B. PEMILIK DUA CAHAYA, JULUKAN, KETENARAN, PERISTIWA YANG DISAKSIKAN, DAN PERSAHABATANNYA DENGAN NABI SHALLALLAHU ALAHI WA SALLAM
1. Pernikahan Utsman, julukan Dzun Nurain, dan hijrahnya
Pada masa Jahiliyah Utsman biasa dipanggil dengan julukan Abu Amr. Tak lama setelah masuk Islam, Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam menikahkannya dengan putri beliau yang bernama Ruqayyah. Darinya dikaruniai seorang anak yang diberi nama Abdullah. Maka Utsman pun di panggil dengan julukan Abu Abdullah. Ruqayyah meninggal dunia pada saat terjadi perang Badar, pada usia dua puluh tahun.
Kemudian Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam menikahkan Utsman dengan putri beliau yang lain yaitu Ummu Kulsum yang wafat pada tahun 9 H.
Karena itulah Utsman mendapat julukan Dzun Nurain (Pemilik dua cahaya). Tidak ada seorang pun yang menikah dengan dua orang putri Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam selain Utsman.
Ketika jumlah kaum muslimin semakin bertambah, dakwah pun semakin tumbuh, dan tiangnya semakin kokoh. Di sisi lain, kemarahan kaum Quraisy semakin menjadi, mereka pun semakin meningkatkan tekanan dan gangguannya terhadap sekelompok orang yang beriman.
Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam merasa kasihan melihat apa yang menimpah para shahabatnya. Beliau mengajukan kepada mereka untuk pergi ke suatu negeri yang dapat memberi mereka rasa aman dan tentram. Beliau pun memerintahkan mereka untuk hijrah ke negeri Habasyah. Karena di sana ada seorang raja yang adil dan tidak ada seorang pun terzhalimi di sisinya.
Kaum muslimin pun berangkat kesana. Yang paling pertama berangkat adalah Utsman bin Affan bersama istrinya Ruqayyah binti Rasulullah. Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam berkata, “Semoga Allah menyertai keduanya. Sesungguhnya Utsman adalah orang yang pertama hijrah ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama keluarganya setelah Nabi Luth Alaihissalam.”
Utsman pun ikut berangkat ke Habasyah pada hijrah yang kedua, ikut bersamanya istrinya, Ruqayyah Radiyallahu ‘Anhuma. Lalu dia kembali ke Mekah bersama rombongan yang kembali dari Habasyah, kemudian langsung hijrah ke Madinah bersama keluarganya. Sesampainya di Madinah, dia tinggal di rumah Aus bin Tsabit Al-Anshari, saudara Hassan, sang penyair Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam.
2. Berbagai peristiwa yang diikutinya bersama Rasulullah
Utsman tidak ikut dalam perang Badar, waktu itu istrinya Ruqayyah sedang sakit. Maka Utsman pun sibuk mengurus istrinya berdasarkan perintah Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Karena itulah dia tetap tinggal di Madinah. Akan tetapi Rasulullah melemparkan panah atas namanya sehingga dia pun terhitung sebagai orang yang ikut serta dalam perang tersebut.
Sedangkan dalam perang Uhud Utsman ikut perang di bawah panji Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Ketika pasukan pemanah menyalahi perintah Rasulullah dan pasukan kaum musyrikin menyerang mereka dari belakang, situasi menjadi kacau. Tersiarlah kabar bahwa Rasulullah telah terbunuh. Maka sebagian kaum muslimin lari, termasuk Utsman, karena kebingungan bukan karena takut. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memaklumi tindakan mereka dan memaafkan mereka. Sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antara kamu ketika terjadi pertemuan (pertempuran) antara dua pasukan itu, sesungguhnya mereka digelincirkan oleh setan, disebabkan sebagian kesalahan (dosa) yang telah mereka perbuat (pada masa lampau), tetapi Allah benar-benar telah memaafkan mereka.” (QS. Ali Imran [3]: 155).
Utsman pun ikut serta dalam perang khandaq dan peristiwa Hudaibiyah. Waktu itu Rasulullah mewakili Utsman dalam berbai’at dengan salah satu tangan beliu. Utsman juga ikut dalam perang khaibar, pelaksanaan umrah pengganti (Umrah Qadha), Fathu Makkah, perang Hunain, perang Tha’if, dan perang Tabuk. Dia juga ikut melaksanakan haji bersama Rasulullah pada saat haji wada’. Ketika Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam wafat, beliau merasa ridha terhadapnya.
Pada peristiwa Hudaibiyah, Rasulullah mengutus Utsman untuk melakukan tugas penting. Utsman segera memenuhi perintah tersebut untuk menghadapi bahaya dengan dengan keberanian dan keteguhan hatinya tanpa memperdulikan keselamatan jiwanya.
Pada tahun keenam hijriyah, Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam berangkat dari Madinah bersama para shahabatnya yang berjumlah 1500 orang menuju Mekah Al-Mukarramah untuk melaksanakan umrah dan melakukan thawaf di baitullah. Ketika kaum Quraisy mengetahui berita tersebut, mereka segera mengenakan pakaian perang lalu keluar untuk menyongsong rombongan Rasulullah dan menghalangi niat mereka.
Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam memanggil Utsman bin Affan dan menyuruhnya menemui Abu Sufyan dan pembesar Quraisy lainya untuk memeberitahu mereka bahwa beliau tidak datang untuk berperang, melainkan untuk mengunjungi baitullah dan mengagungkannya.
Utsman mengemban perintah Rasulullah tersebut tanpa merasa ragu dan takut. Dia tidak peduli apa yang akan menimpahnya nanti sesampainya di sana, pada saat kaum Quraisy sedang berada di puncak kemarahan. Dia pun berangkat ke Mekkah, disambut oleh putra pamannya, Abban bin Sa’id. Dengan membonceng kuda Abban, Utsman memasuki kota Mekkah dan menemui para pembesar Quraisy untuk menyampaikan pesan Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam, Mereka berkata kepada Utsman, “Jika engkau ingin melakukan thawaf, silahkan thawaf!” Namun Utsman menolak dan berkata kepada mereka, “Saya tidak akan melakukannya sebelum Rasulullah melakukan thawaf terlebih dahulu.”
Kaum Quraisy lalu menahan Utsman dan tidak mengizinkannya untuk kembali menemui Rasulullah. Tersiarlah berita dikalangan kaum muslimin, bahwa Utsman dibunuh. Dalam situasi seperti itu Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam segera memutuskan untuk memberi kaum Quraisy pelajaran atas kejahatan yang mereka lakukan dan menunjukkan kepada mereka keteguhan hatinya untuk menghentikan kesombongan mereka, serta memberi tahu mereka betapa darah seorang muslim itu sangat berharga di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan terpelihara di sisi Rasulullah dan kaum mukminin. Maka beliau bersabda, “Kita tidak akan meninggalkan tempat ini sampai kita memerangi mereka.”
Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam lalu meminta semua orang untuk berbai’at, peristiwa itu disebut dengan bai’aturridhwan yang dilakukan di bawah pohon. Diadakanlah di sana perjanjian yang paling mengagumkan sepanjang sejarah, ketika kaum muslimin berbai’at kepada Rasulullah untuk siap menghadapi maut sekalipun.
Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya Utsman membutuhkan Allah dan Rasul-Nya.” Lalu beliau mengangkat tangan kanannya seraya berkata, “Ini adalah tangan Utsman.” Lalu ditepukkannya ke tangan beliau yang lain seraya berucap, “Bai’at ini untuk Utsman.” Maka tangan Rasulullah Utsman lebih baik daripada tangan kaum muslimin untuk diri mereka sendiri.
Al-Qur’an telah mengabadikan peristiwa bai’at ini dalam firman Allah, “Sungguh, Allah telah meridhai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon, Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al-Fath[48]: 18).
Tak lama datanglah berita yang sebenarnya bahwa ternyata Utsman tidak dibunuh. Lalu dia kembali ke tempat kaum muslimin dalam keadaan selamat tak kurang suatu pun.
Pada tahun 9 hijriah, Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bermaksud memerangi pasukan Romawi, karena mereka kaum yang paling dekat kepadanya dan paling berhak mendapat ajakan kepada agama Islam. Beliau lalu memerintahkan para shahabat untuk mempersiapkan diri menghadapi perang Tabuk. Peristiwa itu terjadi pada masa sulit, musim kemarau, dan cuaca sangat panas.
Beberapa orang dari shahabat Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam datang menemui beliau memohon untuk diajak ikut berperang, namun mereka tidak mendapatkan pada beliau kendaraan yang bisa membawa mereka. Dengan perasaan sedih mereka pun kembali. Mereka sangat menyesal karena kehilangan kesempatan untuk memperoleh pahala berjihad bersama Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam. Mereka pun disebut “orang-orang yang menangis”.
Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam lalu mendorong orang-orang untuk menyumbang. Para shahabat lalu menyumbang sesuai kemampuan mereka. Waktu itu Rasulullah menjajikan pahala yang besar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhir nanti. Beliau bersabda, “Siapa yang membantu persiapan pasukan yang sedang kesulitan akan memperoleh surga!” Utsman pun bersemangat untuk ikut menyumbang dan dia memberi sedekah dalam jumlah yang amat besar.
Abdurrahman bin Khabbab menceritakan hal tersebut, “Saya melihat Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam ,menganjurkan orang-oarang untuk membantu pasukan yang kesulitan mendapat perbekalan dan kendaraan perang. Maka Utsman bin Affan berdirih dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya akan memberikan seratus ekor unta lengkap dengan pelana muatannya.” Rasulullah lalu menganjurkan lagi. Utsman kembali berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, klau begitu saya akan menambah menjadi 200 ekor unta lengkap dengan pelana dan muatannya.” Rasulullah masih terus menganjurkan. Maka Utsman berdiri untuk ketiga kalinya dan berkata, “Wahai Rasulullah, Demi Allah saya akan memberi 300 ekor unta lengkap dengan pelana dan muatannya.” Saya melihat Rasulullah turun dari mimbar seraya berkata, “Tidak ada lagi yang menimpa Utsman setelah kebaikannya, tidak ada lagi yang menimpa Umar setelah kebaikannya ini!”
Bahkan Utsman menambah lebih banyak dari apa yang disebutkan di hadapan Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam. Dia mempersiapkan 950 unta ditambah 50 kuda untuk melengkapi menjadi seribu. Di samping itu Utsman pun menyumbang 83,3 kilogram emas ditambah seribu dinar. Semua diletakkan di kamar Rasulullah. Lalu beliau membungkusnya seraya berkata, “Tidak ada yang akan membahayakan Utsman setelah apa yang dilakukannya hari ini, Ya Allah, jangan lupakan Utsman, tidak ada yang akan membahayakan Utsman setelah apa yang dilakukan hari ini.”
3. Kecintaan, dan ketaatan Utsman kepada Nabi
Sisi lain dari sosok Utsman Radiyallahu ‘Anhu adalah dia sangat mencintai Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam dan sangat patuh pada beliau. Dia selalu berusaha meladeninya dalam kondisi apapun, saat sendiri maupun di keramaian, saat susah maupun senang, tidak pernah sekalipun terlambat atau menunda jika sudah datang penggilan.
Utsman menjelaskan hal tersebut dalam salah satu pidatonya, “Amma ba’du, sesungguhnya Allah mengutus Muhammad dengan membawa kebenaran Islam. Saya termasuk salah satunya yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya, saya melaksanakan dua kali hijrah, berbai’at kepadanya. Demi Allah, saya tidak pernah sekalipun menipu atau mendurhakai beliau hingga beliau wafat.”
Ketika Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam mengutusnya menemui pembesar Quraisy pada peristiwa Hudaibiyah, dia memasuki Mekkah diiringi putra pamannya Aban lalu berkata padanya, “Wahai putra paman, saya melihatmu memperlihatkan kekhusyukan, panjangkanlah surgamu. Utsman menjawab, “Beginilah sahabat kami (yaitu Rasulullah) mengenakan sarungnya, yaitu hingga setengah betisnya.”
Ketika Abban berkata padanya, “Wahai putra paman, lakukanlah thawaf di baitullah.” Utsman menjawab, “Sesungguhnya kami tidak melakukan sesuatu samapai shahabat kami melakukannya, baru kami mengikutinya.”
Seorang shahabat bernama Ya’la bin Umayyah Radiyallahu ‘Anhu meriwayatkan, “Saya melakukan thawaf bersama Utsman, lalu kami mengusap hajar aswad, saya menarik tangan Utsman untuk mengusap. Utsman malah bertanya, “Apa yang kau lakukan?” Jawab saya, “Engkau tidak mengusap?” Utsman berkata, “Tidakkah engkau melakukan thawaf bersama Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam?” Saya megiyakan. Utsman bertanya, “Apakah engkau melihat beliau mengusap kedua pojok Ka’abh sebelah barat?” saya jawab , “Tidak.” Utsman bertanya lagi, “Bukankah beliau adalah teladan yang baik untukmu?” saya membenarkan. Utsman pun berkata, “Kalau begitu tinggalkanlah.”
Ketika Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam wafat, seluruh shahabat merasa sangat sedih. Sedangkan Utsman merupakan orang yang paling bersedih di antara mereka. Utsman menceritakan kondisi tersebut,
“Ketika Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam wafat, para shahabat beliau sangat bersedih sampai ucapan mereka terdengar meracau. Aku termasuk salah seorang yang sangat sedih atas wafatnya beliau. Ketika saya sedang duduk di sebuah benteng Madinah, waktu itu Abu Bakar telah dibai’at sebagai khalifah, tiba-tiba Umar lewat, sementara saya tidak merasakan kehadiran Umar akibat kesedihan yang saya alami. Maka Umar menemui Abu Bakar dan berkata, “Wahai Khalifah Rasulullah, tidakkah engkau merasa heran, saya lewat di depan Utsman, lalu mengucapkan salam padanya, namun Utsman tidak menjawab salam saya!”
Bersambung Insya Allah . . .
Artikel www.SahabatNabi.com