Categories
Thalhah Bin Ubaidillah

Biografi Sahabat Nabi, Thalhah Bin Ubaidillah : Kehidupannya Dalam Naungan Kenabian, Serta Jihadnya bersama Rasulullah (Seri 3)

B. Kehidupannya Dalam Naungan Kenabian, Serta Jihadnya bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam

3. Kebersamaannya dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam

Dan di sanalah, di Madinah, Thalhah menempatkan dirinya di antara para shahabat. Ia hidup bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, shalat di belakang beliau, menghadiri mejelis-majelisnya. Bersama shahabat-shahabat lainnya ia turut mengokohkan pondasi agama, membangun Negara kaum muslimin, membangun masyarakat, menegakkan hokum-hukumnya, dan menjalankan seluruh syariatnya.

Thalhah Radhiyallahu Anhu tidak pernah berpisah dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ia mendapingi beliau dengan sempurna, dan selalu bersama beliau baik pada saat berada di Madinah maupun saat bepergian, walaupun semua itu tidak harus ia lakukan. Karena kalau seluruh shahabat melakukan apa yang dilakukannya, maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam hidup mereka, karena mereka akan melalaikan begitu banyak kewajiban agama, dan juga kan berpengaruh kepada urusan mereka secara individu maupun dalam konteks bernegara.

Jadi ada sebagian shahabat yang mengabdikan diri mereka kepada Islam dengan cara mendampingi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di Madinah maupun pada saat bepergian, sementara sebagian lainnya tetap menghadiri majelis-majelis beliau dan mendampingi beliau secukupnya. Mereka bergantian menuntut ilmu dari beliau, menemui beliau secara berkala, hari demi harim dan setelah itu mereka pergi berjalan di muka bumi untuk mengais rezeki dan mengurus urusan dunia dan akhirat.

Thalhah termasuk golongan ini. Ia beribadah kepada Allah bersama yang lain, berjihad bersama para mujahidin, mendatangi majelis-majelis Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan mereguk ilmu dari beliau, dan apabila hak Allah telah terpenuhi ia akan bepergian dalam perniagaannya. Ia akan berada di pasar-pasar, mengembangkan hartanya, mengurus perniagaan dan propertinya. Terkadang ia pergi keluar kota untuk berniaga, dan dengan demikian ia berhasil menyelaraskan antara kepentingan dan propertinya. Terkadang ia pergi ke luar kota untuk berniaga, dan dengan demikian ia telah berhasil menyelaraskan antara kepentingan dunia dan agama. Ia menghasilkan banyak harta yang bisa mencukupi kebutuhan keluarganya serta orang-orang yang menjadi tanggungannya. Dan ia juga tidak lupa untuk menginfakkan hartanya untuk kepentingan saudara-saudaranya, masyarakatnya, serta untuk membela agamanya baik dalam keadaan damai maupun perang, dan dalam keadaan susah ataupun senang. Ia termasuk di antara tokoh shahabat yang kaya raya, yang menjadi contoh dalam kedermawaannya, dan kemurahan hati mereka dalam berinfak selalu melegenda, sekaligus menakjubkan. Ia sering memberikan kegembiraan dalam hati orang-orang yang beriman karena kedermawanan dan kemurahan hatinya.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la , juga At-Tirmidzi yang menganggapnya hadtis hasan, serta Al-Hakim yang menshahihkan dan disetujui oleh Adz-Dzhabi, dan juga diriwayatkan oleh perawi lain selain mereka, dari Abu Anas Malik bin Abu Amir, kakek dari Malik merupakan Imam Darul Hijrah ia berkata:

“Suatu saat aku sedang bersama Thalhah bin Ubaidillah. Lalu datanglah seseorang dan berkata, “Wahai Abu Muhammad, Demi Allah kami tidak tahu, apakah orang Yaman ini maksudnya Abu Hurairah lebih tahu tentang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam daripada kalian, ataukah ia meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sesuatu yang tidak pernah beliau katakana?” maka Thalhah berkata, “Demi Allah, kami tidak pernah ragu bahwa ia telah mendengar dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam apa yang belum pernah kami dengar, dan ia juga mengetahu apa yang tidak kami ketahui. Sungguh saat itu kami termasuk golongan yang kaya dan mempunyai keluarga, sehingga kami hanya mendatangi Rasulullah pada pagi hari dan petang, dan setelah itu kami pulang. Adapun Abu Hurairah adalah seorang shahabat yang miskin, yang tidak mempunyai harta, maupun keluarga dan anak. Maka tangannya seolah terika kepada tangan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, ia selalu bersama beliau dimanapun juga, maka kami tidak pernah ragu bahwa ia telah mengetahu apa yang tidak kami ketahui, dan mendengar apa yang tidak kami dengar. Dan tidak seorangpun dari kami yang pernah menuduhnya bahwa ia telah meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam apa-apa yang tidak pernah beliau katakana.”

Thalhah selalu merasakan kegembiraan saat menunaikan shalat di belakang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di masjid beliau yang penuh berkah. Suatu hari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam segera mengerjakan raka’at yang terlupa tersebut.

Diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasa’I, Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan Adz-Dzahabi, dari Muawiyah bin Hudaji berkata, “Aku menunaikan shalat Maghrib bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu beliau lupa, dan salam apda rakaat kedua. Dan kemudian beliau pun beranjak pergi. Lalu seseorang berkata, “Wahai Rasulullah sungguh engkau telah lupa, engkau salam pada rakaat kedua.” Maka beliau menyuruh Bilal untuk mengumandangkan iqamat dan menyempurnakan rakaat yang tertinggal tersebut. Lalu aku bertanya kepada orang-orang tentang laki-laki yang mengatakan, “Wahai Rasulullah sungguh engkau telah lupa.” Dan mereka berkata kepadaku, “Apakah kau mengenalnya?” aku menjawab, “Tidak, kecuali kalau aku melihatnya.” Kemudian seorang laki-laki berjalan melewatiku dan aku berkata, “Inilah dia.” Maka mereka berkata, “ini adalah Thalhah bin Ubaidillah.”

Ia mendengarkan hadits-hadits dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, menyimaknya dengan baik, dan menimba ilmu dari beliau. Ia berusaha untuk selalu mengikuti sunnah beliau, dan kadang kala ia menanyakan beberapa hal tentang shalat yang tidak sempat ia dengar, sehingga ia bisa belajar langsung dari beliau. Dan dengan demikian ia juga membawa kebaikan bagi kaum muslimin karena telah berperan dalam meneguk hikmah-hikmah kenabian yang tentunya membawa kebaikan bagi kaum muslimin, dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad, Ibnu Hibban, dan yang lainnya dari Musa bin Thalhah, dari ayahnya berkata, “Suatu ketika kami melaksanakan shalat sementara hewan ternak berjalan melewati kami. Maka kami menceritakan itu kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan beliau berkata, “Kalaulah sudah ada benda seperti kayu yang ada di punggung unta dan diletakkan di depan salah seorang dari kalian, maka sesuatu yang lewat di hadapannya tidak akan membahayakan (membatalkan shalatnya).”

Dan dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Abi Syaibah dan An-Nasa’I dari Musa bin Talhah, dari ayahnya berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah kami bershalawat kepadamu?” beliau menjawab, “Katakanlah, “Allahumma Shalli Ala Muhammad wa Ala Ali Muhammad, Kama Shllaita Ala Ibrahim Innaka Hamidun Majid, Wa Barik Ala Muhammad wa Ala Ali Muhammad, kama Barakta Ala Ibrahim Innaka Hamidun Majid.”

Thalhah senantiasa mendampingi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam majelis-majelis beliau, dan saat beliau keluar untuk berkeliling madinah atau saat beliau melakukan ziarah kubur, dan juga pada sebagian perjalanan beliau. Ia berusaha untuk selalu menyenangkan hati beliau, menuntun unta beliau, memegang tali kekangnya, menunaikan berbagai keperluan beliau, dan melaksanakan seluruh perintah beliau.

Ahmad meriwayatkan dengan sanad shahih dari Thalhah, “Kami keluar bersama Rasulullah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam hingga ketika kami telah mendekati Harrah Waqim, kami menemukan beberapa kuburan di sebuah tekungan lembah. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ini kuburan saudara-saudara kita?” Rasulullah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, “Kuburan shahabat-shahabat kita.”. Kemudian kami terus berjalan hingga kami telah sampai di kuburan para syuhada, beliau berkata, “inilah kuburan saudara-saudara kita.”

Dan diriwayatkan oleh Al-Fasawi dan Al-Hakim dengan sanad yang lemah dari Thalhah berkata, “Aku menjumpai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan beliau sedang memegang buah jambu biji, beliau melemparkan buah itu kepadaku dan berkata, “Makanlah buah ini wahai Abu Muhammad, sesungguhnya buah ini melembutkan hati.”

Ibnu Asakir meriwayatkan dari Thalhah, ia berkata, “Tugas menyiapkan kendaraan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan memegang minyak wangi beliau adalah tugasku. Suatu ketika beliau didatangi seorang laki-laki yang meminta salah satu dari tugas tersebut. Beliau berkata, “Mintalah kepada Thalhah bin Ubaidillah.” Maka orang itu mendatangiku dan memberitahukan maksudnya, namun aku menolaknya. Kemudian ia kembali kepada Rasulullah dan mengadukannya. Dan beliau kembali mengatakan sebagaimana yang pertama. Orang itu pun kembali kepadaku, maka aku berkata pada diriku, “Rasulullah tidak akan mengirimnya kepadaku kecuali bahwa beliau memang ingin mengabulkan permintaannya, dan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam selalu mengabulkan apa yang diminta kepadanya. Aku berkata, “Sungguh memberikan kebahagiaan bagi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lebih aku sukai daripada menyiapkan kendaraannya.” Maka akupun menyerahkan tugas itu kepadanya. Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hendak melakukan perjalanan, dan memerintahkan agar kendaraannya disiapkan. Orang itu mendatangiku dan berkata, “Dari dua unta ini, yang manakah yang lebih disukai oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam?” aku menjawab, “Ath-Thaifiyah” dan ia pun menyiapkan unta tersebut dan membawanya kepada beliau. Namun ternyata unta tersebut melawan. Maka beliau berkata, “Siapa yang menyiapkan unta ini?” mereka menjawab, “Fulan” dan beliau berkata, “Kembalikan tugas itu kepada Thalhah.” Dan tugas itu pun dikembalikan kepadaku. Thalhah berkata, “Demi Allah aku tidak pernah mencurangi siapapun dalam Islam selain orang itu, itu aku lakukan agar tugas menyiapkan kendaraan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dikembalikan kepadaku.”

Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dengan sanad yang shahih, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, “Dari Thalhah bin Ubaidillah, bahwasanya dua orang laki-laki dengan pakaian lusuh mendatangi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Mereka berdua telah masuk Islam secara bersamaan, namun yang satu lebih banyak ijtihadnya disbanding yang lain. Lalu si mujtahid pergi berperang di jalan Allah dan mati syahid, sementara temannya masih hidup sampai satu tahun kemudian, lalu ia juga wafat. Thalhah berkata, “Aku bermimpi bahwasanya ketika aku sedang berada di pintu surge, tiba-tiba aku telah berada bersama mereka berdua. Kemudian seseorang keluar dari surge dan mempersilahkan orang yang terakhir wafat di antara mereka. Setelah itu ia keluar lagi dan mempersilahkan orang yang syahid di antara mereka untuk masuk surge. Lalu ia kembali kepadaku dan berkata, “Pulanglah, waktumu belum tiba.” Pagi harinya Thalhah menceritakan mimpinya kepada orang-orang, dan mereka heran akan mimpi tersebut. Lalu berita itu sampai di telinga Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan mereka pun menceritakan itu kepada beliau. Beliau berkata, “Apa yang membuat kalian heran?” mereka menjawab, “Wahai Rasulullah orang yang pertama ini adalah yang paling banyak ijtihadnya di antara mereka, lalu ia mati syahid, tapi kenapa temannya yang meninggal terakhir masuk surge lebih dahulu darinya?” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, “Bukankah temannya itu masih hidup setahun setelah kematiannya?” mereka menjawab, “betul”, beliau berkata, “Dan bukankah ia masih mendapati Ramadhan, lalu ia berpuasa, melakukan shalat ini dan itu selama satu tahun itu?!” mereka menjawab, “betul”, maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, “Maka jarak antara mereka lebih jauh dariapda jarak antara langit dan bumi!”.

Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah, dari Abdullah bin Syaddad, “Bahwasanya tiga orang laki-laki dari Banu Udzrah mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan masuk Islam. Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, “Siapa yang akan mengurus mereka untukku?” Thalhah berkata, “Saya” dan mereka pun tinggal bersama Thalhah. Lalu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengirimkan sebuah ekspedisi militer, dan salah seorang dari mereka ikut dalam misi tersebut dan mendapatkan syahid. Lalu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengirim sebuah misi yang lain, dan salah seorang dari mereka kembali ikut dan mendapatkan syahid. Lalu yang ketiga meninggal di atas kasurnya. Thalhah berkata, “Aku bermimpi melihat tiga orang yang pernah bersamaku itu di surge, dan aku menyaksikan bahwa orang ketiga yang meninggal di atas kasurnya berada paling depan, lalu yang syahid terakhir berada di belakangnya, dan yang syahid pertama kali berada paling belakang.” Dia berakat, “Hal ini menjadi tanda Tanya bagiku, maka aku mendatangi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan menceritakan mimpi tersebut kepada beliau. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, “Apa yang membuatmu heran dalam hal ini !? Tidak ada yang lebih di sisi Allah dari seorang mukmin yang diberikan umur yang panjang karena banyaknya tasbih, takbir, dan tahlilnya.”

Terkadang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam merasa kehilangan Thalhah dalam majelis beliau, maka beliau bertanya kepada para shahabat tentangnya. Dan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak segan-segan untuk memuji dan menyanjungnya. Di antaranya sebagaiamana yang diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dari Thalhah, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam jika telah duduk di majelisnya akan bertanya tentangku, dan berkata, “Kenapa aku tidak melihat Ash-Shabih (yang berseri-seri), Al-Malih (yang tampan), dan Al-Fashih (yang fasih dalam berbicara).

4. Peperangannya bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam

Di medan jihad Thalhah selalu berada pada barisan terdepan. Ia melesat ke kancah pertempuran, dan menyambut musuh dengan tangan terbuka dan dengan membusungkan dada. Ketika perang semakin memanas, dan mata-mata semakin memerah, ia akan menyerang musuh dengan hati yang kokoh sekokoh iman yang bersemayam di dadanya, dan tekad sekuat gunung karang, ia tidak pernah membalikkan punggungnya kecuali berbelok untuk siasat perang atau menggabungkan diri dengan pasukan yang lain. Tidak pernah sekalipun ia takluk dalam pertempuran atau gugup dalam menyerang. Tidak ada pahlawan musuh yang bisa menggentarkannya, tak ada pedang yang membuatnya mengurungkan niat untuk menyerang. Ia akan tetap menusuk masuk menghadapi kondisi sesulit apapun, meladeni kesatria terbaik musuh, dan para pahlawan mereka. Ia berperang bagaikan satu pasukan prajurit yang mengeluarkan suara gemuruh, mempersembahkan seluruh kemampuannya di jalan Allah, untuk mempertahankan agamanya dan membela Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Berbagai peristiwa yang mengagumkan telah meninggalkan banyak bekas luka di tubuhnya, yang menjadi bukti akan keberanian dan kepahlawanannya yang menakjubkan. Luka-luka tersebut juga menjadi lencana kehormatan dan bukti tak terbantahkan akan keteguhan shahabat yang mulia ini dalam berpegang kepada tali Allah, dan perjuangannya dalam mempertahankan agamanya dan membela Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam walaupun semua itu harus dengan mempertaruhkan nyawanya!

Perang Uhud merupakan bukti yang paling nyata akan kebenaran apa yang kami sebutkan di atas. Sekaligus sebagai bukti dari kebenaran kiprah shahabat yang mulia ini dalam membela agama Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan keikhlasannya untuk Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Abu Bakar Ash-Shiddiq telah menggambarkan peristiwa tersebut dengan sangat tepat dan sempurna ketika ia berbicara tentang perang Uhud dengan mengatakan, “Hari itu semuanya milik Thalhah.”

Thalhah ikut dalam seluruh peperangan Rasulullah selain Badar. Adapun sebab ketidakhadirannya pada perang tersebut adalah karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menugaskannya untuk menyelidiki berita tentang kafilah Quraisy. Dan ketika ia pulang setelah menyelesaikan misinya, perang Badar juga telah berakhir. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga memberikan bagiannya dari harta rampasan perang dan menjamin pahala yang sama untuknya.

Thalhah tidak hanya berjihad di jalan Allah dengan jiwanya, namun ia menggabungkan dua keutamaan yang ada dan menerima dua kebaikan sekaligus. Ia berjihad dengan hartanya dan jgua dengan jiwanya untuk menyambut seruan Allah dalam firman-Nya, “Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui,” (QS. At-Taubah [9]: 41). Maka ia menginfakkan hartanya dalam jumlah yang sangat banyak mempersiapkan perang dan menafkahi para mujahidin. Memberi mereka bekal yang membantu mereka dalam urusan dunia dan menyiapkan kebutuhan jihad. Sikap nya yang demikian mulia tersebut merupakan buah dari pendidikan kenabian yang diterimanya dalam naungan kerasulan sejak di madrasah Mekah hingga Madinah. Di mana pendidikan tersebut telah berhasil membuka pintu-pintu kebaikan dan air mata kebaikan yang telah ada di dalam dirinya. Thalhah adalah seorang yang sangat dermawan dalam mengeluarkan hartanya, mempunyai sifat pemurah dalam dirinya dan jiwanya khususnya dalam hal berhubungan dengan dakwah.

5. Perang Badar

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menugaskan Thalhah dan Sa’id bin Zaid Radhiyallahu Anhuma untuk mengumpulkan informasi tentang kafilah Quraisy yang baru kembali dari Syam. Mereka segera melaksanakan perintah beliau dan bergegas melaksanakan misi tersebut. Sementara itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabatnya juga mempersiapkan diri untuk mencegat kafilah tersebut dengan harapan agar Allah memberikan mereka kemenangan. Mereka tidak berniat untuk perang, dan ketika Abu Sufyan yang mengepalai kafilah tersebut mengetahu rencana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan bahwa beliau telah bergerak bersama para shahabatnya, ia segera mengubah arah perjalanan dan berhasul menyelamatkan diri bersama kafilah yang dipimpinnya. Dengan demikian tujuan kedua pasukan pun menjadi berubah sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah, dan terjadilah perang badar Al-Kubra. Dengan pertolongan dari Allah, kaum muslimin berhasil mendapatkan kemenangan yang menjadi pembicaraan seluruh kabilah arab di seantero jazirah Arab. Keangkuhan orang-orang Quraisy berhasil mereka taklukkan, dan memberi mereka rasa malu yang luar biasa.

Thalhah dan Sa’id kembali ke Madinah dan mendapati bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabat telah keluar dari kota itu. Mereka segera menyusul, namun mereka telah menjumpai pasukan tersebut telah kembali dari Badar dengan membawa kemenangan atas Quraisy. Mereka sangat menyesal karena tidak mendapatkan kehormatan untuk turut serta dalam peperangan pertama bagi tentara Islam dalam menghadapi pasukan musyrikin. Namun Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memberi mereka anugerah dan kehormatan yang tinggi serta memberikan ketenangan dan kegembiraan pada jiwa mereka berdua. Beliau memberi mereka kabar gembira bahwa pahala mereka sama dengan mereka yang ikut dalam perang tersebut, karena mereka berdua juga menjalankan misi dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam rangka mengamankan keberlangsungan dakwah dan membela risalahnya, ini diperkuat dengan memberi mereka bagian yang sama dari rampasan perang, untuk membuktikan bahwa kedudukan mereka dari rampasang perang, untuk membuktikan bahwa keududukan mereka berdua setara dengan mereka yang ikut berperang, baik dalam hal pahala maupun dalam hak mendapatkan bagian dari rampasan perang.

Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dan Khalifah bin Khayyath, dan Al-Hakim secara ringkas, dan Ibnu Saa’d dalam riwayat yang lebih panjang, ia berkata, “Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menunggu-nunggu kedatangan kafilah Quraisy dari Syam, beliau mengutus Thalhah bin Ubaidillah dan sa’id bin Zaid bin Amru bin Nufail sepuluh malam sebelum keberangkatan beliau dari Madinah, untuk menyelidiki berita tentang kafilah tersebut. Mereka pun pergi hingga sampai di Al-Haura’, dan tetap di sana sampai kafilah tersebut melewati mereka. Berita tentang hal ini sampai kepada Rasulullah sebelum kepulangan mereka berdua, maka beliau pun memimpin shahabat-shahabatnya dan pergi untuk mencegat kafilah. Namun ternyata kafilah itu mengambil jalan pantai dan bergegas. Mereka berjalan siang dan malam untuk menghindari pengejaran. Sementara itu, Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’id bin Zaid kembali ke Madinah untuk memberitahukan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang kafilah tersebut, tanpa mengetahui bahwa beliau telah meninggalkan Madinah. Mereka pun sampai di Madinah tepat pada hari di mana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Mereka menemui beliau di Turban, yang terletak antara malal dan As-Sayalah dalam perjalanan pulang dari Badar. Jadi Thalhah dan Sa’id tidak sempat mengikuti pertempuran. Namun demikian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tetap menghitung bagian dan pahala mereka di Badar. Sehingga seolah mereka ikut dalam perang tersebut.”

Karena itulah Thalhah dianggap sebagai salah satu ahli Badar, dan para sejarawan dan penulis Biografipun menganggapnya sebagai salah satu dari mereka.

Bersambung Insya Allah . . .

Artikel http://www.SahabatNabi.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.