Categories
Thalhah Bin Ubaidillah

Biografi Sahabat Nabi, Thalhah Bin Ubaidillah : Bersama Khulafaur Rasyidin, Mengalami Masa Terjadinya Fitnah, dan Kisah Syahidnya (Seri 10)

F. Bersama Khulafaur Rasyidin, Mengalami Masa Terjadinya Fitnah, dan Kisah Syahidnya

1. Bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq

Sejak detik-detik awal dari pemerintahan Abu Bakar, kehadiran Thalhah sudah sangat jelas terasa. Ia membaiat Abu Bakar bersama dengan tokoh-tokoh Muhajirin dan Anshar, dan terus mendukungnya dan membantunya dalam mengurus Negara. Ia juga bersamanya dalam perang Riddah hingga Allah membebaskan mereka dari kejahatannya dan situasi kembali terkendali.

Lalu Abu Bakar bermaksud untuk memerangi Romawi di negeri Syam untuk menyebarkan Islam di sana. Untuk itu ia mengumpulkan tokoh-tokoh shahabat dan pembuka masyarakat untuk bermusyawarah. Di antara mereka terdapat Umar, Utsman, Ubaidah bin Al-Jarrah dan tokoh-tokoh lainnya sekaliber mereka. Kemudian Abu Bakar berbicara menyatakan maksudnya, lalu ia mengatakan, “Maka silahkan siapapun untuk memberikan pendapatnya.”

Umar bangkit dan berbicara, diikuti oleh Abdurrahman bin Auf. Kemudian Utsman berkata kepada Abu Bakar, “Sungguh aku melihat engkau sebagai seorang yang senantiasa memberikan nasihat kepada umat ini, dan menyayangi mereka. Kalau engkau berpendapat sesuatu yang membawa kebaikan bagi mereka semua, maka laksanakanlah dengan pasti, sungguh engkau tidak akan dituduh dengan sesuatu yang buruk.” Maka Thalhah, Zubair, Sa’ad, Abu Ubaidah, dan Sai’id bin Zaid, serta mereka yang hadir di majelis itu dari kalangan Muhajirin dan Anshar berkata, “Utsman benar, laksanakanlah rencanamu, kami tidak akan menyelisihimu dan menuduhmu.”

Setelah Abu Bakar bermusyawarah dan mengetahu pendapat para shahabatnya, ia mengambil keputusan untuk menaklukkan negeri Syam. Lalu ia menyampaikan khutbah di hadapam kaum muslimin, ia berkata “Sesungguhnya Allah telah memberi kalian nikmat Islam, memuliakan kalian dengan jihad, dan memuliakan kalian dengan agama ini di atas pemeluk agama lainnya. Maka bersiaplah wahai hamba-hamba Allah untuk menaklukkan Romawi di Syam. Sesungguhnya aku akan menunjuk komandan perang bagi kalian, dan mengibarkan bendera perang untuk kalian. Maka taatilah Tuhan kalian, dan janganlah menentang komandan-komandan kalian. Perbaikilah niat kalian, dan juga makanan serta minuman kalian. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan berbuat kebaikan.”

Ini adalah sikap Thalhah dalam mengelola beberapa permasalahan enkonomi dalam Negara Islam. Ath Thabari meriwayatkan dari Ibnu Asakir, ia mengatakan “Al-Aqra’ bin Habis dan Az-Zibriqan bin Badr (Dua orang shahabat dari pemuka Bani Tamim, yang telah masuk Islam dan baik dalam keislamannya) menemui Abu Bakar dan berkata, “Berikan kepada kami pajak dari Bahrain, maka kami akan menjamin bahawa tidak aka nada dari kaum kamu yang murtad. Maka Abu Bakar memenuhinya dan menuliskan perjanjian. Sementara itu yang ditugaskan untuk mengurus kesepakatan tersebut adalah Thalhah bin Ubaidillah. Lalu mereka menunjuk beberapa orang saksi dan diantaranya adalah Umar. Ketika surat itu diperlihatkan kepada Umar, ia tidak mau bersaksi dan berkata, “Demi Allah, tidak akan pernah” lalu ia merobek surat tersebut dan menghapusnya! Thalhah marah dan mendatangi Abu Bakar dan berkata, “Engkaulah yang kami atau Umar?! Ia berkata, “Umar, tapi ketaatan tetap kepadaku.”

Sudah menjadi kebijakan politik Abu Bakar untuk menarik hati beberapa orang pemimpin kabilah dan pemuka masyarakat dengan memberi mereka harta selama di sana terdapat kebaikan bagi masyarakat dan menjamin terkendalinya situasi Negara. Ia juga dilakukan untuk menghindari timbulnya kebimbingan dan fitnah dari orang-orang yang masih lemah imannya. Dalam hal ini ia juga di bantu oleh tokoh-tokoh shahabat lainnya. Dalam peristiwa di atas Thalhah bertugas mengadakan perundingan dengan mewakili pendapat khalifah. Sementara Umar berpendapat bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengambil kebijakan menarik hati orang-orang tersebut pada saat kaum muslimin masih berada pada situasi yang genting dan kedudukan mereka belum kokoh. Namun ketika Allah telah menguatkan Islam dan panjinya telah menghunjam kokoh di bumi, dan pengikut serta pembelanya telah kuat, maka kebijakan untuk menarik hati seperti itu tidak lagi diperlukan. Karena itulah Umar merobek surat tersebut, dan sikap seperti ini tidak hanya sekali ia tunjukkan! Namun ini justru menyulut emosi Thalhah sehingga ia segera menemui Abu Bakar dan berkata dengan penuh keheranan, “Engkaukah yang memimpin kami atau Umar?!” Abu Bakar meredakan kemarahannya dengan berkata, “Umar, namun ketaatan tetap padaku.” Dengan jawaban ini Abu Bakar menunjukkan persetujuannya kepada pendapat dan kecerdasannya dalam menghadapi masalah itu. Ia pun menginginkan kebaikan bagi umat Islam, dan akan mempertahankan keagungan agama ini dan akan meninggalkan mereka yang mempunyai jiwa yang lemah.

Sikap yang ditunjukkan oleh shahabat-shahabat mulia tersebut, yang notabene adalah tokoh-tokoh Negara dan yang berperan langsung dalam mengurus khilafah, menunjukkan bahwa mereka sama sekali tidak melepaskan tabiat mereka, juga tidak keluar dari sisi kemanusiaan mereka. Mereka tetap berbeda pendapat, saling bertentangan dalam suatu masalah, dan berbeda pandangan dalam menghadapi suatu masalah. Masing-masing memberikan alasannya dan tetap bertahan pendapatnya yang dianggap membawa kebaikan bagi Islam dan kaum muslimin. Namun ketika kebenaran kemudian terungkap dan jalan menjadi lebih tenang, hati mereka tetap bersatu, dan suara mereka juga satu. Karena dasar dari seluruh perkara dan perbuatan mereka adalah keikhlasan mereka dalam mengabdi kepada agama dan bukan untuk memuaskan syahwat pribadi. Berapa banyak sikap-sikap mereka yang seharus menjadi pelajaran bagi kaum muslimin dan menjadi penerang bagi jalan mereka.

Pada detik-detik akhir dari pemerintahannya, Abu Bakar mengambil kebijakan yang menutup pemerintahannya. Ia menambahkan satu lagi sikap mulia kepada catatan kebaikannya yang begitu banyak! Allah memberikan hidayahnya dan memberikan petunjuk kepadanya untuk memilihkan khalifah bagi kaum muslimin, yaitu Faruq Al-Islam. Seorang laki-laki yang menjunjung tinggi keadilan dan kasih sayang, guru bagi kemanusiaan setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Abu Bakar dalam hal kebijakan politik yang baik, dan kecerdasan dalam manajemen, serta kekuatannya dalam membela kebenaran, keadilan, dan memberikan kasih sayang yang menyeluruh bagi seluruh umat.

Ash Shiddiq tidak hendak memaksakan pendapatnya, juga tidak menunjuk salah seorang keturunannya untuk memimpin. Ia ingin kaum muslimin di pimpin oleh orang yang mempunyai latar belakang terbaik dari mereka, yang paling banyak keutamaannya, dan paling tinggi kepribadiannya. Seorang pemimpin yang paling baik pendapatnya, paling kuat tekadnya, dan paling tegar dalam mengemban amanah. Maka untuk itu ia bermusyawarah dengan tokoh-tokoh shahabat dan mereka yang mempunyai ide dan pendapat yang bijaksana.

Abdurrahman bin Auf berkata, “Demi Allah, dia adalah orang terbaik yang dapat engkau temukan.”

Sementara Utsman bin Affan berkata, “Demi Allah, sejauh yang kuketahui tentangnya bahwa apa yang ada dalam hatinya lebih baik dari yang Nampak, dan tidak ada seorangpun dari kita yang menandinginya.”

Usaid bin Al-Hudhair memujinya dengan berkata, “Demi Allah aku tahu bahwa dialah yang terbaik setelahmu. Ia meridhai apa yang patut diridhai dan marah terhadap sesuatu yang patut dimurkai. Ia menyimpang yang lebih baik dalam dirinya dari pada apa yang terlihat, dan tidak akan ada yang memegang urusan ini yang lebih kuat darinya.”

Dan banyak tokoh shahabat lainnya yang membenarkan pendapat mereka tadi.

Namun juga ada pendapat lain yang tidak sependapat dengan arus tadi, yang terdepan adalah Ali bin Abu Thalib dan Thalhah bin Ubaidillah. Mereka mengajak Abu Bakar untuk melihat permasalahan tersebut dari sisi lain. Mereka telah melihat sikap Umar ketika ia menjadi menteri yang jujur bagi Ash Shiddiq di mana ia berlaku keras dan tegas dalam menghadapi masalah. Ia tidak bisa melunak sedikitpun, dan ia mempunyai keinginan yang kuat untuk membawa orang lain mengikuti sikap tegasnya tersebut. Dan ia mengakibatkan ketidak nyamanan bagi sebagian mereka. Karena manusia mempunyai tingkatan yang beragam, juga mempunyai tingkat ketegasan dan kemampuan yang berbeda pula. Jika Umar telah  bersikap demikian pada masa Abu Bakar, bagaimana jadinya jika ia sendiri yang memegang tampuk kekhalifahan?! Ali dan Thalhah khawatir Umar memaksakan untuk mengikuti kebijakannya yang keras dan tak kenal kompromi. Mereka merasa kasihan kepada umat dalam masalah ini, karena itulah mereka bergegas menentang pendapat dan keinginan Abu Bakar tersebut.

Ibu Sa’ad meriwayatkan dari ummul mukimin Aisyah Radhiyallahu Anha, ia berkata, “Ketika menjelang ajalnya Abu Bakar menunjuk Umar sebagi khalifah penggantinya. Maka Ali dan Thalhah datang menemuinya dan berkata, “Siapakah yang engkau tunjuk menjadi khalifah?” ia berkata, “Umar”, mereka berkata, “lalu apa yang akan engkau katakana kepada Tuhanmu?” ia berkata, “Apakah kalian hendak menggugat keputusanku dengan nama Allah! Sungguh aku lebih mengenal Allah dan Umar daripada kalian berdua, aku akan berkata, “Aku telah menunjuk hamba-Mu yang terbaik untuk mereka.”

Ath-Thabari meriwayatkan dari Asma binti Umais, ia berkata, “Thalhah bin Ubaidillah datang menemui Abu Bakar dan berkata, “Engkau telah menunjuk Umar sebagai khalifah bagi manusia, padahal engkau telah melihat apa yang ditemui orang-orang darinya pada saat engkau bersamanya, maka bagaimana keadaan mereka jika ia telah sendirian mengurus mereka! Engkau akan menemui Tuhanmu dan engkau akan ditanya tentang rakyatmu.” Maka Abu Bakar berkata, dan saat itu ia sedang berbaring, “Duduklah aku.” Lalu mereka mendudukkannya. Lalu ia berkata kepada Thalhah. “Apa engkau menggugatku dengan nama Allah?! Jika aku telah bertemu Tuhanku dan Dia bertanya kepadaku, Aku akan berkata, “Aku telah menunjuk hamba-Mu yang terbaik untuk memimpin hamba-hamba-Mu.”

Abu Bakar memanggil Umar dan memberinya wasiat serta memanjangkana wasiatnya, kemudian Umar keluar darinya, dan Ash-Shiddiq mengangkat kedua tangannya dan berkata, “Ya Allah aku hanya menginginkan kebaikan mereka. Aku takut mereka akan didera fitnah, maka aku melakukan untuk mereka apa yang telah engkau ketahui, dan aku berijtihad dengan pendapatku untuk mereka. Maka aku angkat orang yang terbaik dan paling kuat atas mereka, serta paling teguh memegang  apa yang telah ia katakana untuk kebaikan mereka. Saat itu aku telah menghadapi perkata ini dari-Mu, maka karuniakanlah penggantiku bagi mereka. Sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan nasib mereka ada di tangan-Mu. Perbaikilah pemimpin mereka untuk mereka, dan jadikanlah ia salah seorang khalifah-Mu yang mendapatkan petunjuk, yang mengikuti petunjuk Nabi rahmat dan jalan orang-orang shalih setelahnya, dan perbaikilah rakyatnya untukya.”

Waktu telah membuktikan tepatnya firasat Ash-Shiddiq tentang Umar. Para shahabat pun membaiat Amirul Mukminin Umar, sementara Ali dan Thalhah menjadi pendamping yang jujur baginya dan yang selalu dikedepankan olehnya dalam majelis syura yang mempunyai tanggung jawab mengurus pemerintahan dan rakyat.

 

Bersambung Insya Allah . . .

Artikel http://www.SahabatNabi.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.