsah selain keputusan Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Barra’ bin Azib Radiyallahu ‘Anhu, dia berkata “Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam melakukan umrah pada bulan Zulqa’dah, maka penduduk Mekah tidak mengizinkan beliau memasuki Mekah hingga Rasulullah membuat kesepakatan dengan mereka bahwa beliau hanya akan tinggal di Mekah selama tiga hari. Ketika telah lewat tiga hari, penduduk Mekah mendatangi Ali dan berkata, “Sampaikan pada shahabatmu untuk segera keluar dari wilayah kami karena waktunya telah habis.” Maka Nabi dan para shahabatnya pun keluar dari Mekah. Tiba-tiba mereka diikuti oleh Hamzah seraya memanggil, “Wahai putra pamanku!” Ali pun membawanya dan berkata kepada Fathimah, “Bawa serta putri pamanmu.” Lalu Ali berselisih dengan Zaid dan Ja’far mengenai hak asuhnya. Ali berkata, “Saya lebih berhak mengasuhnya karena dia putri pamanku dan bibinya adalah istriku.” Sementara Zaid berkata, “Dia adalah putri saudaraku.” Maka Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam memutuskan untuk menyerahkannya pada bibinya seraya berkata, “Bibi sama seperti Ibu.” Beliau berkata pada Ali, “Engkau bagian dariku dan aku bagian darimu.” Lalu berkata pada Ja’far, “Engkau menyerupai aku dan akhlakku.” Kemudian berkata pada Zaid, “Engkau adalah saudara kami dan pelayan kami.”

Ali terkenal sangat zuhud. Dia makan dari hasil jerih payahnya sendiri, mengambil sendiri air dari sumur, padahal dia menantu Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam. Bahkan istrinya, Fathimah menggiling gandum dengan batu gilingan hingga kedua tangannya lecet.
Ali senang menjamu tamu, mudah memberi orang-orang yang membutuhkan, dan memuliakan utusan mereka. Ali Radiyallahu ‘Anhu berkata, “Mengumpulkan beberapa shahabatku untuk menyantap bersama satu atau dua sha’ makanan lebih saya sukai daripada pergi ke pasar untuk memerdekakan budak.”

Suatu hari datang padanya seorang laki-laki berkata, “Wahai Amirul mukminin, saya membutuhkanmu. Saya telah memintanya kepadamu. Jika engkau memenuhi permintaanku ini saya akan memuji Allah dan berterima kasih kepadamu. Jika tidak, saya memuji Allah dan memaafkanmu.”

Ali berkata, “Tulislah di tanah, saya tidak suka melihat kehinaan peminta-minta pada wajahmu.”

Maka orang itu menulis, “Saya orang  yang butuh bantuan.”

Ali lantas berkata, “Bawakan padaku sehelai pakaian.” Lalu didatangkanlah sehelai kain dan diberikannya pada orang itu. Orang itu segera mengambil dan memakainya, lalu memuji Ali dengan gubahan syair.

Kemudian Ali berkata, “Bawakan padaku uang dinar.” Maka didatangkanlah uang seratus dinar dan diberikannya pada orang itu. Seseorang berkata kepada Ali, “Wahai Amirul mukminin, engkau memberinya pakaian dan uang seratus dinar?”

Ali menjawab, “Ya, saya mendengar Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, “Posisikan orang sesuai dengan kedudukannya.” Ini adalah kedudukan orang itu di sisiku.”

2. Keimanan, ketaatan, dan sifat wara’ Ali
Ali Radiyallahu ‘Anhu senantiasa memelihara pelaksanaan shalat sunnah baik pada malam hari maupun siang hari. Dia kerap kerap shalat sunnah sebelum zhuhur empat rakaat yang panjang, ketika ditanya tentang hal itu dia menjawab, “Saya melihat Rasulullah melaksanakan shalat seperti itu.” Di samping itu Ali juga selalu shalat sunnah empat rakaat sebelum Ashar. Dia berkata, “Semoga Allah merahmati orang yang shalat empat rakaat sebelum Ashar.” Ali tidak pernah meninggalkan shalat Dhuha dan membiasakan diri untuk membaca wirid yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam kepadanya, yaitu membaca tasbih, tahmid, dan takbir seratus kali pada waktu pagi dan petang. Ali tidak pernah meninggalkan itu baik diperjalanan maupun di rumah, baik kala sehat maupun sedang sakit, sehingga saya berkata mengenai hal itu, “Saya tidak pernah melewatkannya sejak saya mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam kecuali pada malam terjadinya perang Shiffin, saya lupa, dan baru ingat di penghujung malam, maka saya langsung membacanya.”

Ali Radiyallahu ‘Anhu senantiasa berhubungan dengan kitabullah. Dia berkata, “Menurut saya tidak pantas jika seorang berakal tidur tanpa membaca beberapa ayat terakhir dari surat Al-Baqarah. Ayat-ayat itu merupakan harta karun yang tersimpan di bawah Arys.”
Di samping itu Ali juga gemar bersedekah, mudah memberi, dermawan, dan murah hati. Bahkan Ali memiliki banyak harta wakaf yang dijadikan sebagai sedekah jariyah. Hasil dari semua itu mencapai 40 ribu dinar.

Ibnu Abbas Radiyallahu ‘Anhu berpendapat mengenai firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.”(QS.Al-Baqarah [2]: 274) bahwa ayat tersebut terkait dengan Ali bin Abi Thalib. Dia pernah memiliki empat ribu dirham, lalu dia menginfakkan semuanya. Pada malam hari seribu, siang hari seribu, secara sembunyi seribu, dan secara terang-terangan seribu.

Ali juga terkenal dengan sifat wara’, qana’ah, suka menangis, cerdas, dan berpikiran tajam.
Suatu hari dibawakan padanya kurma kering, Ali pun memakannya diikuti dengan minum air, kemudian dia memukul perutnya seraya berkata, “Siapa yang dimasukkan oleh perutnya ke dalam neraka, maka Allah akan menjauhkannya.”

Pada kesempatan lain Ali melakukan ziarah kubur bersama Kumail bin ziyad. Ketika sampai diperkebunan dia berkata, “Wahai ahli kubur, Wahai penghuni tempat yang sepi, Apa kabar kalian? Adapun kabar dari kami, harta telah dibagikan, anak-anak telah menjadi yatim, pasangan telah terganti. Inilah kabar kami. Bagaimana kabar kalian?” Lalu Ali menoleh ke Kumail dan berkata, “Wahai Kumail, seandainya mereka diizinkan menjawab, mereka akan berkata, “Sesungguhnya bekal terbaik adalah ketakwaan.” Kemudian Ali menangis dan berkata, “Wahai Kumail, kuburan adalah kotak amal dan saat kematian datang engkau akan memperoleh kabar yang sesungguhnya.”

Di antara doa yang kerap diucapkannya adalah, “Aku berlindung kepada-Mu dari sulitnya cobaan, kemalangan yang susul menyusul, dan kegembiraan para musuh. Aku berlindung kepada-Mu dari penjara, belenggu, dan cemeti.”

“Ya Allah, sesungguhnya dosa-dosaku tidak akan mencederai-Mu dan rahmat-Mu kepadaku tidak akan mengurangi kemuliaan-Mu.”

3. Keilmuan Ali
Sejak muda, Ali memperoleh pengajaran dari Kitabullah yang mulia dan hikmah nabawiyah. Dia mengambil ilmu yang benar dan luhur dari Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam.

Hal itu didukung oleh keadaan Ali yang memiliki otak yang cerdas, lisan yang gemar bertanya, telinga yang mendengar dan pandangan yang tajam. Ali termasuk orang yang hafal Al-Qur’an pada masa Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam dan mengetahui tafsir dan takwil.

Ali bercerita tentang dirinya dalam rangka mengungkapkan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia berkata, “Demi Allah, tidak turun satu ayat pun kecuali aku mengetahui pada peristiwa apa , di mana, dan mengenai siapa ayat itu turun. Sesungguhnya Tuhanku telah memberiku otak yang cerdas dan lisan yang pandai berkata-kata.”

Ali juga pernah berkata, “tanyakanlah padaku tentang kitabullah. Tidak ada satu ayat pun melainkan saya mengetahui apakah ayat itu turun pada malam hari atau siang hari, di dataran rendah atau pegunungan.”

Di tambah lagi dengan keberkahan doa Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam untuknya ketika beliau mengutusnya ke Yaman sebagai hakim. Mengenai hal ini Ali Radiyallahu ‘Anhu menceritakan, “Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam mengutusku ke Yaman. Saya pun berkata pada beliau, “Wahai Rasulullah, engkau mengutusku padahal aku masih mudah, engkau mengangkatku sebagai hakim padahal aku tidak mengerti hukum!” Maka beliau menepuk dadaku dengan tangannya, kemudian berdoa, “Ya Allah, tunjukilah hatinya dan tetapkan lisannya.” Demi Allah, sejak saat itu aku tidak pernah ragu dalam memutuskan perkara antara dua orang.”

Para shahabat memuji keilmuan Ali. Pemuka shahabat banyak yang bertanya padanya dan mengutip ucapannya dalam berbagai persoalan dan masalah. Bahkan Umar pernah berkata, “Ali adalah yang paling baik memutuskan perkara di antara kami.” Lebih jauh Umar berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari masalah yang Abu Hasan (Ali) tidak menanganinya.”

Sementara Abdullah bin Mas’ud berkata, “Waktu itu kami berbincang-bincang bahwa orang yang paling baik dalam memutuskan perkara di Madinah adalah Ali bin Abi Thalib.”
Ibnu Abbas berkata, “Jika seorang tsiqah (terpercaya) menyampaikan fatwa dari Ali, maka kami tidak akan melampauinya.

Sedangkan Aisyah Ummul mukminin berkata, “Adapun Ali, adalah orang yang paling mengerti tentang sunnah,”

Meski demikian, Ali tidak pernah menyerang suatu fatwa. Jika dia ditanya tentang sesuatu yang tidak difahaminya, dengan tenang dia akan menjawab, “Saya tidak tahu.”
Pernah suatu kali dia ditanya tentang suatu masalah, dia menjawab, “Saya tidak memahami hal itu. Alangkah menenangkan hati, saya ditanya tentang sesuatu yang saya tidak pahami lalu saya menjawab, “Saya tidak tahu!”

Ali meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam dan dari istrinya Fathimah serta dari Abu Bakar, Umar, dan Miqdad bin Amr.

Ilmunya tersebar luas di kalangan para shahabat dan tabi’in. Di antara yang meriwayatkan hadits darinya adalah anak-anaknya: Hasan, Husein, Muhammad Al-Akbar (yang dikenal dengan nama Ibnu Al-Hanafiyah), Umar, dan Fathimah. Begitu juga cucunya, Muhammad bin Umar bin Ali, keponakannya Abdullah bin Ja’far, putra saudarinya Ja’dah bin Hubairah Al-Makhzumi, dan sekertarisnya Ubaidillah bin Abi Rafi’.

Dari kalangan shahabat terdapat sejumlah besar yang meriwayatkan hadits dari Ali, di antaranya: Abdullah bin Mas’ud, Al-Barra’ bin Azib, Abu Hurairah, Abu Sa’id Al-Khudri, Shuhaib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Jabir bin Abdullah, Abu Musa Al-Asy’ari, dan lain-lain.

Sementara dari kalangan Tabi’in ada Zirr bin Hubaisy, Abul Aswad Ad-Du’ali, Al-Harits bin Abdullah Al-A’war, Syuraih bin Hani’, Syaqiq bin Salamah, Amir Asy-Sya’bi, Alqalamah bin Qais, Marwan bin Al-Hakam, Abu Abdurrahman As-Sulami, dan masih banyak lagi.
Dalam kitab-kitab sunnah dari Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam terdapat 586 hadits yang diriwayatkan dari Ali.

Bersambung Insya Allah . . .

Artikel www.SahabatNabi.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.